Hikmah

Hijrah: Di Antara Waktu yang Terlewat dan Diri yang Ingin Diperbaiki

Oleh: Aris Rakhmadi

Ada waktu yang kita jalani, tapi tak sempat kita maknai. Hari-hari berlalu dengan langkah-langkah yang sibuk, namun jiwa kita kadang tertinggal jauh di belakang. Allah terus menggilir pagi dan malam, memberi ruang bagi hati yang ingin pulang—tapi sering kali kita lupa, bahwa waktu adalah amanah yang hanya bisa ditebus dengan taubat dan kesadaran. Di antara detik-detik yang terlewat, mungkin ada doa yang belum sempat kita lafalkan, ada dosa yang belum sempat kita sesali, dan ada hati yang diam-diam rindu untuk diperbaiki.

Kini, Muharram datang mengetuk dengan sunyi. Ia bukan sekadar awal kalender baru, tapi pertanda bahwa ada kesempatan lagi—meski kecil, meski tipis—untuk menata ulang diri yang mulai kusut. Muharram membawa ruh hijrah, dan hijrah tak selalu harus heroik. Ia bisa sesunyi air mata dalam doa yang belum selesai. Ia bisa setenang istighfar yang tak terdengar oleh siapa pun, selain oleh Allah.

Hijrah bukan hanya sejarah, tapi juga panggilan batin. Saat Rasulullah ﷺ meninggalkan Makkah menuju Madinah, beliau tidak sekadar berpindah tempat. Beliau memindahkan nilai, membawa cahaya, dan menandai perubahan besar dalam kehidupan umat. Tapi hari ini, kita tak perlu melintasi padang pasir. Kita hanya perlu melintasi hati sendiri—dari gelap menuju terang, dari lalai menuju sadar.

Hijrah adalah keberanian untuk tidak menjadi seperti kemarin. Ia menuntut kita menatap diri, bukan orang lain. Menyelami kekurangan, bukan membandingkan kelebihan. Sebab yang kita kejar dalam hijrah ini bukan pengakuan manusia, tapi pandangan Allah yang lembut kepada hati yang ingin kembali.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۖ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr: 18). Ayat ini bukan hanya seruan untuk bermuhasabah, tapi juga isyarat bahwa setiap kita sedang dalam perjalanan menuju “hari esok”—yakni akhirat. Dan tak ada bekal terbaik kecuali perubahan menuju takwa.

Baca Juga: Jadi Peserta FY 2025 ASEAN, MBS Zam-Zam Siap Mendunia

Hijrah yang sejati selalu dimulai dari niat yang jujur. Niat yang muncul dari kesadaran, bukan karena paksaan; dari kerinduan, bukan karena tekanan. Itulah mengapa Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat.” Sebab niat adalah muara dari seluruh langkah. Jika niatnya adalah untuk memperbaiki diri karena Allah, maka setiap langkah pun bernilai ibadah, meski perlahan dan tertatih.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يَجِدْ فِي ٱلْأَرْضِ مُرَٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةًۚ وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan jaminan agung bagi siapa pun yang berhijrah di jalan-Nya: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. An-Nisa: 100). Ini bukan hanya janji untuk mereka yang berpindah tempat karena iman, tetapi juga bagi siapa pun yang berpindah hati dari maksiat menuju taat. Sebab bumi Allah luas, dan rahmat-Nya lebih luas dari apa pun yang pernah kita bayangkan.

Namun hijrah tidak selalu mudah. Ada kenyamanan yang harus ditinggalkan, ada kebiasaan yang harus dilawan, dan ada ego yang harus dikalahkan. Tapi justru di situlah nilai hijrah: pada keberanian untuk memilih jalan sulit demi kehidupan yang lebih bermakna. Kita mungkin pernah gagal, pernah tergelincir, atau bahkan pernah menyerah. Tapi hijrah selalu membuka pintu: tidak peduli berapa kali jatuh, yang terpenting adalah kita bangkit dan kembali melangkah.

Tahun baru Hijriyah bukan sekadar pergantian angka, melainkan peringatan bahwa umur bertambah, sementara kesempatan makin menyempit. Ia datang seperti tamu yang membawa cermin besar, agar kita melihat siapa diri kita sebenarnya. Apakah kita masih terjebak dalam dosa yang sama, atau mulai berani melepasnya? Apakah kita telah memperbaiki salat kita, akhlak kita, hubungan kita dengan sesama dan dengan Tuhan? Inilah waktunya untuk jujur kepada diri sendiri, bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengajak diri kembali pulang.

Dalam sunyi Muharram, ada ajakan lembut untuk menata ulang langkah. Kita tak sedang diminta berubah besar dalam sehari, tapi diajak untuk mulai menata ulang satu persatu: niat, amal, lisan, bahkan pikiran. Sebab hijrah bisa dimulai dari hal yang tampak sepele—mengurangi ghibah, menahan emosi, memperbanyak istighfar. Setiap langkah kecil ke arah yang baik, jika diniatkan karena Allah, akan diangkat menjadi pahala besar. Di situlah indahnya Islam: tidak menuntut kesempurnaan, tapi mengapresiasi usaha.

Hijrah sejati sering kali tidak tampak di mata manusia. Ia tersembunyi dalam kesunyian, dalam tekad yang tak terucap, dalam tangis saat sujud yang hanya Allah yang tahu. Banyak orang berpikir hijrah itu soal penampilan, tempat tinggal, atau status sosial. Padahal hijrah yang paling berat justru terjadi dalam ruang hati: ketika seseorang berjuang meninggalkan dosa yang ia cintai, atau ketika ia memilih taat meski berat dan sunyi. Di situlah Allah menilai—bukan pada hasil yang tampak, tapi pada keikhlasan perjuangan.

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari-Muslim). Hadis ini begitu singkat namun dalam makna. Ia menegaskan bahwa hijrah bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan keputusan spiritual untuk menanggalkan segala bentuk kedurhakaan. Bahkan, saat seseorang mampu meninggalkan satu keburukan kecil—dengan susah payah—maka itu pun telah termasuk hijrah yang besar di sisi Allah. Karena perubahan bukan soal besar-kecilnya dosa, tapi keberanian meninggalkannya.

Tahun baru Hijriyah mengajarkan bahwa waktu bukan sekadar angka, melainkan ladang. Dan ladang ini hanya berbuah jika kita menanaminya dengan amal. Jika setahun lalu banyak hal yang luput, maka ini saatnya mengganti. Jika sempat terjatuh, kini saatnya bangkit. Kita tidak tahu berapa banyak waktu tersisa, tapi selama napas masih ada, pintu hijrah belum tertutup. Karena Allah tidak melihat seberapa banyak masa lalu kita, tapi seberapa besar kesungguhan kita untuk berubah hari ini.

Baca Juga: Memaknai Ulang Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Ketika Allah memberi kita waktu baru, itu bukan tanpa alasan. Bisa jadi karena ada satu amal baik yang belum sempat kita lakukan. Atau ada satu dosa yang harus segera kita tinggalkan. Atau bisa jadi, karena ada satu orang yang masih menunggu kita minta maaf. Waktu yang tersisa adalah ruang rahmat. Maka jangan biarkan ia terbuang sia-sia. Gunakan ia untuk kembali. Kembali kepada kebaikan, kepada ketulusan, dan kepada Allah.

Setiap tahun kita membaca atau mendengar tentang hijrah Nabi ﷺ, namun barangkali lupa bahwa kita pun punya versi hijrah masing-masing. Bagi sebagian orang, hijrah berarti berani salat di awal waktu. Bagi yang lain, hijrah berarti menutup aurat dengan benar, berhenti menyakiti, atau mulai memaafkan. Sekecil apa pun hijrah itu, jika disertai niat yang benar dan usaha yang terus dijaga, ia bisa menjadi titik balik hidup yang penuh berkah.

Hijrah juga mengajarkan bahwa setiap perjalanan butuh bekal. Bekal terbaik yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah takwa. Takwa bukan hanya rasa takut kepada Allah, tapi kesadaran penuh bahwa hidup ini ujian, dan semua yang kita lakukan akan diperhitungkan. Takwa menjadikan kita waspada dalam setiap langkah. Takwa pula yang membimbing kita untuk terus istiqamah, meski hati goyah dan dunia menggoda.

Takwa dan muhasabah adalah dua sisi dari perjalanan hijrah. Kita tak bisa menuju perbaikan tanpa melihat ke belakang. Bukan untuk terjebak dalam penyesalan, tapi untuk memahami bahwa kita tak bisa terus mengulang kesalahan yang sama. Muhasabah adalah cermin, dan cermin yang paling jujur adalah hati yang tenang. Dalam keheningan itulah kita akan sadar bahwa barangkali yang perlu diubah bukan dunia di luar, tapi dunia di dalam diri.

Hijrah juga menuntut kesabaran. Tidak semua perubahan berlangsung instan. Ada kalanya kita sudah melangkah, tapi tergelincir. Sudah bertekad, tapi kemudian lelah. Namun Allah tidak menilai jatuhnya kita, tapi bagaimana kita bangkit. Maka jangan putus asa jika hijrah kita belum seindah harapan. Teruskan saja, meski pelan. Sebab setiap langkah kecil ke arah Allah tidak akan sia-sia.

Tahun baru Hijriyah bukan hanya momentum, tetapi juga simbol harapan. Bahwa perubahan selalu mungkin, bahwa hidayah bisa datang kapan saja, dan bahwa Allah selalu memberi peluang untuk kembali. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian memulai. Tak perlu menunggu sempurna untuk mulai berubah. Justru dengan berubah perlahan itulah, Allah akan menyempurnakan hati kita di jalan-Nya.

Mari jadikan tahun ini sebagai titik balik. Bukan hanya di catatan kalender, tapi juga dalam catatan amal. Mari beranikan diri berhijrah dari kemalasan menuju semangat, dari kebiasaan buruk menuju kebaikan yang berkelanjutan. Mari hijrah dari ego menuju ketulusan, dari amarah menuju sabar, dari kelalaian menuju cinta kepada Allah. Sebab pada akhirnya, hijrah sejati adalah ketika kita mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari kemarin.

Dalam perjalanan hijrah ini, kita bukan hanya berhadapan dengan dosa dan kebiasaan buruk, tetapi juga dengan rasa putus asa. Sering kali kita merasa tidak layak untuk kembali, karena terlalu banyak kesalahan yang telah diperbuat. Tapi ketahuilah, Allah tidak melihat masa lalu kita untuk menghukum, melainkan memberi ruang agar kita bisa memperbaikinya. Allah Maha Menerima tobat, dan setiap langkah yang jujur menuju-Nya akan disambut dengan kasih sayang yang tak terhingga.

Terkadang, hijrah juga berarti berani meninggalkan keramaian, untuk sejenak menyendiri bersama Allah. Berani menolak tepuk tangan manusia demi mendapatkan ridha-Nya. Dalam kesendirian itulah, kita merenung, menangis, dan memohon kekuatan agar tetap teguh di jalan perubahan. Sebab hijrah bukan sekadar transformasi luar, tapi penyucian batin yang pelan-pelan menumbuhkan cahaya dalam jiwa.

Maka jangan malu untuk memulai dari awal, meski pernah jatuh berkali-kali. Jangan ragu untuk memperbaiki diri, meski sering gagal sebelumnya. Setiap orang punya musimnya, dan bisa jadi, Muharram ini adalah musim terbaik kita untuk kembali. Kembali kepada Al-Qur’an. Kembali kepada salat yang khusyuk. Kembali kepada akhlak yang lembut. Kembali kepada Tuhan yang selalu membuka pelukan-Nya, bahkan saat kita tak sempat mengetuk.

Baca Juga: Menghindari Trauma Beragama Pada Remaja

Jika tahun lalu kita terlalu sibuk untuk memikirkan dunia, semoga tahun ini kita diberi waktu untuk memperhatikan akhirat. Jika kemarin kita mengukur hidup dengan pencapaian duniawi, semoga hari ini kita mulai mengukurnya dengan kedekatan kepada Ilahi. Sebab sukses sejati bukan ketika nama kita terkenal di bumi, tapi ketika nama kita dicintai di langit. Itulah hijrah yang sejati: berpindah dari kesenangan fana menuju kebahagiaan abadi.

Marilah kita jadikan Muharram ini bukan sekadar awal kalender, tetapi juga awal perubahan. Awal untuk lebih mendengar hati, lebih mencintai Allah, dan lebih serius memperbaiki diri. Mungkin kita belum sepenuhnya baik, tapi semoga kita sudah tidak lagi sama seperti dulu. Sebab yang Allah lihat bukan seberapa jauh kita telah sampai, tapi seberapa sungguh kita melangkah. Semoga hijrah ini menjadi jalan pulang yang paling indah—menuju Dia yang selalu menunggu.

Related posts
Hikmah

Muharam, Revolusi Diri dan Semangat Hijrah

Oleh: Ika Sofia Rizqiani Bulan telah berganti, kisah lama dapat dibuka kembali. Bulan Muharam seharusnya bisa mengingatkan kita tentang persiapan perjalanan panjang…
Berita

Peringati Tahun Baru Hijriyah, PCA Tanggul Jember Bagikan Paket Sembako

Jember, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA) Tanggul, Jember mengadakan peringatan tahun baru 1444 H di Rumah…
Berita

Santri MBS Bireuen Buka Puasa Bersama di Ruangan Terbuka

Bireuen, Suara ‘Aisyiyah – Sebanyak 360 santri Muhammadiyah Boarding School (MBS) Kabupaten Bireuen melaksanakan kegiatan buka puasa bersama, Senin (08/08/2022),  di halaman…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *