Aksara

Hidangan Soto Pengajian

soto pengajian

Oleh: Em Hadziq

Pak Manan sedikit gundah. Pengajian bulanan tadi malam tidak berlangsung sempurna. Jamaah yang hadir hanya sedikit, itu pun molor waktunya. Jika biasanya dimulai pukul 20.00, tadi malam baru bisa dimulai pukul 21.00. Akibatnya, yang telah hadir mulai mengantuk, sementara jamaah masih saling menunggu.

Pengajian rutin setiap malam Senin awal bulan ini memang dibuat bergilir. Kadang di rumah warga, kadang di masjid, kadang pula di musala. Namun, biasanya, jika dilaksanakan di masjid atau musala, jamaah yang hadir jauh lebih sedikit daripada ketika dilaksanakan di rumah jamaah. Maklum, mungkin ada rasa sungkan.

Sebenarnya pengajian bergilir di rumah warga juga ada kendala ekonomi. Ada jamaah yang merasa berat mendapat giliran karena harus menyediakan konsumsi. Meskipun Pak Manan selaku ketua jamaah pengajian selalu mengingatkan agar tidak merepotkan tuan rumah, namun tetap saja tuan rumah merasa perlu “mengada-adakan” untuk jamuan jamaah.

Suatu hari, Pak Manan meminta Bu Marhamah yang tinggal tidak jauh dari masjid untuk bersedia ditempati pengajian. “Bu, mohon malam Senin bulan depan pengajiannya di tempat Ibu, ya ?” pinta Pak Manan.

“Ah, nanti seperti dahulu,” jawab Bu Marhamah spontan, “sudah disiapkan, eh, banyak jamaah yang tidak datang,” ujarnya sedikit kecewa.

Memang dahulu Bu Marhamah pernah ketempatan pengajian, kala itu diperkirakan yang hadir 50 orang. Namun rupanya, tetangga ada yang punya hajat mendadak, akhirnya banyak jamaah yang tidak hadir. Soto yang kala itu sudah disiapkan oleh Bu Marhamah pun menjadi mubadzir.

Dua minggu sejak peristiwa itu, Bu Marhamah tidak pernah menyapa Pak Manan, walaupun mereka berpapasan di jalan. Pak Manan menyadari hal itu, tetapi ia tetap melempar senyum saat bertemu Bu Marhamah. Akhirnya, Bu Marhamah membalas sapaan Pak Manan ketika mereka bersama-sama menjadi panitia ulang tahun desa.

“Semoga pengajian yang besok tidak ada kendala bagi jamaah lagi, ya Bu. Jangan repot-repot,” jelas Pak Manan, “sediakan yang biasa sajalah. Air kemasan saja sudah cukup, kok,” tambahnya.

Bu Marhumah berpikir sejenak. “Baiklah, insyaAllah saya siapkan, ” jawab Bu Marmahah, “tetapi jangan seperti dahulu lho, sebab akan siapkan yang agak spesial,” tambahnya.

Alhamdulillah,” jawab Pak Manan. Pak Manan menyadari jika Bu Marhamah bilang spesial, tentu ada hidangan khusus yang akan disiapkan. Memang bukan makanan mewah, tetapi biasanya Bu Marhamah menyiapkan soto dengan bumbu rempah yang unik. Semua jamaah mengakui bahwa Bu Marhamah paling ahli membuat bumbu soto. Ketika lebaran tiba dan silaturahmi di rumah Bu Marhamah, jamaah sering berburu soto buatannya. “Mak nyus” sedapnya.

Baca Juga: Langkah Mudah Memotret Produk Makanan dari Rumah

Di hari-H, Bu Marhamah, anak, dan menantunya sibuk menyiapkan hidangan pengajian. Sebagaimana yang ditebak, menu istimewa adalah soto. Minggu itu udara cerah. Racikan hidangan soto sudah siap. Meja-kursi sudah dipinggirkan. Tikar plastik sudah dibentangkan. Pengeras suara dari salon kecil juga sudah nangkring di meja kecil.

Namun, menjelang Maghrib, tiba-tiba listrik padam disertai angin kencang. Jaringan selular juga down. Keluarga itu bingung. Anaknya keluar rumah, melihat ke langit. Tampak langit di bagian Timur mendung dan sebagian gelap. “Waduh, alamat hujan, nih,” gumamnya dalam hati. “Bisa gawat, ibu bisa ngamuk kalau acara malam ini gagal lagi.” Ia hanya diam. Masuk rumah dan membisu. Hanya bisa berdoa agar nanti malam tetap terlaksana dengan baik.

Malam itu, meskipun hujan mulai rintik-rintik dan mati lampu, jamaah salat Maghrib di masjid Al-Hidayah tetap ramai. Mereka salat diterangi dengan lampu emergency. Menjelang salam, hujan semakin deras, bahkan dibarengi petir yang menyambar. Begitu imam selesai membaca salam terakhir, jamaah pun berhamburan segera pulang ke rumah. Mereka takut terjebak hujan, tidak bisa pulang.

Di rumah, Bu Marhamah tampak mulai cemberut.  Hujan semakin lebat. Listrik masih padam. Angin makin kencang dan petir juga masih menggelegar. Hujan sepertinya masih akan lama. Dengan lemas Bu Marhamah duduk di kursi kemudian ia rebahkan badannya. Dibiarkannya tangannya terkulai, kakinya menjulur, raut mukanya kecewa. Sampai pukul 20.00 tidak ada tanda-tanda hujan reda, bahkan derasnya belum berkurang.

Namun, tak berapa lama kemudian, terlihat sekelebat bayangan orang bermantel, berjalan setengah berjinjit. Sosok itu mengetuk pintu dan masuk. Rupanya Pak Manan.

Assalamu’alaikum,” katanya setelah melepas mantel. “Waduh hujan deras, nih”, lanjutnya sambil masuk rumah Bu Marhamah. Anak dan menantu Bu Marhamah menyambut. Pak Manan pun menyeruput kopi yang dihidangkan.

Assalamu’alaikum,” tiba-tiba suara muncul dari balik pintu depan. Tiga orang jamaah hadir, yaitu Pak Basuki, Pak Ahmad, dan Pak Muntoyib. Baju mereka agak basah karena hanya menggunakan payung. Mereka pun masuk dan segera menikmati kopi yang dihidangkan.

Pukul 21.00 pun telah lewat, namun belum ada tanda-tanda bertambahnya jamaah. Hujan masih turun, listrik masih padam. Pak Manan mulai khawatir, kejadian yang dahulu akan terulang lebih parah. Sementara, Bu Marhamah tidak keluar menyambut. Ia hanya berdiam di belakang, duduk termenung. Ia menyalahkan Pak Manan.

Nduk, sotonya diracik saja, kuahnya dipanaskan. Kalau sudah siap dihidangkan ya, saya mau ke kamar,” katanya kepada menantunya. “Iya, Bu,” jawab menantunya langsung melaksanakan perintah.

“Bagaimana ini, Pak?” tanya Pak Basuki kepada Pak Manan.

“Ya, bagaimana lagi, hujan dan mati lampu. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Allah yang mengatur segalanya,” jawab pak Manan.

“Terus, pengajiannya bagaimana, apa kita mulai sekarang saja?” tanya pak Muntoyib sambil menyeruput kopinya. Ia juga mengkhawatirkan istrinya yang di rumah sendirian.

Tanpa banyak dialog, Pak Manan memulai pengajian dan menyampaikan tentang hikmah hujan dan mati lampu ini. Ia menyampaikan bahwa kehendak Allah berada di atas segalanya. Manusia hanya dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Menurutnya, kita harus yakin bahwa setiap kejadian apabila disikapi dengan baik akan memberikan hasil yang baik pula. Namun, apabila disikapi dengan keangkuhan dan kesombongan, akan buruk akibatnya.

Pak Manan juga menjelaskan bahwa datangnya hujan adalah rahmat bagi semua makhluk. Ini karena seluruh yang ada dunia ini memerlukan air dan dengan air itu segalanya menjadi hidup. Banyak yang disampaikan oleh Pak Manan pada kesempatan itu. Walaapun jamaahnya hanya lima orang, namun pengajian kecil itu tetap dilaksanakan dengan penuh kesederhanaan.

Pengajian menjadi berhenti ketika hidangan soto dikeluarkan. Kesegaran aroma soto membuyarkan konsentrasi jamaah pengajian. Inilah yang ditunggu Pak Basuki, Pak Ahmad, dan Pak Muntoyib: soto Bu Marhamah. Pengajian itu pun disudahi dan dilanjutkan dengan menyantap soto. Suasana dingin menambah nikmatnya rasa soto.

Sementara di dalam kamar, Bu Marmahah tidur dengan tidak nyaman. Soto untuk kapasitas 40 orang itu kini tampak sia sia. Hanya ada empat orang jamaah yang menikmatinya. Tidak lebih. Bu Marhumah menimbang-nimbang, siapa yang akan menghabiskan sisanya. Jika diberikan ke tetangga, masih hujan. Jika dibagikan esok hari, tentu rasa dan suasananya sudah sangat berbeda.

Bu Marhamah merasa kecewa. Ia sebenarnya sudah enggan ditempati pengajian karena pernah mengalaminya, tetapi Pak Manan membujuknya. Semakin diingat, Bu Marhumah semakin kecewa dengan Pak Manan. Seharusnya ia bisa mendapat pahala dengan menghidangkan soto kepada banyak jamaah. Namun, jika hanya empat orang seperti ini, dari mana lagi pahala yang akan didapatnya. Hidangan soto buatannya pun menjadi sia sia. Tidak ada yang manfaatnya.

Keesokan harinya Pak Manan mendapat pesan dari Bu Marhamah, “Pak saya tidak mau lagi dijadikan tempat pengajian!” Deg! Pak Manan menghempaskan badannya di kursi. Matanya menerawang. Ia hembuskan napasnya panjang-panjang. Lalu ditutup muka dengan tangannya. “Berat … berat,” gumamnya.

***

Dua kali lebaran sejak kejadian itu, dua kali pula para tetangga merasa hampa bersilaturahmi ke rumah Bu Marhamah. Tidak ada lagi hidangan soto seperti dahulu, sebelum kejadian itu. Rasa dan aroma soto Bu Marhumah membuat mereka kangen. Susah menemukan rasa dan aroma itu ditemukan di tempat lain. Mereka agak kecewa, tetapi mau bagaimana lagi. Para tetangga hanya saling berpandangan, sesekali mengangkat bahu, tanda tidak mengerti. Akan tetapi, Pak Manan sangat paham, Bu Marhamah masih kecewa. Ketiadaan hidangan soto adalah pelampiasan kekecewaannya.

Namun, berbeda dengan Pak Basuki yang telah setahun ini pindah ke luar kota. Pada lebaran hari ketiga, Pak Basuki bersama keluarganya mengunjungi Bu Marhumah.

“Masih bikin soto, Bu?” tanyanya setelah duduk. “Ah, masih repot. Tidak sempat,” jawab bu Marhamah sekenanya. Raut mukanya tidak suka ketika Pak Basuki menyebut soto. “Ayo, silakan diminum dan dicoba hidangannya,” kata Bu Marhamah cepat-cepat, ingin segera mengalihkan bahan obrolan.

“Begini, Bu,“ kata Pak Basuki sambil membenarkan duduk-nya, “kami sekeluarga ingin mengucapkan terima kasih karena Bu Marhamah sudah menjadi inspirasi usaha kami.” Bu Marhamah bengong, tak mengerti. Dalam hati ia membatin, “Inspirasi apa? Tidak ada yang pernah saya berikan.” Sambil sedikit mengernyitkan wajah, ia bertanya dengan penuh keheranan, “Inspirasi apa, ta?”

Baca Juga: Pengajian: Penggerak Perubahan

Pak Basuki dan istrinya saling berpandangan, setengah tersenyum. Air muka mereka menunjukkan bahwa mereka sa-ngat bahagia. “Alhamdulillah usaha kami sekeluarga di tempat tinggal kami yang sekarang ini cukup maju. Kami bisa membantu memberi pekerjaan kepada tiga orang,” kata Pak Basuki. Bu Marhamah semakin tidak mengerti.

“Dahulu, dua kali saya hadir waktu pengajian di tempat Ibu. Saya dan istri sangat terkesan dengan rasa soto yang dihidangkan. Sangat pas di lidah. Bumbu dan rempahnya terasa. Segar dan sangat nikmat. Istri saya mencari tahu cara memasak dan bahan dari anak ibu. Itulah yang menjadi inspirasi kami. Akhirnya kami membuka usaha warung soto di tempat kami yang baru. Alhamdulillah sampai hari ini lancar, bahkan sangat lancar. Terima kasih sotonya, Bu,” jelas Pak Basuki dengan antusias dan wajah berseri-seri.

Pak Basuki kemudian melanjutkan, “Jadi, dengan pengajian di tempat Ibu, Ibu mampu mengembangkan dakwah melalui soto. Ini lebih bermakna bagi kami, Bu. Di tempat kami yang baru, kami juga mendapat giliran untuk tempat pengajian jamaah masjid. Hidangan istimewa kami, ya soto ala Bu Marhamah. Pokoknya semua menjadi luar biasa. Semoga amal ibu dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat ganda,” tambah Pak Basuki.

Bu Marhamah mendengarkan dengan seksama. Ia tidak menyangka, sotonya bisa melegenda, bahkan mampu meningkatkan ekonomi keluarga Pak Basuki dengan para pekerjanya. Seketika ia tersadar dengan sisi lain makna pengajian. Pengajian ternyata tidak harus dengan banyak orang. Mata Bu Marhamah menjadi sedikit nanar. Ada genangan air mata yang akan meluncur, tetapi segera dihapus dengan ujung jilbabnya. Ia malu. Ada rasa haru bercampur sesal.

Allah telah menunjukkan manfaat lain dari sebuah peristiwa. Kepala Bu Marhamah semakin terasa panas. Dadanya seakan sesak. Bibirnya bergetar dan melantunkan kalimat istighfar.  Selama ini ia telah berburuk sangka, padahal Allah paling tahu kebutuhan hamba-Nya. Hanya manusia seperti dirinya yang sering kurang sabar.

Tangan Bu Marhamah menggapai-gapai, mencari HP. Dengan tetap diam ia menulis pesan kepada Pak Manan, “Pak, insyaAllah rumah saya siap dijadikan tempat pengajian kapan saja.” Langsung ia tekan tombol kirim. Tepat saat dua bulir air mata jatuh di layar HP-nya.

Related posts
Berita

PRM Manggis Selenggarakan Pengajian Umum dan Halal Bi Halal 1445 H

Brebes, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Manggis Kota, Kecamatan Sirampog, Brebes selenggarakan Pengajian Umum dan Halal bi Halal bersama seluruh…
Berita

Hari Ber-Aisyiyah PDA Kota Semarang Banjir Peserta

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Sedari pagi, Ahad (21/1), Aula Rumah Sakit Roemani Kota Semarang telah ramai dipenuhi oleh ibu-ibu anggota ‘Aisyiyah se-Kota…
Berita

PRM Kebun Bunga Gelar Pengajian Awal Tahun, Bahas Ibadah Sesuai Tarjih Muhammadiyah

Palembang, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kebun Bunga Sukarami Kota Palembang, menggelar pengajian di awal tahun 2024, Ahad (14/1) di…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *