Oleh: Gatot Supangkat Samidjo*
Alam semesta seringkali dipahami sebagai alam sekitar kehidupan manusia. Pandangan tersebut kemudian yang melahirkan pemikiran dikotomis (manusia dan alam) dalam kehidupan manusia. Inilah yang membentuk perilaku hubungan manusia terhadap alam.
Dikotomisasi cara pandang dan perilaku seperti itu yang kemudian menimbulkan permasalahan serius dalam kehidupan manusia sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya perubahan secara radikal (mendasarkan pada akar masalah) terhadap cara pandang manusia terhadap alam. Perubahan cara pandang secara radikal diharapkan mampu mengubah dan membangkitkan kesadaran serta perilaku manusia terhadap alam agar menjadi lebih bijaksana.
Landasan Filosofis Kehidupan
Sebelum kita bahas lebih lanjut tentang lingkungan, mari kita pahami riwayat yang tersurat dalam al-Quran yang berfungsi menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia secara universal apabila kita mampu memetik hikmahnya. Allah dengan tegas berfirman bahwa Dia akan menjadikan (menciptakan) khalifah di bumi.
Hal itu kemudian dipertanyakan oleh Malaikat, “Mengapa Engkau (Allah) akan menciptakan khalifah (manusia) yang akan membuat kerusakan?” Pertanyaan tersebut langsung dijawab oleh Allah, “Sesungguhnya Aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30). Setelah itu, Allah memberikan kelengkapan manusia yang telah dipilih sebagai khalifah dengan akal dan pikiran sehingga melebihi makhluk Allah lainnya (QS. al-Baqarah: 31-34; QS. al-An‘am: 165).
Inilah landasan filosofis ilahiyah manusia sebagai makhluk hidup yang paling dominan secara ekologis di ekosistem bumi (alam semesta). Namun, sebenarnya tingkah laku atau perbuatan manusia sebagai khalifah di bumi akan selalu dimonitor oleh Allah (QS. al-A’raf). Apabila terjadi penyimpangan dari petunjuk yang telah digariskan-Nya, manusia akan menanggung kerugian (QS. Fathir: 39). Selanjutnya, dituntunkan juga bahwa sebagai khalifah, manusia harus berbuat adil dalam berperilaku dan tidak mengumbar hawa nafsu agar terhindar dari malapetaka/azab (QS. ar-Rahmaan: 8-9, QS. Shaad: 26).
Baca Juga: Perempuan dan Lingkungan Hidup
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya telah jelas landasan perilaku manusia dalam kehidupannya; apakah mau merusak atau memelihara dan melestarikan karena semua itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bagaimana bentuk hubungan manusia dengan sesama makhluk Allah secara luas (alam sekitar/lingkungan) tergantung kepada manusia sendiri.
Bentuk Hubungan Manusia dengan Alam
Secara teologis, ada tiga bentuk hubungan manusia dengan alam. Pertama, hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah (beriman kepada Allah) karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali hanya kepada Allah yang menciptakan alam.
Kedua, hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumber dayanya diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan sumber daya alam untuk menunjang kehidupan ini harus dilakukan secara wajar, tidak boleh berlebihan atau boros. Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumber daya alam yang hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini, sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumber daya alam untuk kepentingan tertentu, sehingga hak pemanfaatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
Ketiga, hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk. Manusia mempunyai kewajiban memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja, akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan dan mengabaikan asas pemeliharaan dan konservasi, sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya, manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, baginya tersedia balasan ganjaran dari Allah swt.
Manusia dalam hubungannya dengan Allah, berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan Allah. Dalam berhubungan dengan Allah ini, manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Allah (yakni: alam adalah ayat-ayat kauniah Allah). Manusia juga memerlukan alam (misalnya pangan, papan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah.
Baca Juga: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Konsepsi dan Manifestasi
Kita perlu lebih dahulu memahami fungsi dasar dari alam (lingkungan). Fungsi alam yakni pemenuhan kebutuhan dan pelayanan. Alam dengan segala sumber dayanya telah diciptakan Allah untuk melayani kebutuhan manusia, dan Allah telah menundukkan alam kepada manusia (QS: 2: 29; 31: 20; dan 45:12). Ketundukan alam terhadap manusia atas perintah Allah ini, tidak bermakna bahwa manusia bebas melakukan apa saja terhadap alam (sebagaimana paham antroposentris dan materialis), tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Yang Menciptakan Alam.
Ketundukan alam ini sebenarnya mengandung pesan bahwa Tuhan Allah swt. berperan dalam proses kejadian alam dan segala sesuatu yang terjadi di alam ini. Alam ditundukkan kepada manusia, juga menyiratkan pesan bahwa manusia memang menjadi pemimpin (khalifah) bagi alam (bumi), dan kepemimpinannya ini juga atas kehendak dan campur tangan Allah swt. Fungsi dan peran ini merupakan landasan ideal untuk melahirkan atau mengembangkan asas legal perlunya perlindungan dan tindakan konservasi sumberdaya alam/lingkungan.
Fungsi alam dengan segala sumber daya alamnya, bukan hanya untuk melayani atau memenuhi kebutuhan manusia saja, akan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup lainnya. Hukum-hukum (agama) Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang dikembangkan berdasarkan konsep ini dengan demikian harus secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa segala sumber daya ciptaan dan atau anugerah Tuhan diperuntukkan bagi semua makhluk hidup, bukan hanya untuk manusia.
Oleh karena itu, semua makhluk hidup yakni manusia, hewan maupun tumbuhan, mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan karunia Tuhan berupa sumber daya alam. Manusia diperkenankan memanfaatkan sumber daya alam untuk mempertahankan hidup dan melanjutkan kehidupannya serta untuk kemashlahatan umum, akan tetapi tidak boleh berlebihan (israf), berbuat aniaya (dzalim) dan berbuat kerusakan (fasad). Pesan ini berkali-kali disebut oleh Allah swt. dalam al-Quran. Untuk itu, perlu kita pahami bagaimana pula terjadinya kerusakan lingkungan dan siapa saja yang andil dalam prosesnya.
Kerusakan Lingkungan
Allah telah menciptakan alam (lingkungan) secara proporsional dan seimbang (harmonis) sehingga tidak mungkin terjadi penyimpangan dalam dinamikanya. Berdasarkan konsep sistem keseimbangan alam (natural equilibrium system) ketika terjadi ketidak-selarasan dalam dinamikanya, hal itu tidak akan berlangsung lama dan segera dapat kembali pada kondisi semula (QS. ar-Rahman: 19-20, QS. al-Mulk: 3-4). Hal itu terjadi karena tiap komponen (subsistem) dalam sistem alam berada pada kuantitas dan kualitas yang tetap (sunnatullah).
Bencana yang timbul hingga saat ini, dengan intensitas yang semakin tinggi, baik kuantitas dan kualitasnya, karena kondisi alam sudah tidak setimbang lagi. Ketidakseimbangan terjadi karena pemanfaatan alam (sebagaimana fungsinya) melebihi daya dukung alam (lingkungan) sehingga tidak terjadi keharmonisan lagi. Ketidakharmonisan alam saat ini terjadi, disebabkan adanya pandangan (persepsi) manusia terhadap alam yang salah sehingga melahirkan perilaku yang salah juga terhadap alam.
Sebagaimana telah banyak dituntunkan dalam al-Quran, manusia dipersilakan memanfaatkan alam tetapi juga harus sadar bahwa memanfaatkan itu harus proporsional dan tidak berlebihan (QS. al-A’raf: 31) sehingga dapat menimbulkan kerusakan atau bencana bagi dirinya sendiri di kemudian hari. Untuk mencapai pemahaman imanensial (yang menempatkan manusia sebagai bagian alam yang tak terpisahkan) seperti itu tidaklah mudah tetapi itu harus diusahakan, sebagaimana tuntunan Islam. Hal itu perlu diusahakan dengan tujuan untuk mengendalikan diri dari segala keinginan, baik lahiriah maupun batiniah, dalam mencapai keselamatan dan keserasian kehidupannya (derajat muttaqin).
Baca Juga: Menjaga Lingkungan Hidup Amanah Allah
Dalam pemanfaatan alam ini, pengendalian diri secara komunal perlu dilakukan agar fungsi alam tetap lestari. Bagimanapun, kelestarian alam/lingkungan akan berdampak pada keselamatan dan keberlanjutan kehidupan manusia. Artinya, apabila manusia akan mengambil (mengeksplorasi) atau bertindak sesuatu terhadap alam maka ketika itu harus terpikir pula dampak negatif apa yang akan muncul.
Misalnya ketika menebang pohon atau membangun bangunan di daerah hulu atau di bantaran sungai, atau membuang sampah, di sungai atau selokan, hendaknya dihindari karena mudharat-nya bagi kelestarian fungsi alam lebih banyak daripada maslahat-nya. Dengan kata lain, ketika manusia memanfaatkan sumber daya alam/lingkungan, harusnya juga berusaha melakukan konservasi sebagai akibat kerusakan yang ditimbulkan.
Seperti itulah pemikiran dan perilaku khalifatullah fil ard (QS. al-Baqarah: 30), sebagaimana yang diharapkan oleh Allah terhadap manusia sebagai wakil Allah dalam memimpin, memelihara, mengatur, dan mengelola alam ini. Akhirnya, keberhasilan kita dalam membangun harmonisasi kehidupan alam semesta ditentukan oleh seberapa baik hubungan kita dengan alam (hablun minal ’alam) yang menjadi tolok ukur hubungan dengan sesama manusia (hablun minannaas), dan hubungan kita dengan Allah (hablun minallah). Insya Allah.
Akhirnya, apa pun yang kita niatkan, tidaklah mungkin terlaksana tanpa ridha dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, marilah kita memohon kepada-Nya melalui doa. Hanya melalui doa, keinginan (niat) manusia dapat bertemu dengan kehendak Allah.
*Agroteknologi FP dan Program Profesi Insinyur FT UMY. Sekretaris Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah