
Habib Chirzin
Oleh: Habib Chirzin
Kepeloporan perempuan dalam merespons keprihatinan global dalam isu pemanasan bumi serta perubahan iklim yang telah menimbulkan berbagai bentuk bencana kembali ditampilkan oleh Majalah Suara Aisyiyah. Di dalam penerbitan edisi 4, th ke 95, April 2021, Majalah Suara ‘Aisyiyah telah menurunkan tajuk rencana yang menarik, “Dampak Perubahan Iklim bagi Kehidupan Bumi”.
SA dalam tajuk rencananya menggambarkan dengan apik, bahwa membaca dan mengalami dampak dari perubahan iklim mengharuskan kita untuk memikirkan dan bertindak menyelamatkan bumi. Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) dan Pemanasan Glonal (Global Warming) membutuhkan kepedulian bersama secara global.
Climate Change: Peace Issue
Beberapa tahun yang lalu, kami pernah menyelenggarakan “Interfaith Follow-Up Consultation of Uppsala Summit on Climate Change”, 1-3 Oktober, di 2009, Bangkok, Thailand, bersama Brothers DR. M A Sabur, Director AMAN International Institute of Peace Studies; Dr. Fazlun Khalid, Director of the Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences from the United Kingdom; Dr. Hilimi Salem, Prof. Darwish Moawwad, DR. Azhari Kareem dkk, yang dihadiri oleh sekitar 50 orang.
“AMAN (Asian Muslim Action Network) brought together Muslim Scholars, practitioners and scientist from various sectors of the society in October 2008 to share knowledge and best practices and to gather resources and develop a plan of action to further Muslim civil society engagement on climate change issues. An interfaith Summit was organized in Uppsala in December 2008 and an Interfaith Climate Manifesto was adopted calling for world wide vigilance and actions”.
Pada saat itu, saya bersama Dr. MA Sabur menjadi anggota AMAN Regional Council, yg berkantor di Bangkok, yang juga menjadi kantor International Peace and Development Center. Suatu kepedulian bersama dan jejaring kerja regional dan internasional yang terus dikembangkan di berbagai kawasan dalam merespons perubahan iklim global, oleh karena climate change juga merupakan peace issue.
Perlu Jaringan Internasional untuk Menangani Bencana Alam
Suara Aisyiyah juga menurunkan “Liputan Utama” dengan tajuk yang menantang: “Asa bagi Bumi yang Sakit Akibat Perubahan Iklim”. Dengan antara lain mengemukakan pendapat dan kiprah salah seorang tokoh perempuan peduli lingkungan internasional asal Indonesia yang telah lama tinggal di Amerika: Nana Firman. Mbak Nana adalah Senior Ambassador Green Faith, Wakil Ketua PCAI Muhammadiyah Amerika Serikat yang pernah menerima “Award Climate Reality Leader Excellent” dari ketuanya, Al Gore, mantan President USA.
Sebelumnya, Nana pernah mengikuti program LEAD (Leadership on Environment & Development), sebagaimana Mbak Dr. Sri Kusyuniati, pendiri YASANTI, yang pernah aktif di PP NA bersama Dr. Noordjannah Djohantini dan Dr. Fathimah Widiastuti pada th. 1980/1990-an. Mbak Nana juga pernah menjadi fellow on green economy, a Climate Leaders presenter trained by Al Gore & an IFEES (Islamic foundation for environment & ecological sciences) associate. Dan pernah menjadi steering committee the First International Muslim Conference on Climate Actions.
Baca Juga
Sejarah ‘Aisyiyah: Kelahiran Perempuan Muslim Berkemajuan
Baru-baru ini Mbak Nana minta saya untuk bersama menandatangani suatu deklarasi tentang pelestarian bumi dan pemuliannya. Sebelumnya kami sering berkomunikasi ttg masalah climate change dan global warming serta masalah lingkungan hidup yang menjadi kepeduliannya. Saya bertemu dengan Mbak Nana pertama kali di dalam Annual Convention of ISNA (Islamic Society of North America) di Chicago, pada th. 1997 dan ketemu lagi pada convensi tahunan th. 2001, juga di Chicago.
ISNA adalah pelopor “Green Ramadan”. Seingat saya, sejak empat tahun yang lalu, saya melakukan penyadaran tentang “green Ramadan”, termasuk “green masjid”, “green kampung”, “green Pesantren”, dan lain-lain berdasarkan pada “green deen”.
Climate change merusak produksi dan persediaan pangan dunia dan keanekaragaman hayati, serta meningkatkan terjadinya bencana alam, sebagaimana dikatakan Emilie Parry, perempuan aktivis lingkungan hidup dari IUCN (International Union for Conservation of Nature). Emilie Parry, dari Berkeley, sahabat saya, seorang konsultan Disaster Management: Prevention, Preparedness, Mitigation, Response and Recovery, mengingatkan bahwa tanggal 13 Oktober merupakan “International Day of Disaster Reduction (IDDR)” yang perlu kita ingat bersama.
Emilie aktivis sejak masa mahasiswanya sudah menjadi aktivist lingkungan hidup. Dia juga aktif di “Food First”, lembaga advokasi pangan dunia di San Francisco. Ketika saya mengunjungi DR. Wallden Bello yang waktu itu menjadi direkturnya, pada bulan Agustus 1990 di San Francisco; Emilie juga di sana bersama Fancis More Lappe, penulis buku “Food First” bersama kawan-kawannya.
Kami bersama-sama di Islander Center, Sevalanka, Annurdhhapura dalam “International Dialogue on Religions, Climate Change and Bio Diversity”. Dan dia memandu working group on “Climate Change and Disasters”.
Perubahan iklim telah meningkatkan eskalasi bencana alam dan besar pengaruhnya terhadap kondisi pangan dunia dan sumber-sumber daya hayati. Telah terjadi paradigm shift dalam menghadapi natural disaster, karena perubahan sistem perdagangan, perekonomian, dan pembangunan dunia yang menimbulkan climate change dan global warming. Oleh karenanya, perlu international network dalam Disaster Management: Prevention, Preparedness, Mitigation, Response and Recovery, dan seterusnya.
Saya memberikan sambutan pada Plenary Opening Session “International Dialogue on Religions and Climate Change” di Islander Center, Annuradhapura Sri Lanka. Kerjasama antara IUCN (International Union for Conservation of Nature), Sevalanka dan INEB (International Network of Engaged Buddhism), yang dihadiri oleh 140 peserta dari berbagai belahan dunia.
“Develop an initial road-map for inter-religious cooperation, particularly in the Asian context to engage in appropriate action to bring about socially just, sustainable and conserving human conduct”.
Kepeloporan Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Saya banyak belajar dari para tokoh perempuan dalam kegiatan pembangunan dan pelestarian alam dan lingkungan hidup. Pertama kali bertemu Dr. Vandana Shiva pada People’s Network for Eco Development, Washington DC. Dr. Vandana Shiva; Dr. Walden Bello, Food First; Eleneora Brioness, Global Anti Debt Coalition, The Philippines et all. September 1990.
Baca Juga
Perempuan: Ujung Tombak Kelestarian Lingkungan Hidup
Pada tahun yang sama, saya diundang workshop tentang lingkungan hidup di Highlander Center, semacam pesantren di kawasan Tenessee, yang didirikan oleh seorang tokoh pendidikan dan pejuang hak-hak sipil, Myles Horton, sahabat karib Paulo Freire. Difasilitasi oleh Mozzie Johnson, aktivis perempuan dari Agriculrural Mission Inc, New York, yang pernah berkunjung ke Kulon Progo, Yogyakarta dan Jakarta.
Menjelang Earth Summit di Rio de Janeiro, saya diundang International Conference tentang Lingkungan Hidup dan Masa Depan Bersama di Vienna Austria, September 1992, yang diinisasi oleh dua tokoh perempuan Dr. Patricia M Mishe, pendiri GEA (Global Education Associates) New York dan Dr. Betty Reardon dari Peace Education, IPRA, Teachers College, Columbia University, New York dalam International Conference di Vienna 1992.
Dua tahun selepas itu, Septembet 1994, GEA bersama WOMP World Order Models Project dan UNEP kembali menggelar International Conference on Our Common Future di Fordham University, New York yang dipandegani oleh dua tokoh perempuan environmentalists dan peace educators, Dr. Patricia M Mishe dan Dr. Betty Reardon. Saya diundang sebagai salah seorang panelis bersama Dr. Robert Muller, salah seorang saksi mata pendirian PBB. Saat itu juga dilakukan pemberian anugerah Lingkungan Hidup dan Masa Depan Bersama kepada Dr. Noel Brown, mantan Dirjen UNEP.
Jauh sebelum Earth Summit di Rio de Janeiro, saya mendapat kehormatan diundang ke Rio de Janeiro, Juli 1979, untuk International Study Days for Society Overcoming Domination yang difasiliatasi oleh tokoh perempuan Brazil, Dr. Stella Ferrera, bersama Dr. Chico Ferrera, suaminya dan Sylvia Ferrera, putrinya. Sejak saat itu, saya terpilih sebagai anggota Secretariate International Study Days, di Paris, untuk tiga tahun, 1979 sampai 1982. Ketika saya menikah pada bulan April 1981, Stella, dan Chico bersama Marrie Jo datang ke Kotagede. Persahabatan yang berkelanjutan.
Suara ‘Aisyiyah Majalah Pertama di Indonesia Yang Memuat Lingkungan Hidup
Suara ‘Aisyiah secara komprehensif dan jeli menyajikan cover depan “Cinta Bumi Selamatkan Generasi”; Tajuk Rencana “Dampak Perubahan Iklim bagi Kehidupan Bumi”; ulasan “Fikih Tata Kelola Agraria, Solusi Perubahan Iklim”; kemudian Liputan Utama yang meliput berbagai tajuk: “Asa Bagi Bumi yang Sakit Akibat Perubahan Iklim”, “Kampung Ramah Lingkungan: Atasi Perubahan Iklim Berbasis Kampung”; dan dimantapkan dengan “Misi ‘Aisyiyah Selamatkan Bumi”. Kemudian Idea “Kemubadziran Pemenuhan Energi Rumah Tangga Harus Segera Diakhiri”. Rubrik Harmoni “Lestarikan Bumi dengan Gaya Hidup Ramah Lingkungan”. Edukasiana “Mengenalkan Perubahan. Iklim pada Anak Usia Dini”. Dilengkapi dengan laporan Dinamika Organisasi “Delapan Rekomendasi LLBHPB (Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana) Jateng, Gerakan Kepedulian Lingkungan.
Sungguh sangat menarik dan sekaligus menggerakkan. Teringat informasi yang disampaikan oleh kawan baik saya Dr. George Yunus Adi Condro, salah seorang pendiri Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), pada saat memandu diskusi saya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, pada musim rontok 1987, bahwa menurut penelitiannya, majalah Suara ‘Aisyiyah adalah majalah pertama di Indonesia yang memuat tulisan tentang lingkungan hidup. Seingat saya, pertama kali saya menulis di SA adalah tentang masalah “Polusi Air dan Udara”, pada tahun 1972-an, yang saya tulis dari IPD Gontor.
Suara ‘Aisyiyah telah membangkitkan kembali kepeloporan perempuan dalam penyelamatan bumi dan generasi. Semoga bermanfaat untuk membangun Ecological Sustainability, Sustainable Peace and Sustainable Future untuk generasi mendatang.
1 Comment