Oleh: Diyah Puspitarini*
Kejadian kerusuhan yang terjadi di Pulau Rempang pada 7 September 2023 lalu telah berdampak, terutama pada anak-anak yang berada di SD N 024 Galang dan SMP N 22 Batam yang berjarak kurang dari 1 km dari lokasi kejadian. Mereka juga terdampak dari asap gas air mata sehingga sampai hari ini masih membutuhkan pendampingan dan pemulihan yang cukup panjang.
Peristiwa yang menimpa siswa-siswa di sekolah tersebut termasuk anak pada kondisi atau situasi darurat. Kondisi seperti ini juga bisa saja terjadi di berbagai negara yang menjadikan anak sebagai korban pada situasi darurat. Konflik dan keadaan darurat di seluruh dunia menimbulkan risiko yang merugikan terhadap kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan anak-anak.
Ada berbagai jenis konflik dan keadaan darurat, misalnya kekerasan, konflik bersenjata, perang, dan bencana alam. Sekitar 13 juta anak mengungsi akibat konflik bersenjata dan kekerasan di seluruh dunia (UNCEF, 2011). Ketika konflik kekerasan menjadi hal biasa, kehidupan anak kecil akan sangat terganggu dan keluarga mereka mengalami kesulitan besar dalam memberikan perawatan yang sensitif dan konsisten yang dibutuhkan anak kecil untuk perkembangan kesehatan mereka.
Salah satu dampaknya adalah tingginya angka Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dikenal dengan gangguan stres atau mental pasca trauma, dan ini yang terlihat pada anak-anak yang hidup dalam bencana alam atau konflik kronis. Situasi darurat dan konflik dapat berdampak pada perkembangan anak.
Dampak fisik dapat berupa memperburuk masalah pada medis, sakit kepala, kelelahan, keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan. Adapun dampak kognitif berupa kesulitan berkonsentrasi, keasyikan dengan peristiwa traumatis, mimpi atau mimpi buruk yang berulang, mempertanyakan keyakinan spiritual, ketidakmampuan memproses peristiwa tersebut. Dampak emosional pada anak terlihat dari depresi atau kesedihan, mudah tersinggung, marah, dendam, putus asa, perasaan bersalah, fobia, masalah kesehatan, kecemasan atau ketakutan. Sedangkan dampak sosial berupa meningkatnya konflik dengan keluarga dan teman, masalah tidur, menangis, perubahan nafsu makan, penarikan diri dari pergaulan, berbicara berulang kali tentang peristiwa traumatis, penolakan pergi ke sekolah, bermain berulangulang.
Dampak ini sangat jelas dirasakan oleh anak-anak pada situasi darurat, dan jika dibiarkan terus menerus akan menjadi persoalan besar bagi anak di masa mendatang.
Dampak Situasi Darurat
Geneva Global Hub for Education in Emergency (2013) menyampaikan bahwa pendidikan dalam keadaan darurat dan perlindungan anak pada hakikatnya terkait dan saling memperkuat. Saat ini, hampir 1 dari 5 anak-anak dan remaja di seluruh dunia tinggal di negara-negara yang terkena dampak konflik dan tidak mengakses terhadap pendidikan yang memadai. Kurangnya akses terhadap pendidikan meningkatkan risiko perlindungan anak, seperti pelecehan dan penelantaran, eksploitasi ekonomi dan seksual, tunawisma, kekerasan seksual berbasis gender, perdagangan manusia, dan pernikahan anak.
Salah satu dampak terbesar dari situasi darurat pada anak adalah anak akan putus sekolah dan memilih untuk melakukan perlindungan yang melekat kepada keluarga. Tentu saja terdapat anggapan jika pada kondisi situasi darurat seperti ini bersekolah menjadi riskan bagi anak-anak. Pada contoh kasus di Rempang hingga satu bulan peristiwa kerusuhan terjadi, siswa yang masuk sekolah di SD 024 Galang dan SMP 22 Batam masih belum 100 persen, ini artinya masih ada anak yang ketakutan untuk sekolah. Dan jika hal ini dibiarkan serta pemerintah tidak segera melakukan tindakan dan pencegahan, maka akan ada anak yang putus sekolah.
Pendidikan berkualitas dapat mengurangi dampak psikososial dari konflik dan bencana dengan memberikan rasa normal, stabilitas, struktur dan harapan untuk masa depan. Namun, situasi darurat dan konflik sering kali menurunkan kualitas layanan pendidikan. Akibatnya, sekolah kekurangan bahan, sumber daya dan personel, sehingga menghilangkan kesempatan anak-anak untuk menerima pendidikan usia dini yang berkualitas.
Baca Juga: Penanaman Nilai dan Pembentukan Karakter Melalui Permainan
Dalam sebagian besar konflik, infrastruktur pendidikan biasanya menjadi sasaran. Pra-sekolah dan sekolah sering kali hancur atau ditutup karena kondisi berbahaya yang membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar dan bersosialisasi di tempat aman yang memberikan rasa rutinitas. Anak-anak yang diberdayakan melalui pendidikan yang berkualitas, inklusif dan aman dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang membantu mengembangkan potensi intelektual, fisik, dan emosional mereka. Sekolah dapat memberikan harapan, perlindungan, sistem dukungan, dan informasi penting untuk melindungi hak-hak mereka.
Pendidikan: Harapan Perubahan
Bagi anak-anak yang berada pada situasi darurat, pendidikan lebih dari sekadar hak untuk belajar. Sekolah melindungi anak-anak dari bahaya fisik di sekitar mereka termasuk pelecehan seksual, eksploitasi, dan persoalan lainnya yang muncul pada situasi tersebut. Sekolah memberikan semangat bagi anak-anak untuk bangkit dan memberikan harapan bagi anak agar tetap memiliki optimis terhadap masa depannya.
Dengan belajar anak-anak tersebut juga mengalihkan trauma yang mereka alami. Meskipun pendidikan memberikan manfaat yang sangat besar bagi anakanak, masyarakat, serta pemulihan kondisi sebuah negara, terkadang pendidikan seringkali menjadi layanan pertama yang ditangguhkan dan layanan terakhir yang dipulihkan selama krisis. Rata-rata sektor pendidikan menerima kurang dari 3% bantuan kemanusiaan (UNESCO, 2013).
Di Indonesia, anak situasi darurat tertuang dalam Undang-undang Perlindungan Anak No 35 tahun 2014 pasal 60 berbunyi bahwa anak situasi darurat adalah: (a) Anak yang menjadi pengungsi; (b) Anak korban kerusuhan; (c) Anak korban bencana alam; (d) Anak dalam situasi konflik bersenjata.
Pada peristiwa di Rempang, maka anakanak ini termasuk anak korban kerusuhan yang terjadi antara warga Rempang dengan aparat penegak hukum. Anak-anak yang sedang belajar akhirnya terganggu dan bahkan tidak sedikit yang menjadi korban dari gas air mata dan tentu saja banyak siswa yang trauma sehingga memerlukan pemulihan sesegera mungkin.
Begitu juga dengan kondisi anak pada kejadian bencana alam dan di pengungsian serta anak dalam konflik bersenjata, maka negara mengatur dan harus hadir juga sebagai bentuk konsistensi perlindungan kepada anak. Secara umum, penjelasan tentang anak situasi darurat terdapat pada Permen No. 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. Dijelaskan bahwa Anak dalam Situasi Darurat adalah Anak yang berada dalam situasi lingkungan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan Anak yang disebabkan, baik oleh faktor alam, nonalam, dan/ atau sosial. Pada pasal 6 disebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak dalam situasi darurat adalah sebagai berikut : (1) Pemberian hak dasar anak berupa pendidikan; (2) Pembebasan biaya pendidikan baik yang dilakukan di lembaga pendidikan formal maupun non formal selama masa darurat.
Dengan aturan ini maka jaminan pemenuhan hak pendidikan bagi anak dalam situasi darurat sudah sangat jelas. Hanya saja hingga saat ini implementasi praktisnya masih terkendala. Kementrian Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia membuat buku panduan pendidikan pada situasi darurat, namun buku ini menjelaskan pada situasi kebencanaan saja.
Untuk pengungsi, anak korban kerusuhan, dan anak pada situasi konflik bersenjata belum dijelaskan dalam buku tersebut. Berdasarkan analisis di atas, maka ketika terjadi situasi darurat yang harus dilakukan dalam pemenuhan pendidikan anak korban adalah sebagai berikut: Pertama, Pemerintah hendaknya sesegera mungkin membuat format pendidikan anak situasi darurat secara umum, agar menjadi panduan bagi setiap sekolah. Kedua, Adanya regulasi khusus tentang penanganan sekolah pada situasi darurat. Ketiga, sekolah perlu menerapkan konsep sekolah tanggap situasi darurat, sehingga dengan konsep ini sekolah akan lebih mudah jika pada wilayahnya dan pada kondisi tertentu harus menerapkannya. Keempat, perlunya dibuat kontijensi pendidikan bagi anak dalam situasi darurat yang mudah dan terukur bisa dilaksanakan di setiap sekolah. Kelima, upaya sosialisasi dan pembentukan harus segera dilakukan agar sekolah tidak lagi mengalami kegagapan jika mengalami hal darurat. Keenam, perlu melibatkan semua pihak dalam penanganan anak situasi darurat yang terintegrasi dengan lembaga/pemerintah/ masyarakat, sehingga dengan sistem satu koordinasi akan lebih memudahkan dan terukur.
Dengan kasus anak pada situasi darurat yang terjadi di Indonesia saat ini, hendaknya pencegahan bisa dilakukan oleh berbagai lembaga dan kementerian. Selain itu, juga memastikan setiap persoalan pendidikan agar segera tertangani dan anak-anak masih bisa bersekolah dengan naman dan nyaman. [11/23]
*Sekretaris PPA Dosen FKIP UAD