Garut, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Barat, dan Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Garut melakukan kunjungan ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Garut pada Jumat (17/6). Kunjungan tersebut, ungkap Yati Rosyati Damiri selaku Ketua PDA Garut dilakukan dalam rangka asesmen Program Inklusi ‘Aisyiyah yang akan berfokus pada penanganan stunting, perkawinan anak, dan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok marjinal.
Ketua Bappeda Garut, Agus Ismail, menyambut baik program Inklusi ‘Aisyiyah karena sesuai dengan program prioritas pembangunan di Garut. Garut, ungkapnya, memang masih memiliki problem mengenai tingginya angka stunting, perkawinan anak, dan kemiskinan. Prevalensi stunting di Garut sendiri masih berada di angka 35,2 persen. Namun demikian, ia mengungkapkan, pemerintah Garut selama bulan Juni ini sedang melakukan Bulan Pencarian Stunting melalui aktivitas penimbangan di posyandu untuk mendapatkan data terkini stunting di Garut.
Data tersebur nantinya bukan saja jumlah anak stunting tetapi juga nama dan lokasi. Data yang dihasilkan selanjutnya menjadi dasar dalam pelaksanaan program stunting. Saat ini, di Garut telah ditetapkan desa yang menjadi lokus stunting sehingga diharapkan dapat bersinergi dengan ‘Aisyiyah dalam mengatasi problem stunting di berbagai desa.
Dalam menangani problem stunting maupun perkawinan anak, Agus menyampaikan pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang diakuinya manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat. Gayung bersambut, Yati pun berharap nantinya pelaksanaan program ini dapat bersinergi dengan pemerintah sehingga bisa berjalan optimal dan berkontribusi pada penurunan stunting, perkawinan anak, dan kemiskinan di Garut.
Baca Juga: Aisyiyah dan Relevansi Pendekatan GEDSI dalam Program Pencegahan Perkawinan Anak dan Stunting
Dalam kesempatan tersebut, Hajar Nur Setyowati dari PP ‘Aisyiyah bersama Ima Abwa dari PWA Jawa Barat mengungkapkan bahwa terdapat irisan antara problem perkawinan anak dan stunting. Perkawinan yang dilakukan di usia anak berisiko memunculkan kasus stunting mengingat ketidaksiapan pasangan dalam menjalani kehamilan dan memiliki anak.
Di sisi lain, imbuh Hajar, problem perkawinan anak masih mengemuka karena factor minimnya edukasi, pemahaman keagamaan yang tidak memuliakan perempuan, hingga ketidakadilan gender. Ima mencontohkan hasil penggalian data yang dilakukan sebelumnya, yakni kasus perkawinan anak yang terjadi pada anak perempuan yang bersekolah sampai SMP saja dan tidak dapat melanjutkan sekolah karena factor ekonomi; namun di sisi lain ia memiliki adik laki-laki yang tetap diminta keluarganya melanjutkan sekolah hingga SMA.
Dalam program Inklusi ini, lanjut Hajar, mengedepankan perspektif GEDSI, yakni Gender, Disabilitas, dan Inklusi sosial, sehingga untuk mengatasi problem stunting dan perkawinan anak ini dilakukan dengan melihat problem tersebut juga dalam perspektif GEDSI. Ima kemudian mencontohkan masih kurangnya keterlibatan suami dalam pengasuhan dan prioritas pemberian gizi anak.
Terkait faktor pemahaman agama, Hajar menyampaikan, bahwa nantinya ‘Aisyiyah akan berkolaborasi dengan tokoh agama baik laki-laki maupun perempuan untuk turut memberikan edukasi pencegahan stunting dan pencegahan perkawinan anak dari perspektif agama berdasarkan pemahaman Islam wasathiyah yang berkemajuan.
Hal tersebut juga disambut baik bukan saja oleh Bappeda Garut tetapi juga oleh Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Garut, karena sebelumnya ‘Aisyiyah juga melakukan kunjungan ke dinas terkait. ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan diiharapkan dapat bersinergi untuk memajukan pembangunan dan kehidupan masyarakat Garut. (ima/sb)