Berita

Hidup Berdampingan dengan Ancama Bencana, Masyarakat Harus Siap Risiko

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah Dalam rangka menuju Global Platform Disaster Risk Reduction (GPDRR) tahun 2022, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah menyelenggarakan webinar bertajuk “Masyarakat Tangguh Bencana”. Acara ini berlangsung Jumat (4/2).

Dalam kesempatan tersebut, Lilik Kurniawan selaku Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan bahwa ketidakpastian (uncertanty) peristiwa alam merupakan hal yang harus dipikirkan bersama. Oleh karena tidak pasti, maka peristiwa itu banyak membuat masyarakat panik.

Lilik menerangkan ada dua bentuk ketidakpastian, yakni diketahui dan tidak diketahui. “Akan sangat berbahaya sekali apabila suatu bencana itu adalah suatu ketidakpastian yang kita tidak tahu,” terangnya.

Dengan kondisi alam di Indonesia, Lilik menyebut tiga pilihan yang dapat dilakukan: (a) menjauhkan bencana dari masyarakat, menjauhkan masyarakat dari bencana, dan hidup berdampingan dengan ancaman bencana.

Dua pilihan pertama, kata dia, tidak mudah untuk dilakukan, sebab ternyata banyak masyarakat yang memang tidak bisa dijauhkan dari bencana. “Pilihan ketiga adalah hidup berdampingan dengan ancaman bencana. Ini yang banyak kita lihat. Sebab belum tentu mereka mau pindah dari tempat bersangkutan,” ujarnya.

Baca Juga: Peran Ibu dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan dan Menghadapi Bencana

Dari situasi tersebut, Lilik berusaha mendefinisikan ulang kata “bencana”. Ia membedakan antara peristiwa alam dan bencana. Jika masyarakat memutuskan untuk tinggal di tempat rawan, seperti dekat dengan gunung berapi, pinggir sungai, dan lain-lain, maka di saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat bersangkutan tidak dapat dikatakan mengalami bencana.

Dengan pilihan sosial-geografis demikian, mau tidak mau, harus ada beberapa hal yang mesti disiapkan untuk mengurangi potensi risiko, yakni: pertama, menyiapkan akses informasi; kedua,  mengantisipasi setiap ancaman atau bencana yang akan terjadi; ketiga, punya daya proteksi untuk melawan atau menghindari ancaman bencana; keempat, punya daya adaptasi terhadap bencana dan dampak yang ditimbulkan, dan; kelima, punya daya lenting atau kemampuan untuk pulih kembali setelah ditimpa bencana dan bersiap menghadapi ancaman baru yang akan datang.

Menutup paparan materi, Lilik menyampaikan poin penting bahwa kolaborasi antara masyarakat dengan pemerintah menjadi kunci utama dalam membangun komunitas yang tahan bencana. Ia juga mengingatkan bahwa “tidak seharusnya masyarakat menjadi tergantung pada bantuan pemerintah. Gunakan pengetahuan lokal untuk meningkatkan ketangguhan bencana”. (sb)

Related posts
Berita

MDMC dan Prodi Keperawatan Anestesi Unisa Yogyakarta Bentuk Relawan Cilik Menuju Sekolah Tanggap Bencana

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Rabu (24/5), MDMC terlibat dalam pelaksanaan program pengabdian masyarakat Keperawatan Anestesi Unisa Yogyakarta membentuk Relawan Cilik Muhammadiyah di…
Berita

MDMC, PATH, dan Kemenkes RI Gelar Pelatihan Manajemen Krisis & Klinis Oksigen Medis

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Senin (22/5), MDMC didukung oleh Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menginisiasi Pelatihan Manajemen Krisis &…
Berita

Peringati HKB 2023, MDMC Dorong Peningkatan Kesadaran Risiko Bencana di Sekolah

Lamongan, Suara ‘Aisyiyah – MDMC memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2023 dengan meningkatkan kesadaran risiko bencana di sekolah melalui kegiatan Sarasehan Satuan…

10 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *