Sleman, Suara ‘Aisyiyah – Namanya Hanif Faisal Azzam. Usianya baru sembilan tahun, tapi semangatnya sudah menyala seperti api juang para pendekar zaman dulu.
Anak ketiga dari empat bersaudara ini duduk di bangku Kelas 3 SD Muhammadiyah Sleman, tempat ia menimba ilmu di pagi hari, dan melatih keteguhan jiwa di sore harinya lewat pencak silat.
Lahir di Sleman pada 29 Oktober 2015 dari pasangan Asdadik Isriyadi dan Indri Widayati, Hanif tumbuh di tengah keluarga yang hangat.
Meski tubuhnya mungil, Hanif adalah “cabe rawit” yang tak bisa dianggap remeh. Sejak 2021, ia telah bergabung dengan Perguruan Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
Latihan demi latihan ia jalani dengan tekun, baik di sekolah maupun di Padepokan Harimau Tapak Suci asuhan Haryanto. Keringatnya tumpah bukan karena paksaan, tapi karena cinta pada seni bela diri warisan budaya bangsa.
Bukan hanya latihan yang ia jalani, tetapi juga sederet kejuaraan yang membuktikan kerja kerasnya. Mulai dari Juara 2 Tanding Kejuaraan Tapak Suci Bupati Sleman Cup IV (2022) hingga Juara I SD 7-9 Putra Seni Tunggal Tangan Kosong Tapak Suci PDM Sleman Competition 2 (2025), nama Hanif hampir selalu muncul di podium.
Total puluhan gelar telah ia kumpulkan, baik di kategori tanding maupun seni pencak, yang terbaru pada 16 Mei 2025 Hanif meraih Juara 3 Ki Hajar Dewantara Cup 2025 Lomba Seni Pencak Silat Nasional Antar Pelajar di BPMP DIY. Tak hanya satu dua medali, tapi deretan prestasi yang membuatnya layak disebut sebagai bintang muda pencak silat Sleman.
Baca juga: Menghindari Trauma Beragama pada Remaja
Namun, di balik ketangguhannya di gelanggang, Hanif adalah anak yang penuh kelembutan. Cita-citanya pun menyentuh hati, ia ingin menjadi dokter hewan.
“Aku ingin menyembuhkan binatang-binatang yang sakit,” katanya. Mungkin karena itu, meski tangannya lihai memainkan jurus, hatinya tetap lembut terhadap makhluk yang lemah.
Semboyannya sederhana tapi dalam. “Latihan adalah proses, kompetisi adalah evaluasi, juara adalah bonus,” ungkapnya. Sebuah filosofi yang tak hanya menunjukkan kedewasaan berpikir, tapi juga mental seorang pendekar sejati.
Dukungan dari kedua orang tuanya menjadi fondasi penting. Bagi Asdadik dan Indri, pencak silat bukan sekadar olahraga. Ia adalah jalan untuk membentuk karakter, menanamkan disiplin, sportivitas, menghargai peraturan, serta mengajarkan makna kemenangan dan kekalahan. Di gelanggang silat, Hanif belajar bukan hanya cara menyerang dan bertahan, tapi juga cara menerima dan menghormati.
Hanif adalah contoh nyata bahwa usia muda bukan halangan untuk berprestasi. Ia juga menjadi teladan bahwa kerja keras, semangat, dan dukungan keluarga adalah kunci untuk membuka jalan menuju mimpi. Hari ini, Hanif adalah juara di arena silat. Besok, siapa tahu ia akan menjadi dokter hewan yang menyembuhkan banyak kehidupan.