Oleh: Muhammad Chirzin
Bangsa Indonesia secara jenial telah membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dengan pilar Undang-Undang Dasar 1945 dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perjuangan para pendahulu untuk mewujudkan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sungguh patut disyukuri sepanjang masa dengan merawat eksistensinya melalui gotong-royong sebagai perekat solidaritas dalam segala lini kehidupan.
Bangsa Indonesia menghayati dan menyadari bahwa kemajemukan suku, agama, bahasa dan golongan dalam masyarakat merupakan kehendak Tuhan. Kemajemukan tersebut hendaknya dikelola secara bergotong-royong menjadi kekuatan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Perbedaan itu menyatukan, bukan memisahkan.
Setiap warga Negara Indonesia mempunyai dua dimensi hubungan yang harus selalu dikukuhkan, yakni hubungan vertikal dengan Tuhan, dan hubungan horisontal dengan sesama manusia di masyarakat, melalui karya-karya kemanusiaan, didasari keyakinan bahwa semua manusia adalah saudara.
Lima Dimensi Persaudaraan
Faktor penunjang persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan cita-cita membangun sebuah negara sangat dominan menjadikan orang rela berkorban apa saja demi keluhuran mereka. Sebagai makhluk sosial, manusia merasa tenang dan nyaman berada bersama jenisnya. Dorongan kebutuhan ekonomi bersama juga menjadi faktor penunjang persaudaraan. Islam menekankan hal tersebut dan menganjurkan untuk mencari titik temu sesama anak bangsa.
Kerukunan adalah keadaan hubungan sesama yang membahagiakan; saling pengertian, menghormati, menghargai dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerukunan intern-umat beragama maupun antar-umat beragama sangat diperlukan dalam mengelola kehidupan berbangsa yang heterogen.
Untuk membangun solidaritas kebangsaan, para tokoh agama dan masyarakat niscaya bersinergi membangun jiwa gotong-royong berlandaskan lima dimensi persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia – ukhuwah insaniyah-basyariyah; (2) persaudaraan nasab dan perkawinan – ukhuwah nasabiyah-shihriyah; (3) persaudaraan suku dan bangsa – ukhuwah sya’biyah-wathaniyah; (4) persaudaraan sesama pemeluk agama – ukhuwah diniyah; dan (5) persaudaraan seiman – ukhuwah imaniyah.
Pertama, manusia adalah satu umat dalam ikatan keluarga dunia dan persaudaraan universal. Masing-masing berpartisipasi pada agenda kegiatan besar dan luas yang bermanfaat pada semua golongan manusia. Mereka niscaya hidup bersama di satu bumi ini dengan rukun, damai dan tolong-menolong satu sama yang lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah [2]: 213).
Kedua, persaudaraan nasab yang memperoleh legitimasi al-Quran dengan kokoh. Dialah yang menciptakan manusia dari air; lalu menjadikannya berkerabat dan bersanak semenda; dan Tuhanmu Maha Kuasa (QS. al-Furqan [25]: 54). Ayat lain yang melegitimasi dimensi persaudaraan ini adalah QS. an-Nahl [16]: 72; QS. at-Tahrim [66]: 6, dan; QS. an-Nisa’ [4]: 1.
Ketiga, persaudaraan suku dan bangsa. Persaudaran ini memiliki pijakan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13. Antara persaudaraan iman dan persaudaraan nasional-kebangsaan bukan persoalan alternatif, ini atau itu, tetapi sekaligus. Seorang Muslim yang baik menjadi nasionalis, dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Ketika Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka ia seorang nasionalis yang baik yang menguntungkan bangsanya.
Keempat, persaudaraan sesama pemeluk agama. Iman adalah soal keyakinan pribadi seseorang. Beribadah harus dengan iman yang bersih dan tulus. Pengakuan agama-agama lain merupakan ikrar hak setiap agama ada dalam suatu hubungan sosial yang saling menghargai, membantu dan menghormati, dilandasi prinsip setuju dalam perbedaan. Bersaudara dalam keragaman untuk koeksistensi dan kooperasi: bekerja sama dalam progam-program amaliyah pada segala lapisan masyarakat.
Kelima, persaudaraan seiman-seagama. Persaudaraan demikian merupakan idaman terbesar umat Islam. Persaudaraan dalam Islam berorientasi pada keberagamaan, tolong-menolong dan bimbingan hidup bersama. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Hujurat [49]: 10 dan QS. at-Taubah [9]: 23.
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat bangunan yang saling mengukuhkan;” “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu tubuh; bila salah satu anggota tubuh menderita, maka anggota tubuh yang lain ikut mengalami demam dan berjaga sepanjang malam hari.”
Iman, Amal, Akhlak
Iman niscaya mengejawantah dalam perbuatan, baik dalam dataran kehidupan individual maupun sosial. Itulah kebajikan! Keluarga adalah basis kebajikan, dan tiada imbalan untuk kebajikan kecuali surga. Rumah adalah surga jika menjadi pangkalan kebajikan, dan neraka apabila menjadi pangkalan kejahatan. Keimanan kita harus benar dan ikhlas. Kita harus siap menerjemahkannya ke dalam amal terhadap sesama manusia dengan membantu segala ragam kegiatan sosial. Jiwa kita sendiri sebagai pribadi harus teguh dan tak tergoyahkan dalam menghadapi segala keadaan.
Kebajikan itu bukan sebatas menghadap ke salah satu arah, akan tetapi lebih pada bagaimana ia beriman kepada Allah, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, menyiapkan diri untuk menghadap dan memperbaiki amal untuk meraih ridha-Nya; menafkahkan harta di jalan Allah, menaati Allah dan bersyukur kepada-Nya; sabar dalam kemiskinan; menahan diri dari amarah, keluh kesah dan gelisah; memasrahkan segala urusan kepada Allah dengan berusaha sekuat tenaga, pikiran dan perasaan.
Hubungan harmonis antar anggota masyarakat dan anak bangsa akan melahirkan limpahan rahmat, sedangkan perpecahan mengundang laknat. Ukhuwah berorientasi pada maslahat bersama melalui tolong-menolong, saling mengingatkan dan keteladanan. Setiap Mukmin bertanggung jawab mewujudkan persaudaraan seiman, sebangsa dan setanah air.
Di antara resep hidup rukun, damai dan gotong-royong ialah sikap lemah lebut, menghindari buruk sangka dan memperolok satu sama lain. Nabi Muhammad saw, senantiasa akrab terhadap kaum mukminin, memaafkan kesalahan dan menutupi kekurangan mereka. Allah swt menyatukan hati dan mempertautkan jiwa mereka kepadanya dan menjadikannya panutan para pemimpin sepeninggalnya. Bahkan dijelaskan dalam QS. ali-Imran [3]: 159, bahwa sekiranya Nabi Muhammad berlaku kasar terhadap ora ng kafir, maka mereka akan menjauhkan diri darinya.
Suatu hari Nabi saw bertanya, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang yang paling kucintai?” “Tentu, ya Rasul,” jawab mereka. Beliau bertanya sekali lagi lalu menegaskan, “Orang yang paling baik akhlaknya.” (HR Ahmad).
Muslim hendaknya pro-aktif dalam bersilaturahmi dan bergotong-royong. Siapa yang berinisiatif menjalin silaturahmi dialah yang lebih baik. Ukhuwah melahirkan kerukunan, kesetiakawanan sosial dan solidaritas kebangsaan.