Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Berbicara tentang perempuan penjaga bumi adalah berbicara tentang ibu bumi atau ibu pertiwi. Dalam Islam, ibu ditempakan pada posisi yang mulia dan istimewa seperti yang terdapat dalam surat Luqman ayat 14.
Hal itu disampaikan oleh Hening Parlan saat menjadi narasumber pada pelatihan mubalighat lingkungan hari kedua yang diselenggarakan oleh LLHPB PP ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Lazismu PP Muhammadiyah, Sabtu (25/12).
Bagaimana dengan ibu bumi? Menurut Hening, ibu bumi atau ibu pertiwi adalah sebutan lain dari alam semesta yang disifatkan sebagai perempuan bernama ibu. “Jadi alam itu diinterpretasikan sebagai ibu. Jika alam disakiti, maka sakitlah ibu,” kata dia.
Perempuan penjaga bumi, kata dia, adalah perempuan yang terlibat dalam gerakan eco jihad. Banyak sekali definisi jihad, namun yang perlu didengungkan menurut dia adalah perempuan ber-eco jihad.
Dalam al-Quran dijelaskan, Allah menciptakan alam semesta, bumi, matahari, dan bulan sudah beredar menurut perhitungan dan Allah menciptakan keseimbangan agar manusia tidak merusaknya.
“Dari sini kita melihat bahwa betapa pentingnya eco jihad. Sebagai perempuan melihat bahwa kerusakan lingkungan di satu sisi dan menjaga lingkungan adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh semua umat manusia,” ujarnya.
Baca Juga: Mubalighat Lingkungan Aisyiyah Diharapkan Menjadi Garda Terdepan Mengkampanyekan Isu Lingkungan
Menurut dia, dampak kerusakan lingkungan sangat besar sehingga hal itu tidak bisa dipahami dengan cara yang biasa saja, namun dipahami dengan cara yang lebih kuat.
“Mungkin orang menamakannya dengan lebih revolusioner, tetapi kita menamakannya dengan eco jihad,” tandasnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, menjadi mubalighat lingkungan adalah panggilan dakwah untuk menyelamatkan bumi dengan berbagai aksi. Seharusnya ajaran agama dijadikan praktik keseharian di mana gerak manusia beragama harusnya terus menerus sampai akhir hayat.
Kata Hening, menjaga lingkungan bukan hanya berhubungan dengan situasi sekarang dan akan datang, namun juga berarti melakukan koreksi terhadap kebijakan masa lalu yang salah. Lanjut dia, menjaga bumi adalah menyelamatkan generasi, apabila bumi rusak maka generasi akan hilang secara perlahan.
“Menjadi mubalighat lingkungan artinya menjaga generasi yang akan datang. Kalau bumi rusak, maka generasi kita akan hilang dan kita tidak mempunyai generasi yang baik,” pungkasnya.
Hening melanjutkan paparannya tentang pentingnya eco jihad bagi ‘Aisyiyah. Menurut Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB PP ‘Aisyiyah itu, eco jihad merupakan panggilan dakwah dari nilai-nilai Islam yang berkemajuan.
Nilai Islam berkemajuan, kata dia, diperkuat dengan proses sosialisasi dan peningkatan kapasitas, sehingga amalan praktis dalam bentuk proses inovasi dalam berbagai bidang yang itu ada dalam ‘Aisyiyah, seperti pendidikan, universitas, keluarga sakinah, qoryah thayibah, kesehatan, dan ditopang dengan kearifan lokal masing-masing wilayah akan menjadi dasar dari panggilan dakwah itu.
“Kita tahu bahwa pengelolaan lingkungan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan semata. Kerusakan lingkungan ada karena struktural dan kultural. Oleh karena itu, kita membutuhkan mubalighat yang sangat beragam dari berbagai sektor,” paparnya.
Oleh karena itu, Hening menegaskan ‘Aisyiyah memiliki kewajiban yang melekat untuk dakwah sehari-hari yang dalam konteks kekinian adalah dakwah untuk merawat dan menjaga lingkungan yang dia mengistilahkan dengan eco jihad. (Iwan Abdul Gani)