Hikmah

Hijrah dan Visi Masyarakat yang Berkeadaban

Oleh: Mokhlasin Sofyan

Peristiwa hijrah (migrasi) Nabi Muhammad saw. beserta umatnya dari Makkah ke Madinah tidak semata-mata peristiwa sejarah biasa atau peristiwa kebetulan (accidental). Hijrah adalah sebuah peristiwa sosial-transendental yang melibatkan intervensi Tuhan karena kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai utusan-Nya.

Allah swt. hendak mengajarkan kearifan dan etika sosial yang sangat penting di tengah kehidupan primitif secara moral dan budaya untuk eksistensi kemanusiaan di masa-masa mendatang. Setiap langkah dalam peristiwa itu (hijrah) mengandung pelajaran dan hikmah yang tinggi bagi umat Islam. Kandungan pelajaran dan hikmah itulah yang membuat Khalifah Umar bin Khattab berijtihad untuk menjadikan momentum hijrah sebagai permulaan tahun dalam kalender Islam.

Memaknai Hijrah

Secara etimologi, kata hijrah berasal dari kata kerja lampau ‘hajara’ yang berarti (a) pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, atau (b) dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik. Definisi kedua itu nampaknya yang paling relevan untuk memahami migrasi Nabi Muhammad saw. beserta umatnya yang telah memeluk Islam di kota Makkah. Migrasi itu dilakukan untuk mendapatkan suatu ruang yang memungkinkan untuk membangun gagasan kehidupan sosial berdasarkan risalah Tuhan.

Hijrah bukanlah wujud puncak kegagalan dakwah Nabi Muhammad saw. di Makkah, tetapi merupakan strategi perjuangan dan sarana menguji keimanan umat Islam. Intervensi Tuhan dalam peristiwa ini dapat dilihat dari penjelasan dalam beberapa ayat al-Quran. Banyak ayat yang memerintahkan hijrah ke Madinah dengan seperangkat penjelasan tentang keutamaan dan pahala hijrah. Allah swt. juga berjanji untuk melindungi kaum Muhajirin (orang yang pindah bersama Nabi) sehingga dapat melawan orang-orang Quraisy yang represif. Hal itu dapat dilihat dalam QS. an-Nisa’ [4]: 100 dan QS. al-Hajj [22]: 58.

Peristiwa hijrah memang telah berabad-abad berlalu. Kini, umat Islam tinggal memetik elan vitalnya sebagai energi untuk menghadapi masa kini dan menyongsong masa depan.

Visi Masyarakat yang Berkeadaban

Visi yang dikembangkan Nabi Muhammad saw. sebagaimana para utusan terdahulu adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang beradab (civilized society). Menurut ibn Khaldun, pengertian masyarakat beradab yang paling mendasar adalah adanya pengakuan terhadap suatu otoritas atau pemimpin, menempati wilayah tertentu dan menghormari hak-hak orang lain.

Kehidupan di Madinah menjadi titik tolak bagi Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya untuk membangun masyarakat baru yang otonom dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang pluralistik, baik dari segi etnis maupun agama. Model demikian adalah potret gagasan masyarakat yang beradab yang akan dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw.

Pluralitas itu barangkali seperti apa yang terjadi dalam negara kita Indonesia; sebuah negara dengan ragam etnis, bahasa, dan agama. Terobosan spektakuler dan genuine dilakukan Nabi Muhammad dengan merusmuskan semacam konstitusi yang terkenal dengan Piagam Madinah. Menurut Dawam Rahardjo, piagam itu adalah undang-undang pertama di dunia yang sifatnya modern, tetapi lahir pada zaman pra-modern.

Menurut A.J. Wensink, sebagaimana dikutip Dawam, Piagam Madinah yang berisi 47 klausul itu dapat disarikan menjadi sembilan statemen penting. Pertama, pernyataan pembentukan suatu umat atau masyarakat. Kedua, hak-hak asasi manusia. Ketiga, kemerdekaan beragama. Keempat, persatuan segenap masyarakat. Kelima, perlindungan hak minoritas. Keenam, adanya hak dan kewajiban warga masyarakat. Ketujuh, pertahanan dan keamanan. Kedelapan, kepemimpinan masyarakat. Kesembilan, politik perdamaian.

Sembilan unsur tersebut menjadi pilar penting bagi negara yang modern, maju, dan demokratis yang ditandai dengan tegaknya civil society. Oleh karena itu, para pemikir Muslim merekonstruksi kondisi ideal itu dengan sebutan masyarakat madani. Di Indonesia, cendekiawan Muslim yang gigih mengkampanyekan istilah masyarakat madani sebagai sebuah cita-cita masa depan bangsa adalah Nurcholish Madjid.

Menjadi Umat Terbaik

Prestasi sangat luar biasa yang telah dicapai Nabi Muhammad dan umatnya saat itu disebut dalam QS. ali-Imran [3]: 110 dengan khaira ummah (umat terbaik). Berdasarkan ayat tersebut, ada empat syarat untuk menjadi umat terbaik dalam rangka membangun masyarakat madani, yaitu adanya keimanan (spiritualitas), ukhrijat linnas (berorientasi sosial), amar ma’ruf (dinamika berkarya dan berkreatifitas), dan nahi munkar (meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, tidak produktif).

Empat syarat tersebut telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan umat Islam dengan seperangkat ide yang tergambar dalam Piagam Madinah. Nilai-nilai dalam piagam itu ternyata menjadi dream (impian) setiap bangsa saat ini untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadaban. Kenyataan itu juga diakui oleh salah seorang sosiolog Barat Robert N. Bellah dalam buku Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Tradisionalist World (1991).

Dalam QS. al-Baqarah [2]: 243, Allah swt. juga menobatkan Nabi saw. dan umatnya dengan sebutan ummatan wasathan. Umat Islam mampu menegakkan keadilan dan menjadi penengah di tengah masyarakat Madinah yang pluralistik.

Adanya keragaman etnis, suku, dan agama merupakan suatu kenyataan yang diakui oleh al-Quran sebagai suatu keunikan yang sah adanya. Dalam QS. al-Hujurat [49]: 13, Allah swt. memberikan solusi agar perbedaan itu dijembatani dengan ta’aruf, yakni sebuah proses pengenalan diri dan unjuk argumentasi yang beradab.

Predikat sebaik-baik umat yang diberikan Allah dalam surat ali-Imran harus ditafsirkan secara aktif. Maksudnya, predikat itu akan terwujud ketika kita mampu menjalankan semua ajaran-ajaran Tuhan. Untuk itu, kita diingatkan oleh pernyataan salah seorang tokoh pembaharu Muslim Syaikh Syakib Arslan, al-Islam mahjūbun bil muslimin (kebenaran Islam tertutup oleh kaum muslimin). Bagaimana kita semestinya bersikap?

Kontekstualisasi Makna

Sudah saatnya umat Islam hijrah dari penghayatan yang salah menuju penghayatan Islam yang benar. Hijrah dari bermalas-malasan menuju kerja keras dan kreatif; hijrah dari sikap korup menuju sikap bersih dan jujur; hijrah dari sikap inkonsisten menuju sikap konsisten dan kaffah dalam menjalankan nilai-nilai al-Quran dan sunnah; dan yang paling penting lagi, hijrah dari perpecahan menuju ukhuwah sebagaimana ditanamkan oleh Nabi saw. pada kaum Anshar dan Muhajirin.

Menjadi umat terbaik, sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi saw., harus menjadi inspirasi umat Islam saat ini. Umat harus merasa terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat yang berkeadaban. Kontekstualisasi visi Nabi Muhammad saw. dalam membangun masyarakat utama harus diwujudkan dengan meraih keunggulan, tidak semata-mata dalam ranah kekuasaan (politik), tetapi juga dalam ranah ilmu pengetahuan, ekonomi, dan sosial. Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 02 Tahun 2005

Related posts
Wawasan

Berhijrah yang Wasathiyyah

Seorang teman mengatakan bahwa dirinya telah berhijrah. Ia pun terlihat meningkatkan amalan ibadahnya. Hati saya bersorak bahagia melihat semua itu. Hari demi…
Sejarah

Kedatangan Rasulullah ke Kota Yatsrib

Oleh: Aninda Khairunnisa Sudiaji* Peristiwa Hijrah yang dilakukan oleh Rasulllah saw. dan para sahabatnya ke Madinah (kota Yatsrib) merupakan pengalaman dari perintah…
Berita

Tahun Baru 1445 Hijriah, Ikhwan Ahada Sampaikan Tiga Dimensi Hijrah

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ikhwan Ahada mengatakan bahwa tahun baru 1445 hijriah merupakan momentum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *