Oleh: Ahimsa W. Swadeshi
“Panggil aja Mami Gelora!” suara riang itu tidak lain dan tidak bukan adalah milik Herni Widiastuti Yanuarsasi. Sapaan akrabnya Widi. Perempuan kelahiran bumi Pasuruan, 14 Januari 1975 ini merupakan seorang difabel daksa yang produktif menulis dan membacakan puisi lewat beberapa media dan komunitas. Mami Gelora adalah panggilan yang mengacu ke nama penanya, yaitu Gelora Aksara Indah.
Suara riang Widi saat mengobrol itu seolah disulap ketika ia berada di atas panggung acara Open Show bertema Merdeka Berkarya yang digelar oleh Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PW IPM DIY) pada Ahad (13/8/2023). Pasalnya, suara itu seketika menjelma lantang ketika ia membacakan bait-bait puisi berjudul ‘Elegi Daksa Berbisik’ yang ditulisnya pada tahun 2019. Pada tahun itu pula, puisi tersebut membawanya sebagai pemenang juara 1 lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Sidimpuan.
Menulis adalah Aku
Widi mengaku merantau ke Yogyakarta kira-kira sejak tahun 2014. Selain aktif di Bidang Seni dan Budaya Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (HIDIMU) DIY, ia juga tergabung di beberapa komunitas seni dan sastra, salah satunya Majelis Puisi Perempuan yang aktif berbagi informasi dan kegiatan melalui grup WhatsApp. Jika memungkinkan, selain berkegiatan, ia sering ikut membuka stand jualan di acara-acara tersebut. Suaminya pun mendukung aktivitas istrinya itu. Bila di luar jam kerja, sang suami biasanya akan mengantarkan Widi berkegiatan.
Lahir dari seorang bapak yang merupakan guru kesenian dan ibu yang punya kegemaran terhadap musik, Widi merasa mewarisi kesenangan terhadap dunia kesenian. Namun, perjalanannya untuk menemukan kedekatan dengan seni sastra rupanya tidaklah singkat. Jauh sebelum mengenal puisi, saat belum bersekolah, ia diberi tahu oleh orang tuanya bahwa seseorang harus bisa menulis jika ingin masuk ke sekolah umum.
Sebab saat itu tidak ingin masuk ke Sekolah Luar Biasa (SLB), Widi kecil yang masih kesulitan menggunakan tangannya berusaha keras untuk belajar menulis. “Aku belajar menulis pakai kaki, semua dulu pakai kaki,” ungkapnya. Awalnya hanya bisa coret-coret, namun perlahan-lahan ia bisa menulis dengan rapi, bahkan semakin tangkas menggunakan tangannya. Akhirnya, ia bisa menemukan kenyamanan menulis menggunakan tangan kiri hingga saat ini.
Memasuki usia SMP, perempuan bertubuh mungil itu memasuki babak baru dalam hidupnya. “Aku mulai merasa minder, karena itu masa pubertas,” ujarnya. Sebagaimana yang lain, ia mengalami pengalaman-pengalaman pertemanan khas anak-anak remaja. Di masa itu, ia kerap mengasingkan diri.
“Aku suka nulis di buku harian. Awalnya itu, aku suka nulis. Apa saja kejadiannya ya aku tulis, entah kisahku sendiri, entah teman-teman yang konyol, yang kocak. Entah guru-guru yang aku nggak sukain, aku suka mbolos ya aku catat,” ungkap Widi sambil terkekeh mengingat masa lalunya.
Baca Juga: Sukainah binti Husain, Membela Kehormatan Perempuan dengan Sastra
Ia benar-benar menikmati aktivitas menulis sepanjang masa sekolahnya. Hal ini rupanya tidak hanya membahagiakan dirinya sendiri, teman-temannya juga jadi sering meminjam buku tulis yang menjadi lahan berkaryanya. Tidak jarang mereka ikut pesan minta dibuatkan puisi. Widi ringan tangan saja membuatkannya secara cuma-cuma. “Otakku setiap kali berpikir pelajaran pusing, tapi ketika aku menulis, kok enjoy, ndak pusing,” serunya.
Semakin serius untuk mengembangkan minatnya di dunia kepenulisan, Widi mulai terlibat di kegiatan-kegiatan majalah dinding ketika duduk di bangku SMA. Tidak jarang ia mengirim puisi di majalah-majalah, seperti Anita, Gadis, dan lain-lain lalu diterbitkan. “Dulu wira-wiri Kantor Pos, sampai aku ngoleksi perangko-perangkonya,” ujarnya.
Kartini yang Tidak Pernah Menyerah
Saat diwawancara oleh wartawan Suara ‘Aisyiyah, perempuan yang kini tinggal di dekat Terminal Giwangan, Yogyakarta, itu sedang sibuk dengan kompor di dapur kosnya. “Mau goreng kacang bawang buat besok jualan,” ujar Widi. Awalnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, ia hanya menjual kacang kulit. Namun kini, modalnya mulai bisa diputar sehingga ia lebih rutin membuat kacang bawang, kadang juga ada kacang telur dan kue kacang.
Meski sangat aktif menulis dan berkomunitas, ia sebenarnya sehari-hari lebih banyak menjalankan aktivitas berdagang kacang. “Kalau waktunya mepet untuk kegiatan seni, ya nggak ikut dulu. Fokusnya jualan dulu,” ujarnya. Sebab baginya, itu yang utama sebelum dirinya bisa bebas berkegiatan seni. Meski begitu, Widi tetap mempertahankan hobi menulis karena percaya itu akan membuat keseimbangan di dalam hidupnya.
Sebelum melawat ke Yogyakarta, ia sudah memiliki banyak pengalaman bekerja. Dirinya pernah masuk ke sebuah panti rehabilitasi sosial disabilitas di Sidoarjo yang memberinya banyak pengalaman keterampilan. “Dari situ, pengalamanku bertambah untuk mendesain, untuk menyulam,” katanya. Dari situ pula, ia kemudian sempat mendirikan usaha konveksi. Meskipun terdapat beberapa kendala di antaranya bencana lumpur lapindo tahun 2006, Widi tetap tidak patah arang.
Perempuan berkulit sawo matang itu memang punya semangat yang kuat. Ini juga ditunjukkan dari pengalamannya ketika lulus SMA, dirinya punya keinginan besar untuk bisa melanjutkan kuliah. Anak pertama dari tiga bersaudara itu tidak mendapatkan izin dari orang tuanya dan diminta untuk menunggu adiknya terlebih dahulu. Hanya saja, ternyata ia tidak kunjung dikuliahkan. Ia menceritakan bagaimana perasaannya yang berkecamuk saat itu, “Patah hati, nangis ndak karu-karuan, kelayapan waktu itu, suka pergi.” Sudah pasti, ia mengungkapkan suasana hatinya itu lewat menulis.
Mimpinya rupanya tidak mengempis. Meski harus menunda sampai sekitar empat atau lima tahun, Widi mengupayakan untuk bisa lanjut kuliah. “Aku bisa, gimana caranya aku bisa kuliah membiayai kuliahku sendiri,” serunya. Ia sempat bekerja sebagai penjaga toko maupun sales yang menawarkan katalog makeup. Akhirnya, ia berhasil menjadi mahasiswa S1 jurusan Sastra Indonesia di STKIP – STIT PGRI Kota Pasuruan dan bahkan mendapatkan beasiswa pada semester kedua.
Kini, perempuan yang mengaku mengidolakan sosok pahlawan Kartini itu menikmati setiap proses dan pengalamannya sepanjang waktu baik ketika membungkusi kacang-kacang dagangannya maupun menulis puisi-puisi. “Kita juga harus tunjukkan kemampuan kita, ini lho perempuan. Kita bisa lho menyeimbangkan peran kita mulai dari ibu, dari wanita karir, dari guru pengajar, untuk murid-muridnya, untuk diri kita sendiri,” seru Widi dengan suara cerianya.