Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Siang ini (2/6) Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengadakan pertemuan secara blended dalam rangka mempresentasikan hasil riset yang telah dilakukan. Seminar Riset ini bertajuk “The Waves of Modernist Javanese Muslims: An Onomastical Approach to the Dynamics of Muhammadiyah Members in Java”.
Narasumber sekaligus pelaku riset, Askuri Ibnu Chamim, lebih dahulu menjelaskan bagaimana onomastical approach itu berjalan dalam penelitian ini. “Dalam riset ini jutaan anggota telah diakumulasikan oleh Muhammadiyah selama lebih dari serratus tahun dalam stamboek. Sejumlah nama yang ada aitu kemudian dianalisis secara diakronis dan menampakkan sejumlah tren penamaan dari masa ke masa,” ungkapnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa pendekatan ini tidaklah baru. Clifford Geertz yang merupakan seorang arkeolog kenamaan pun pernah menggunakan pendekatan yang sama. “Clifford Geertz pernah menngunakan pendekatan onomastic untuk memetakan trikotomi Religions of Java. Hampir seabad sebelumnya, Poensen bahkan memetakan adanya pagar pembatas penamaan di antara kelas-kelas sosial di Jawa. Misalnya jika seorang abangan diberi nama seperti priyayi, maka dia akan terkena fenomena kabotan jeneng,” jelas Askuri.
Namun, menurut Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini, pendekatan tersebut menentang konsep esensialis tentang identitas; karena penamaan selalu dinamis sesuai perubahan sosial. Itulah mengapa pada riset ini ia tidak sepenuhnya mengikuti hasil riset Geertz, melainkan mengembangkannya. “Kalau Geertz menemukan 3, saya menemukan 5. Perbedaannya di Arabic-Javanese name dan Superhybrid name,” ujar Askuri.
Dalam menjelaskan hasil risetnya, ia membeberkan banyak hal, salah satunya adalah kemunculan gelombang kaum abangan masuk ke dalam keanggotaan Muhammadiyah. Menurut Askuri, sepanjang sejarahnya, sebagian besar anggota Muhammadiyah berlatar belakang kaum santri. Hal ini terkonfirmasi melalui nama-nama anggotanya. Berdasarkan statistic yang ada, kaum lower-class Javanese itu baru ada di sekitar periode 1970-an, sedangkan super-hybrid baru ada saat 2000-an.
Baca Juga: Muhammadiyah dan Transmigrasi: Suatu Sketsa Sejarah di Sumatera Selatan
Ia mengungkapkan, “Secara historis, perubahan besar sering didorong oleh peristiwa besar sebelumnya. Lonjakan anggota Muhammadiyah dari kaum abangan diduga masih akibat dari G30S PKI. Selain itu, adanya tradisi penamaan ulang di masyarakat yang masih masif dan aktif sampai dekade 1970-an.”
Menurutnya, kedua fenomena itu saling berkaitan. Askuri menjelaskan, “Jauh sebelum kudeta 1965, kaum abangan dan santri memang hidup berdampingan atau co-existence meskipun terkadang masih terjadi konflik. Oleh karena itu, koeksistensi ini justru membuka peluang rekonsiliasi yang didorong kedua belah pihak, utamanya pasca G30S PKI.”
Tidak hanya peran dari kaum abangan dan santri saja, para guru yang kala itu berasal dari kaum priyayi juga turut memberikan kontribusi. “Saat itu banyak anak dinamai dengan nama-nama yang tidak pantas, para guru pun menjadi tidak tega sehingga banyak nama yang diusulkan untuk diganti. Orang Jawa awalnya takut untuk memberikan nama yang layak karena takut “kabotan jeneng”. Kemudian, referensi nama yang digunakan akhirnya dari guru agama dengan menggunakan nama Arab-Jawa.”
Ia melanjutkan, “Sekitar dekade tersebut juga terlihat bahwa di desa-desa abangan di kawasan Jawa selatan terdiri atas komunitas homogen dan solidaritasnya mekanik. Solidaritas mekanik ini digunakan oleh PKI untuk menggaet pemilih dari desa abangan. Sayangnya, para kepala desa ini kemudian sering mengikuti rapat konsolidasi bersama dengan PKI dan menuliskan nama dalam daftar hadir. Akhirnya mereka kemundian banyak ditangkap karena disinyalir terlibat dengan PKI.”
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa untuk mengikis pengaruh komunisme, para pejabat militer saat itu menginisiasi masjid-masjid desa dan pengajian islam bahkan mengirim guru agama, termasuk di desa abangan. “Alhasil banyak guru-guru agama dikirim, termasuk dari Muhammadiyah. Dari sinilah muncul basis massa Muhammadiyah di desa-desa abangan,” ungkap Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu. (lsz)