Oleh: Hervina Emzulia
Tarikh 1928 dapat ditinjau sebagai sejarah asal mula pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Kala itu, pergerakan perempuan turut serta ambil bagian dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. 22 Desember 1928, saat terjadinya Kongres Perempuan Pertama di Indonesia dapat ditunjuk sebagai cikal bakal kelahiran gelombang pergerakan yang dibidani oleh para puan di tanah Nusantara. Kowani (1978) memiliki pandangan bahwa, bila ada tokoh perempuan yang layak dijadikan perhatian terkait kiprah dan sumbangsihnya, dua di antaranya adalah Raden Ajeng Kartini dan Nyai Walidah—pendiri ‘Aisyiyah.
Sejak dahulu dan hingga kini, pergerakan para perempuan yang berhimpun dalam satu wadah nyatanya memiliki ekses yang luas dan memproduksi resonansi dengan daya jangkau ke mana-mana. Peran para perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata kendati sedari dahulu hingga kini pergerakannya—tentu saja mengalami pasang surut oleh sebab zaman yang menempanya. Nyatanya, gerakan perempuan mampu meretas zaman dengan secara fasih menyesuaikan diri.
Dunia Baru
Kemajuan pesat arus informasi belakangan yang hingga menemukan eranya dapat ditengarai seiring sejalan dengan bertumbuhnya partisipasi umat manusia terhadap akses internet. Aktivitas saling terhubung ini, pada perkembangannya, memunculkan banyak medium—salah satu di antara yang paling populer adalah media sosial. Media sosial bak sumbu yang melejitkan populasi warga digital secara drastis dalam kurun yang relatif singkat.
Dalam kasus Indonesia, hal ini amat ditunjang oleh satu ekosistem yang tercipta sebab adanya populasi yang tinggi pemilik ponsel. Pintu masuk orang Indonesia ke internet sekarang ini lebih mungkin dilakukan melalui ponsel murah bikinan Cina— yang belakangan kedatangannya membanjiri Republik ini dan menjangkau nyaris ke seluruh pelosok dan menyebar ke hampir setiap kalangan dan kelas masyarakat—ketimbang melalui medium “tradisional” seperti warnet pada masa yang lalu (Lim, 2013).
Media digital semakin menjadi ruang di mana agregasi ide dan gagasan para warganya yang berkerumun dan diadu di sana. Pola-pola pertarungan yang oleh Jenkins (2006) disebut sebagai “lebih dari sekadar pergeseran teknologi” ini, bukan hanya persoalan pemindahan medium interaksi sosial belaka.
Lebih dari itu, fenomena ini bahkan telah berada pada titik revolusi yang “mengubah hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan khalayak. Nyaris setiap detak kejadian di mana saja dapat diketahui dari sana. Uraian ini didukung oleh temuan Hirst (2011). Internet, katanya, tidak syak lagi memungkinkan munculnya beragam berita dan sudut pandang, yang meskipun media arus utama menjadi ruang dominan tempat mereka yang berkepentingan menggunakan kuasanya di era digital, namun media sosial tetap menjadi medium yang digemari warga digital senyampang masing-masing dari mereka dapat mengendalikan sepenuhnya—warganet adalah media bagi diri mereka sendiri. Maka, kekuatan media partisipatoris yang bergerak dari bawah ini menjadi semakin lazim.
Internet dan Penetrasi Gerakan Perempuan
Tak terkecuali gerakan perempuan. Dinamisasi gerakan perempuan dalam membangun wacana di ruang maya menunjukkan geliat yang cukup pesat. Kajian yang dilakukan oleh Suharnanik (2018) tiba pada simpulan bahwa amplifikasi seputar perempuan oleh gerakan perempuan dengan memaksimalkan media teknologi informasi nyatanya mampu mewujudkan efek positif bagi citra dan cara pandang terhadap perempuan. Ia menunjuk kampanye berlabel cyberfeminist ini mampu mewujudkan kebijakan yang menghargai keberadaan perempuan.
Upaya ini mampu mendorong para perempuan di dunia menjadi bagian dari arus teknologi informasi—baik sebagai pencipta, lebih-lebih sebagai pengguna aktif yang memberdayakannya. Para perempuan dalam gerakan ini meyakini bahwa teknologi informasi memiliki daya untuk mengubah perempuan untuk lebih berdaya dan setara dengan laki-laki, serta mampu mengatasi kompleksitas kondisi sosial yang ada. Sebagai elemen yang tercipta dari rahim sosial, teknologi informasi turut serta memberi sumbangsih terhadap perubahan sosial. Termasuk di dalamnya adalah yang diinisiasi oleh mereka, para pegiat gerakan perempuan.
Baca Juga: Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Hal ini selaras dengan temuan Kusuma & Vitasari (2017) yang memaparkan bahwa media digital memiliki pengaruh terhadap penciptaan identitas gerakan perempuan di ruang maya. Faktanya, media online di Indonesia telah menunjukkan adanya upaya untuk menjadi rujukan bagi gambaran perempuan yang tidak hanya berada di peran konvensional. Lebih lanjut, situs online berbasis gender nyatanya memiliki kemampuan dan kesempatan untuk secara aktif memainkan peran dalam melakukan upaya memotret perempuan dalam peran yang lebih memberdayakan, lalu dalam waktu bersamaan menentang gambaran yang sebelumnya disuguhkan oleh media tradisional.
Sehingga, gagasan digitalisasi bagi gerakan perempuan akan menemukan titik sumbunya dengan perkembangan internet senyampang dengan kemajuan peradaban dunia digital yang nyaris tak terbendung lagi. Gerakan perempuan harus meramaikan jagat digital, bukan saja untuk dalam rangka menempuh jalan populisme, tetapi juga untuk mendorong terciptanya demokratisasi dalam wilayah publik digital. Maka, cepat atau lambat, gerakan perempuan harus mulai menaruh perhatian yang cukup serius dalam melakukan upaya digitalisasi gerakan. Menyemarakkan ruang digital agar dapat tercapai resonansi gerakan yang berdaya jangkau luas yang tak terhalang oleh sekatsekat geografis.
Peta Jalan Kesetaraan
Arus deras bah informasi dari media sosial nyaris tak dapat dibendung. Teknologi digital membuka kesempatan luas untuk mempertegas arah kesetaraan gender di masa kini. Media digital seperti media sosial atau website kini tak lagi mengenal jenis kelamin: laki-laki maupun perempuan saat ini memiliki hak dan akses yang sama atasnya. Rasanya, hal ini agak sulit ditemukan pada era media sebelumnya (McPherson, dkk., 2008). Bahkan, dalam rangka menunjang upaya pemahaman memanfaat teknologi digital, diperlukan literasi media digital yang baik sebagai bekal. Media sosial telah memainkan peran dalam memberikan pendidikan kesetaraan gender dengan cara yang sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Media digital memungkinkan setiap individu maupun kelompok untuk meniscayakan dirinya agar dapat membuka ruang-ruang interaksi secara aktif di lingkungan media ini. Dalam perspektif ini, kekuatan gerakan perempuan dapat menemukan saluran untuk menyuarakan ide dan gagasannya—terutama berkenaan dengan isu-isu seputar perempuan dan anak. Di sana, wahana penyebarluasan informasi sebagai sarana aplifikasi gerakan tersedia secara luas dan nyaris tak terbatas. Sehingga, barangkali inilah “jalan lain” yang dapat ditempuh oleh gerakan perempuan sebagai entitas untuk menyuarakan keberadaannya.
Teknologi digital nyatanya memberikan fasilitas atas kaburnya batas-batas antara manusia dengan mesin serta batas-batas yang jelas antara laki-laki dengan perempuan, yang memungkinkan pengguna untuk memilih mereka, penyamaran mereka, hingga menganggapnya sebagai identitas alternatif. Hal ini dapat dipandang sebagai upaya eksplorasi identitas yang menantang pengertian tentang subjektivitas dan mensubversi fantasi maskulinitas yang selama ini kadung dominan. Dalam lanskap inilah, gerakan perempuan menemukan momentumnya untuk melakukan kampanye-kampanye kesetaraan secara maksimal. Sebagai basis gerakan, wilayah digital ini perlu mendapat perhatian serius untuk diasuh. Atau bila perlu, tiap-tiap organisasi perempuan bisa mempertimbangkan untuk mendirikan “cabang” atau “ranting” digital.