Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menteri Agama (Menag) RI Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai fondasi ketahanan keluarga dan bangsa. Hal tersebut disampaikan dalam acara Seminar Tanwir I Aisyiyah dengan tema “Ketahanan Keluarga” pada Kamis (16/1). Dalam kesempatan tersebut Menag turut menyoroti peran perempuan dalam menciptakan generasi berkualitas serta mendorong kesetaraan gender di Indonesia.
Menag mengungkapkan bahwa pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama. “Tidak akan ada ketahanan keluarga tanpa pemberdayaan perempuan. Tidak ada ketahanan nasional tanpa kekuatan perempuan. Generasi yang baik hanya bisa lahir dari perempuan yang diberdayakan,” tegas Nasaruddin.
Menag juga menyoroti bahwa ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menjadi akar dari berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan seksual. Dalam sosiologi, relasi kuasa merujuk pada dominasi kekuatan satu pihak terhadap pihak lain. Relasi kuasa yang timpang, ungkap Menag, disebabkan karena legitimasi penafsiran agama dan budaya masyarakat yang patriarkhis.
“Allah memberikan kekuatan kepada laki-laki dan perempuan secara seimbang, tetapi budaya patriarki mengalihkan kekuatan perempuan kepada laki-laki, sehingga terjadi ketimpangan yang memicu patologi sosial. Akibatnya, banyak orang berpikir bahwa perempuan adalah sumber malapetaka, sumber patologi sosial, padahal itu semua adalah produk-produk ketimpangan,” ujarnya.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Islam: Antara Tradisi dan Modernitas
Relasi kuasa, imbuhnya, harus digugat dan diprotes. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meninjau kembali penafsiran yang timpang. Ia menegaskan, “Ayat-ayat yang berpotensi bias gender ini harus ditafsirkan dengan hati-hati. Kalau tidak, akan semakin banyak pembelaan yang muncul untuk melegitimasi relasi kuasa yang terjadi sehingga peremmpuan akan semakin rentan menjadi korban.”
Relasi kuasa juga dapat menyebabkan problem perceraian. Menag menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Pada tahun 2023, 40% perceraian terjadi dalam lima tahun pertama pernikahan, dengan 80% kasus cerai gugat berasal dari kota besar. Ia mengatakan, “Efek dari relasi kuasa diantaranya adalah perceraian. Saya miris sekali kalau tau realitas perceraian di Indonesia ini. Perceraian yang terjadi hanya akan melahirkan orang-orang miskin baru. Di kota-kota besar, perceraian terjadi atas tuntutan istri. ”
Maka dari itu, Kementerian Agama telah meluncurkan berbagai program seperti perencanaan perkawinan, keluarga sehat, peningkatan ekonomi keluarga, dan generasi berkualitas bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kemendikdasmen, dan BKKBN. Nasaruddin juga menyerukan penyesuaian regulasi agar kebijakan yang ada tidak merugikan perempuan tetapi mendukung pemberdayaan perempuan.
Dalam kesempatan tersebut, Nasaruddin mengajak para perempuan ‘Aisyiyah untuk menjadi pelopor perubahan, tidak hanya melakukan edukasi, tetapi juga aksi nyata di masyarakat. Di akhir paparan, Nasaruddin mengajak ‘Aisyiyah untuk menjalin kerja sama formal dengan Kementerian Agama dalam mendukung pemberdayaan perempuan di Indonesia. Ia berharap inisiatif ini dapat menciptakan perubahan signifikan dalam tiga tahun mendatang, khususnya dalam menyeimbangkan relasi kuasa dan mendorong regulasi yang berpihak pada perempuan.
“Ada 7 UU yang merayakan perempuan, tetapi ternyata belum bisa menyelesaikan ketimpangan gender ini. Mengapa bisa terjadi? Karena legitimasi agama yang sangat kuat. Lebih parahnya lagi, justru sesama perempuanlah yang menarik kembali perempuan ke dalam ketimpangan,” pungkas Nasaruddin. (-lsz)