Pendidikan

HARDIKNAS 2025: Peran ‘Aisyiyah Mengembalikan Kesejatian Pendidikan

Oleh: Rachminawati

Pagi itu, Bu Siti, seorang ibu di desa kecil di Jawa Barat, memulai harinya seperti biasa. Menyiapkan sarapan bersama dengan suaminya, membangunkan anak-anak, lalu membersamai anak-anaknya mempersiapkan diri pergi ke sekolah. Selain menjadi seorang ibu rumah tangga, Bu Siti juga adalah penggerak PAUD di desanya, aktif di pengajian, dan salah satu kader ‘Aisyiyah yang setia mendampingi ibu-ibu lain untuk terus belajar dan berkembang.

Bu Siti percaya bahwa mendidik anak bukan hanya dengan menyekolahkan saja, tetapi justru yang utama adalah mendidiknya di rumah. Bagi Bu Siti keberhasilan pendidikan bukan soal nilai rapor, tapi soal membentuk karakter, membiasakan adab, dan menghidupkan semangat belajar sepanjang hayat. Dari tangan ibu-ibu seperti Bu Siti lah, pendidikan sesunggungnya menemukan bentuknya yang paling sejati: dengan kesadaran, penuh kehangatan dan kasih sayang, serta penuh makna.

Apa yang dilakukan Bu Siti sebenarnya mencerminkan semangat yang diusung ‘Aisyiyah sejak awal berdirinya, yaitu menjadikan perempuan sebagai pusat peradaban, sebagai pendidik pertama dan utama, baik di rumah maupun di masyarakat.

Tanggal 2 Mei bukan sekadar peringatan lahirnya Ki Hadjar Dewantara, sang Bapak Pendidikan Nasional, melainkan momentum untuk menengok ulang arah pendidikan kita. Sudah sejauh mana pendidikan hari ini dapat memanusiakan manusia? Membebaskannya dari berbagai keterbelengguan? Di tengah tuntutan zaman yang serba cepat ini, di tengah penyeragaman standar pendidikan, kita perlu untuk mengingat kembali akar dan kesejatian Pendidikan kita yang sudah hampir hilang.

Ibu-ibu dan Perempuan Indonesia saat ini lebih banyak yang terpaksa memilih bekerja di pabrik-pabrik dengan jam kerja yang sangat panjang dan melelahkan sehingga meninggalkan banyak peran domestiknya. Tentu dengan beragam alasan. Hasilnya adalah anak-anak mereka tidak mendapatkan Pendidikan terbaik dari Ibu yang harusnya menjadi madrasah utama dan pertama mereka.

Kondisi ini tentunya bukan semata-mata kesalahan mereka, tetapi sistem Pendidikanlah yang sudah mengubahnya. Padahal kesejatian Pendidikan itu tidak bisa dilepaskan dari rumah, dari ibu, dari perempuan. Sudah sejauh mana ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Islam tertua di Indonesia hadir kembali mengembalikan kesejatian Pendidikan nasional kita saat ini?

 

‘Aisyiyah dan Misi Peradaban

‘Aisyiyah didirikan pada 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 yang Embrio berdirinya ‘Aisyiyah telah dimulai sejak diadakannya perkumpulan Sapa Tresna di tahun 1914, yaitu perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kauman. Hal tersebut menunjukkan bahwa kader ‘Aisyiyah lahir dari hasil didikan terbaik keluarga Kauman yang moderat yang perannya tidak lepas ibu-ibunya, salah satunya dari istri Kyai Ahmad Dahlan, Nyai Siti Walidah atau Nyai Dahlan. Sejak didirikan, ‘Aisyiyah telah menanamkan benih perubahan yang kokoh melalui pendidikan untuk terwujudnya perempuan berkemajuan dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Baca Juga: ‘Aisyiyah Morotai Ikuti Diskusi Isu Perempuan dan Anak KREASI

Sejak awal, ‘Aisyiyah menyadari bahwa perempuan bukan hanya pelaku domestik, tapi agen peradaban. Karena itu, mereka mendirikan taman kanak-kanak, sekolah putri, hingga perguruan tinggi. Salah satu tokoh pendidik ‘Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan, telah jauh hari mencontohkan bagaimana perempuan bisa menghidupkan sekolah dan membentuk karakter umat melalui pendekatan kasih sayang dan nilai-nilai Islam. Ia membuka ruang tafsir kritis atas Al-Qur’an bersama para perempuan agar mereka mampu memahami ajaran Islam secara langsung dan membentuk keluarga dan masyarakat yang tercerahkan.

Dalam kerangka pendidikan sejati, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Maka, peran perempuan tidak boleh direduksi semata pada pekerjaan domestik, tapi justru harus diberdayakan sebagai pendidik utama. ‘Aisyiyah memahami ini. Karena itulah program-program mereka tidak hanya menyasar murid, tapi juga ibu dan keluarga. Mereka memberdayakan perempuan agar cerdas secara spiritual, emosional, dan intelektual—sehingga menjadi pendamping sejati bagi suami dan pendidik bagi anak-anaknya.

Namun realitas saat ini menunjukkan sebaliknya. Banyak ibu kehilangan ruang untuk berdaya karena tekanan ekonomi, sistem pendidikan yang kaku, dan minimnya dukungan sekitar. Tak sedikit pula yang menyerahkan seluruh proses pendidikan kepada institusi formal, tanpa menyadari bahwa karakter dan nilai justru paling kuat ditanamkan di rumah.

Banyak Ibu yang sudah tidak bisa melihat apalagi mengembangkan bakat, minat, dan keunikan anak-anaknya. Banyak Ibu yang beranggapan bahwa Pendidikan itu adalah semata tanggung jawab sekolah. Di satu sisi banyak Ibu yang lebay dan khawatir dengan masa depan anaknya sehingga melalukan apapun untuk ‘membentuk’ anaknya. Di sisi lainnya, banyak Ibu yang abai atau lalai mendidik anaknya sehingga anaknya tumbuh tanpa arah dan bimbingan.

Banyak Ibu yang tidak lagi memperhatikan binar mata kebahagiaan dan kesedihan anak dalam proses Pendidikan anak-anaknya. Dunia tampak sudah sangat beda dari sebelumnya. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik dalam Pendidikan nasional kita, pendidikan yang mengabaikan fitrah manusia, Pendidikan yang tidak memanusiakan manusia.

 

Pendidikan ‘Aisyiyah: Keseimbangkan Modernitas dan Keislaman

Melihat realitas sebagaimana digambarkan sebelumnya, sudah saatnya kita menciptakan bentuk baru pendidikan yang mengembalikan peran sebagai Ibu peradaban. ‘Aisyiyah, dengan spirit Ibu madrasah pertama dan utama anaknya, harus terus berjuang melawan arus besar yang telah menjauhkan spirit tersebut. Dalam setiap program yang dijalankan, ’Aisyiyah harus dapat memadukan dan menyeimbangkan perannya di ruang domestik dan publik. Terlebih lagi, di tengah tantangan yang dihadapi perempuan dalam masyarakat, yang seringkali membuat mereka terbelenggu oleh berbagai tekanan dan beban sosial, ‘Aisyiyah harus menjadi solusi untuk mengembalikan kesejatian Perempuan, kesejatian Pendidikan, kesejatian yang telah terkikis oleh norma-norma dan sistem yang membatasi potensi sejati mereka.

‘Aisyiyah perlu terus mengembangkan mekanisme kerja organisasi yang mengedepankan nilai-nilai modernitas yang tetap sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman dan kemuhammadiyahan. Institusi Pendidikan, baik formal maupun non-formal yang dimiliki ‘Aisyiyah harus bisa menjadi “rumah perubahan” ini. Program-program ‘Aisyiyah seperti pembinaan keluarga sakinah dan pengembangan diri perempuan yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh majelis-majelis harus terus dikembangkan sehingga terus memberi ilmu, inspirasi dan ruang bagi ibu untuk dapat membentuk generasi penerus yang berakhlak mulia, cerdas, dan peduli terhadap keluarga dan masyarakat. Kembalinya ibu dan perempuan yang terdidik sejati adalah kunci mengembalikan kesejatian pendidikan nasional kita. Selamat memperingati HARDIKNAS 2025!

Related posts
Lensa OrganisasiSosial Budaya

Mewarnai Pemberitaan Publik Melalui Citizen Journalism ‘Aisyiyah

Oleh: Susilastuti Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang kita alami saat ini telah mengubah lanskap produksi dan distribusi informasi. Kini produksi…
HikmahLensa Organisasi

Menyalakan Cahaya Peradaban lewat 7 Karakter Berkemajuan

Oleh: Nur Ngazizah Bagi Muhammadiyah, perempuan memiliki peran dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Perempuan menurut Kiai Dahlan harus turut andil dalam…
PerempuanSosial Budaya

Ibu yang Berkesadaran: Refleksi Gerakan 'Aisyiyah

  Oleh: Rachminawati 21 April adalah hari yang Istimewa dan bersejarah bagi bangsa Indonesia karena di hari ini kita memperingati Hari Kartini….

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *