Muda

Hindari Berkata Kasar

berkata kasar
berkata kasar

berkata kasar (foto: istockphoto)

Oleh: Fathul Laili Khoirun Nisa*

Tidak bisa kita mungkiri, ada perubahan pola komunikasi akibat perkembangan teknologi. Hal yang kemudian menjadi masalah adalah perbedaan persepsi tentang hak, kewajiban, serta norma dalam menyampaikan pendapat, khususnya melalui media sosial yang tidak jarang menjadi pemicu lahirnya konflik. Jika dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan agar berkata baik atau diam, maka yang terjadi saat ini adalah banyak berkata kasar atau di-bully.

Bagaimana tidak? Pola komunikasi dari anak-anak hingga orang dewasa, tidak jauh dari kalimat yang kurang baik. Kalimat-kalimat kasar, kotor, jorok, mengandung unsur SARA, bahkan hate speech atau ujaran kebencian. Rasa-rasanya, jika ada seseorang yang tidak memiliki kosakata seperti teman atau orang di sekitarnya yang kurang baik, maka dia akan sangat mudah menjadi bahan bullying. Dianggap tidak gaul, tidak asik, kaku, dan berbagai sebutan merendahkan lainnya, serta dikucilkan dari lingkaran pertemanan. Tidak peduli ucapannya benar atau tidak, yang paling penting ikut obrolan, ikut komentar.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi dipengaruhi oleh kematangan emosional seseorang. Perasaan atau emosi seseorang merupakan komponen afektif yang dapat memengaruhi objektivitas seseorang dalam menilai sesuatu. Setiap dari kita harus memiliki landasan keyakinan dan etika yang kuat untuk menilai kebenaran. Kemampuan untuk memahami hal yang benar dan salah berdasarkan etika yang kuat disebut juga sebagai kecerdasan moral.

Kecerdasan Moral

Terdapat tujuh aspek utama dalam membangun kecerdasan moral, yakni empati, nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Prinsip-prinsip inilah yang akan menjadi dasar karakter dari seseorang untuk memiliki keyakinan etika yang kuat dan berperilaku secara moral.

Seseorang dengan kecerdasan moral terbukti tidak melakukan kekerasan, memiliki kemampuan memahami perasaan orang lain, menerima dan menghargai perbedaan, open minded, dan menghormati orang lain. Oleh karena itu, peran orang tua untuk mengajarkan unggah-ungguh atau tata krama dan menumbuhkan kecerdasan moral anak dalam berkomunikasi sangatlah penting.

Saat terjun langsung bersosialisasi dan bertemu dengan teman sebaya, anak atau remaja yang memiliki kecerdasan moral tinggi akan mengambil sikap sesuai prinsip hidup dan keyakinan etika yang kuat, serta mencari tahu terlebih dahulu mana hal yang benar dan salah. Ia akan mampu berkomunikasi secara asertif disertai dengan pengendalian emosi untuk tidak merespons secara impulsif, berusaha untuk tetap sopan, dan bersikap sesuai moral.

Sebaliknya, anak atau remaja dengan kecerdasan moral rendah akan lebih reaktif dalam menyikapi berbagai hal dan cenderung berkata dan berperilaku kurang baik. Ia tidak bisa menerima pandangan orang lain dan cenderung tidak peduli dengan nasihat orang lain. Mereka ingin bisa bebas berbicara (free speech) yang tidak jarang sudah kelewat batas. Sudah barang tentu kebebasan berbicara menjadi hak bagi setiap orang. Akan tetapi, kebebasan berbicara harus tetap mendasarkan pada etika dan norma yang belaku.

Etika Komunikasi

Banyak masyarakat yang belum peduli terhadap maraknya fenomena komunikasi dengan kata-kata kasar. Hilangnya kontrol tersebut menjadikan kaburnya norma-norma sosial yang ada sehingga menimbulkan berbagai permasalahan.

Imam Al-Ghazali memiliki analogi nasihat yang luar biasa terkait dengan pola komunikasi, “Kata-kata lembut melunakkan hati yang lebih keras dari batu, kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra”. Analogi tersebut dibuat bukan tanpa alasan. Pada kenyataannya, semakin kita berkata kasar kepada orang lain, bukannya berubah menjadi baik, yang terjadi malah semakin buruk.

Oleh karena itu, mari kita tingkatkan kembali kepedulian kita terhadap permasalahan perkataan kasar, agar tidak semakin banyak orang, bahkan anak dan remaja yang terpapar. Berikan nasihat dengan cara-cara yang baik dan sesuai. Perkuat kembali pendiriannya untuk mampu teguh dan bertahan. Tak lupa pula iringi permohonan agar Allah swt. senantiasa menjaga dan melembutkan hatinya.

*Ketua PK IMM A.R. Sutan Mansur UNY

Related posts
Sosial Budaya

Memahami Etika Komunikasi dalam Islam

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa terlepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan proses di mana seorang komunikator menyampaikan stimulus berupa pesan kepada komunikan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *