Liputan

Hamim Ilyas: Corak Pemikiran Muhammadiyah Itu Progresif

Hamim Ilyas

“Semakin ke sini Muhammadiyah semakin ke sana”. Demikian salah satu komentar di akun Facebook @Persyarikatan Muhammadiyah. Komentar tersebut adalah satu contoh dari sekian banyak “tuduhan” bahwa Muhammadiyah saat ini makin menjauh dari ajaran Islam dan spirit pembaruan yang digaungkan Kiai Ahmad Dahlan. Apakah tuduhan tersebut tepat sasaran? Untuk menjawab hal itu, Suara ‘Aisyiyah mewawancarai Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas. Berikut hasilnya:

Apakah corak pemikiran Muhammadiyah mengalami perkembangan dan penyempurnaan?

Sejak zaman Kiai Ahmad Dahlan sebetulnya sudah jelas. Madzhab Islam yang dianut Muhammadiyah itu sudah jelas, tetapi Kiai Dahlan tidak menuliskannya. Kiai Dahlan hanya menyampaikan, mengajarkan, dan mempraktikkan. Alhamdulillah generasi yang berikutnya berusaha merumuskan apa yang diajarkan, disampaikan, dan dipraktikkan Kiai Dahlan itu menjadi tulisan yang menjadi ajaran resmi dalam Muhammadiyah.

Ketika merumuskan MADM, itu kan memperhatikan praktik yang dilakukan Kiai Dahlan. Ketika menulis Masalah Lima (al-Masa’il al-Khamsah), MKCHM, dan lain-lain juga demikian. Maka sebetulnya sejak awal sudah jelas aliran pemikirannya itu apa. Kalau dulu aliran pemikirannya kan dibagi menjadi dua, modernisme dan tradisionalisme. Oleh Mukti Ali dan Deliar Noor, Muhammadiyah lalu digolongkan ke dalam aliran modernisme.

Peta pemikiran Islam kemudian mengalami perkembangan. Ketika mengalami perkembangan itu, Muhammadiyah lalu diposisikan sebagai gerakan apa. Kalau saya sendiri memetakan aliran (madzhab) pemikiran dan gerakan dalam Islam itu ada empat. Peta ini bukan berdasarkan tokoh, tapi berdasarkan sikap dan jalan yang ditempuh dalam beragama.

Pertama, taqalidiyyah. Taqalidiyyah ini beragama Islam dengan mengikuti tradisi dalam pengertian ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh ulama yang memiliki otoritas. Taqalidiyyah ini dibagi menjadi dua: (a) salafi, ajaran yang diikuti adalah generasi salaf Islam, generasi sebelum munculnya madzhab-madzhab dalam Islam, dan; (b) khalafi, yang mengikuti ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh tokoh-tokho madzhab, termasuk tokoh pendiri madzhab setelah generasi salaf.

Kedua, ushuliyyah. Ushuliyyah ini beragama Islam dengan mengikuti ajaran-ajaran yang mendasar atau fundamental dalam Islam. Aliran ini juga dibagi menjadi dua. Ketika yang fundamental adalah formal-keagamaan, itu merupakan salafisme. Salah satu bentuknya adalah salafisme politik. Sementara ketika yang fundamental adalah sistem Islam (an-nidzam al-Islami), itu merupakan fundamentalisme, seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan Jamaat Islami.

Ketiga, al-‘aqliyyah. Al-‘aqliyyah ini beragama Islam dengan mengikuti ajaran-ajaran yang rasional. Aliran ini dibagi menjadi dua: (a) rasional dalam kerangka humanisme, yaitu aliran liberalisme-pluralisme yang menganggap semua agama bisa menjadi jalan keselamatan bagi pemeluknya masing-masing. Itu saya perhatikan teman-teman yang liberal seperti itu; (b) ada juga yang rasional, tapi rasionalnya dari balik meja. Kalau menurut pemikiran mereka baik, itulah yang mereka ikuti. Ini adalah kelompok teleologis. Jadi yang diikuti dalam Islam adalah yang sesuai dengan tujuan Islam, yaitu kemaslahatan yang dirumuskan dari balik meja.

Keempat, al-ashaliyyah. Al-ashaliyyah ini beragama Islam dengan mengikuti ajaran-ajaran yang otentik dari Islam. Ajaran yang otentik dari Islam itu ajaran-ajaran yang sesuai dengan tujuan risalah Islam, yaitu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Rahmat itu, menurut Fazlur Rahman, adalah keadilan sosial. Ini kelompok neo-modernisme yang saya sebut mengikuti ajaran otentik yang global. Menurut kelompok ini, kelembagaan itu tidak penting. Sementara kelompok kedua itu mengikuti ajaran Islam otentik yang sesuai dengan tujuan risalah Islam, yakni mewujudkan rahmat dalam pengertian kesejahteraan. Muhammadiyah ada di sini. Sehingga Muhammadiyah itu mengikuti ajaran yang otentik, rahmatnya bermakna kesejahteraan, dan memperhatikan kelembagaan. Jadi al-ashaliyyah-nya tidak global, tapi universal.

Baca Juga: AR Fachruddin: Jangan Terburu-buru Menjadi Anggota Muhammadiyah

Di Masalah Lima, definisi agama jelas sekali. Definisi itu yang kemudian membedakan Muhammadiyah dari yang lain. Islam didefinisikan dengan “mā anzala Allāhu fi al-Qurān wa mā jā’at bihī as-sunnatu as-shahīhatu min al-awāmiri wa an-nawāhī wa al-irsyādāti li shālihi al-‘ibādi dunyāhum wa ukhrāhum”. Jadi Islam itu apa-apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran, dibawa oleh sunnah yang shahihah berupa perintah, larangan, dan tuntunan untuk mewujudkan shalihil ‘ibad, kebaikan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Ukuran kebaikan hidup menurut Muhammadiyah adalah jaminan kesejahteraan hidup materiil-spirituil, duniawi-ukhrawi. Jadi kebaikan hidup yang diwujudkan Islam itu ada ukurannya. Dengan pengertian Islam yang jelas seperti itu, maka corak pemikiran Islam Muhammadiyah adalah progresif. Bagi saya, progresif itu maju dengan menggunakan tradisi yang ada.

Perumusan corak pemikiran dan gerakan Muhammadiyah itu dilakukan satu generasi setelah Kiai Ahmad Dahlan. Generasi pertama yang langsung berhubungan dengan Kiai Ahmad Dahlan sudah sadar mengenai definisi Islam itu. Cuma generasi kedua yang tidak sezaman dengan Kiai Dahlan itu perlu tahu, maka kemudian mulai dirumuskan, supaya generasi kedua dan seterusnya tidak kehilangan obor otentisitas yang dinyalakan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Sayangnya, corak pemikiran dan gerakan yang amat jelas ini luput terbaca, termasuk oleh para pimpinan Muhammadiyah.

Bagaimana Anda menyikapi “tuduhan” bahwa Muhammadiyah saat ini tidak sesuai dengan Muhammadiyah era Kiai Ahmad Dahlan?

Itu sebetulnya karena mereka tidak paham Muhammadiyah dan tidak paham Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kalau secara gramatika, rahmat itu kan sebagai maf’ul li ajlih, yang menyatakan alasan sekaligus tujuan. Sehingga Islam itu menjadi risalah yang diturunkan Allah kepada Nabi karena rahmat Allah dan untuk mewujudkan rahmat Allah. Rahmat Allah itu mewujudkan hidup baik (hayah thayyibah) yang punya tiga ukuran: lahum ajruhum ‘inda Rabbihim, wa laa khaufun ‘alaihim, dan wa lā hum yahzanūn.

Muhammadiyah kan sudah sesuai sekali dengan Islam rahmatan lil ‘alamin: mewujudkan kebaikan hidup, yaitu sejahtera materiil-spirituil dan duniawi-ukhrawi. Dalam pandangan Muhammadiyah, ajaran-ajaran al-Quran dan hadits –sebagaimana termaktub di MKCHM— itu punya maksud dan tujuan yang mesti dipahami. Dan ditegaskan lagi tentang pelaksanaannya, yaitu dengan cara yang progresif. Luar biasa itu.

Selain itu, di MKCHM juga sangat jelas bahwa ra’yu mutlak harus digunakan dalam Muhammadiyah, yaitu dalam rangka menemukan konteks dan untuk menunjukkan mana yang menjadi prioritas atau maslahat. Jadi kalau ada orang yang mengatakan “beragama kok pakai akal”, dia itu tidak paham al-Quran, tidak paham Islam, dan tidak paham Muhammadiyah. Harus pakai akal! Di dalam Q.S. Yusuf [12]: 2, Q.S. az-Zukhruf [43]: 3 itu jelas, hasilnya adalah agar berakal. Ini kok berislam anti akal?! Itu berarti berislam tidak Qurani.

Adapun perintah sami’na wa atha’na adalah dalam rangka mewujudkan hayah thayyibah tadi. Ajaran Nabi itu jelas, yakni untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan hidup yang baik. Yang diajarkan Nabi kepada umatnya itu ada empat: pertama, yatlū ‘alaikum āyātinā, yang berupa bunyi. Kedua, wa yuzakkīkum, yakni Nabi membersihkan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan sifat-sifat buruk. Nabi itu sedang melakukan revolusi budaya. Beliau mengubah struktur sosial yang kotor menjadi struktur sosial yang maju.

Ketiga, wa yu’allimukumu al-kitaāb wa al-hikmah. Nabi mengajarkan al-Quran itu untuk diamalkan dan sebagai ilmu untuk memudahkan hidup. Ketika al-Quran disebut “al-kitab”, artinya ia memiliki pengertian wawasan peradaban, yang penerapannya harus meninggikan peradaban: jangan membuat peradaban stagnan, apalagi mundur ke belakang. Sementara “al-hikmah” adalah pemahaman yang mendalam atas realitas yang melahirkan keterampilan untuk mengelola kehidupan. Sehingga ketika kita menerima hadits/sunnah sebagai hikmah, itu kita terima untuk memperoleh pemahaman tentang realitas yang mendalam supaya kita bisa mengelola kehidupan secara baik.

Baca Juga: Perempuan Berkemajuan Mengusung Peradaban Utama

Keempat, wa yu’allimukum mā lam takūnū ta’lamūn. Allah mengajarkan apa yang manusia tidak tahu, yakni ilmu. Sehingga sunnah juga harus diterima sebagai ilmu, jangan sekadar diterima makna literalnya. Sunnah sebagai ilmu itu berarti untuk mempermudah kehidupan. Kalau berdasarkan sunnah kok mempersulit kehidupan, berarti tidak menggunakan sunnah secara Qurani.

Apakah warga Muhammadiyah harus mengikuti corak pemikiran Muhammadiyah?

Seharusnya ya mengikuti. Majelis Tarjih mengusulkan supaya disusun risalah akidah Islam. Dengan begitu diharapkan akidah warga Muhammadiyah itu jelas. Jangan orang Muhammadiyah tapi akidahnya Wahabi atau Salafi. Di MADM kan sudah dijelaskan mulai dari ajaran ketuhanan sampai dengan kenegaraan. Itu luar biasa. Organisasi yang lain, pemikiran yang lain, itu tidak ada.

Kalau saya melihat, mengapa di akar rumput tidak mau mengikuti itu karena latar belakang orang-orang Muhammadiyah sendiri. Pimpinan dan warga Muhammadiyah itu kan beragam. Misalnya ada yang dalam bersikap itu “kencang”, lalu menganggap Muhammadiyah kurang tegas dalam menyikapi sesuatu. Muhammadiyah itu membawa gerbong pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, sehingga kalau pimpinan Muhammadiyah itu ngomong sak karepe dewe (berbicara sesuka hati, -red), asal anti saja, bubar itu Muhammadiyah. Mereka itu nggak paham tentang Muhammadiyah.

Selain itu, ada pemahaman yang keliru bahwa menjadi Islami itu harus “kencang”, apalagi kencangnya itu serba “anti”. Zaman sekarang mestinya kan kencang memberi kontribusi, bukan anti. Memberi kontribusi itu kan Islam banget. Khair an-nās anfa’uhum li an-nās. Orang-orang yang “kencang” itu sebetulnya sedang mengalami krisis. Jadi yang krisis akidah itu bukan kita, tapi mereka. (bariqi)

Related posts
Berita

Irman Gusman Berkomitmen Jadikan Masjid Taqwa Muhammadiyah Ikon Religius Sumatera Barat

  Padang, Suara ‘Aisyiyah – Anggota DPD RI, Irman Gusman, mengadakan kegiatan reses di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Sumatera Barat, pada Senin (16/12)….
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *