Di pagi yang cerah, matahari bersinar di ufuk timur. Cahayanya menyelinap di sela sela tirai ruang tamu. Sembulan sembulan putih tampak cantik seperti efek filter di instagram yang bling bling itu. Bu Dina menengok jam dinding yang sudah belasan tahun menempel di dinding ruang tamu mungil ini. Ya sekarang baru pukul 6 pagi pantas saja matahari masih sedikit malu malu bersinar.
Ketenangan dan keindahan di ruang tamu ternyata tak seindah di ruang makan, dapur dan sekitarnya. Bu Dina terlihat repot sekali dengan 3 anaknya yang mau berangkat sekolah. Sang suami? Jangan tanya lagi, dia sudah sibuk sendiri dengan persiapannya ke kantor meski kadang masih teriak teriak minta handuk dari kamar mandi dan handuknya pun berakhir mengenaskan, tergeletak di atas kasur.
Anak pertama bu Dina masih sibuk kesana kemari dengan kemeja putih di tangannya. Ya, kemejanya belum disetrika. Bukannya lupa ga disetrika tapi bu Dina salah setrika kemejanya yang kekecilan. Ya Robb…desahnya.
Beda lagi dengan anak bu Dina yang kedua, seorang gadis mungil nan cantik sudah siap dengan gamis bunga bunganya dan kerudung merah mudanya. Hari ini dia berjanji tidak akan menangis lagi di kelas karena ditinggal ibunya. Tas bekalnya sudah penuh dengan berbagai makanan dan susu kotak kesukaannya. Namun, tiba tiba, tanpa sengaja gadis mungil itu memecahkan gelas yang ia bawa ke ruang tamu.
Prang…suaranya menambah irama melodi pagi ini. Seketika teriakan bu Dina pun menggelegar. Sambil menggendong si bungsu yang baru 10 bulan, bu Dina akhirnya tak kuasa untuk menahan teriakannya karena si gadis mungil itu sudah menangis di depan pecahan gelas. Si bungsu pun ikut ambil suara, huwaaa….huwaaa….huwaa…lengkap sudah orkestra pagi ini di rumah bu Dina.
Ambil nafas dulu ya bu ibu bacanya
Coba ingat ingat apakah ibu ibu pernah mengalami kejadian seperti diatas? Atau malah sering? Kira kira bagaimana kelanjutan kejadian tersebut?
Ada beberapa kemungkinan ending dari kejadian di atas. Yang pertama, akhirnya bu Dina teriak teriak dan marah marah. Anak anaknya akan terdiam seketika namun selanjutnya menangis berjamaah, bu Dina makin stres.
Yang kedua, endingnya adalah terjadinya pertengkaran hebat dengan sang suami yang tidak peka membantu bu Dina. Saling menyalahkan, saling tunjuk dan ironisnya semua itu terjadi di depan anak anak mereka.
Baca Juga: Gebrakan PPNA dan PCNA Tieng: Program PMT untuk Percepat Penurunan Stunting di Desa Tieng
Yang ketiga, ini adalah ending yang berakhir bahagia. Bu Dina diam sejenak dan mulai menjernihkan pikirannya, mengontrol emosinya dan perilakunya. Menenangkan diri dengan penuh kesadaran tentang apa yang sedang terjadi sehingga dia bisa berpikir tindakan apa yang akan dilakukan agar situasi ini terkendali dan membaik.
Dengan tenang, bu Dina ambil nafas panjang dan hembuskan sambil melafalkan istighfar. Lalu bu Dina menghampiri suaminya dan dengan perkataan yang halus, sopan dan takzim, bu Dina meminta tolong beliau untuk membantunya. Singkat cerita, akhirnya semua kembali normal dan mereka siap berangkat ke sekolah dan kantor meski agak terlambat.
Nah, dari ketiga ilustrasi ending dari kejadian di atas, kita dapat melihat dan merasakan bahwa dengan situasi yang sama namun jika direspon berbeda maka hasilnya pun akan berbeda.
Sekarang ijinkan saya meminta ibu membayangkan, benar benar membayangkan, jika ibu berada pada posisi Bu Dina yang ilustrasi terakhir. Apa yang terjadi dalam diri bu Dina ketika dia ambil nafas panjang sambil melafalkan istighfar? Apa yang terjadi dalam diri bu Dina ketika dia berusaha menenangkan pikiran dan emosi saat itu? Coba bayangkan dan rasakan.
Ya, dia akan menenangkan dirinya sendiri dengan mengatakan pada dirinya sendiri untuk tenang, tenang, sabar, sabar.
Ketika kata kata, “tenang, tenang dan sabar,sabar ” ini diucapkan baik secara lirih, dalam hati, maka kata kata ini seakan akan memerintahkan pikiran dan hati kita juga tenang dan sabar. Ketika dilakukan terus menerus dengan penuh kesadaran dan penghayatan maka secara otomatis hati dan pikiran kita menjadi tenang dan sabar sehingga akhirnya perilaku kita juga terkontrol
Artinya apa?
Ya, kata kata yang diucapkan dengan penuh kesadaran dan penghayatan dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita jadi berubah yang tadinya ruwet dan ingin marah marah kini menjadi lebih jernih, tenang dan sabar.
Ilustrasi ini menggambarkan bahwa bahasa atau kata kata yang kita ucapkan pada diri sendiri (self talk) bisa mengubah perasaan dan pikiran kita. Pikiran kita ini seperti kita program ulang untuk mengikuti kata kata tersebut. Artinya, sebenarnya kita bisa memprogram atau mengotak atik pikiran kita dengan menggunakan kata kata yang kita inginkan. Tinggal kita sendiri yang mau memilih kata kata positif atau kata kata negatif, semua dalam kendali kita masing masing.
Dari pemaparan diatas, mulai dari ilustrasi kejadian di pagi hari di keluarga bu Dina, lalu beberapa kemungkinan endingnya dan akhirnya kita coba fokus ke ending yang positif, kita jadi tahu bahwa, sebenarnya mau endingnya seperti apa, prosesnya tetap sama. Tahapan prosesnya yaitu ada kejadian puncak (gelas pecah, anak nangis dll), dilihat, dirasakan, didengar oleh bu Dina, masuk informasi ke otak, muncul perasaan tertentu (marah, kesel dll), dan muncullah tindakan (teriak teriak, marah marah dll).
Ini terjadi pada proses ending yang pertama. Yang membedakan ending pertama dan ketiga adalah ketika kejadian luar itu masuk dalam otak atau pikirannya maka dia segera mengeluarkan atau mengakses kata kata positif (tenang, tenang, sabar,sabar), lalu kata kata tersebut mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakannya. Jadilah tindakannya ini sesuai perkataannya tadi, yaitu, tenang tenang, sabar sabar.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perbedaan pilihan “kata kata atau pola bahasa” akan mempengaruhi tindakan atau perilaku kita terhadap suatu kejadian. So, mari lebih aware, tenang dan bijaksana dalam merespon suatu keadaan. Pilih kata kata dan respon yang positif dan memberdayakan agar hidup kita lebih bermakna dan berkualitas.
1 Comment