Oleh: Muchammad Ichsan*
Meskipun hukum wakaf secara umum adalah sunat, namun wakaf adalah amalan yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam. Wakaf adalah amalan istimewa yang berbeda dengan amalan-amalan lainnya. Keistimewaan wakaf terletak pada pahalanya yang tidak terputus dengan kematian wakif (orang yang mewakafkan hartanya). Selagi harta yang diwakafkan itu masih diambil manfaatnya, maka pahalanya terus-menerus mengalir kapada wakif, sebagaimana dalam hadis Nabi saw.:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim).
Yang dimaksud dengan sedekah jariyah dalam hadis ini adalah wakaf, karena wakaf adalah sedekah yang jariyah. Artinya, sedekah yang terus menerus mengalir pahalanya karena manfaatnya terus-menerus dinikmati oleh banyak orang. Salah satu permasalahan dalam wakaf adalah perubahan peruntukan wakaf. Berikut ini dipaparkan hukum dan tata caranya agar perubahan peruntukan wakaf sesuai dengan syariat Islam dan peraturan perundangan di negara kita.
Apabila seseorang ingin mewakafkan sebagian hartanya, maka dia harus mengikrarkan atau menyatakan untuk apa hartanya akan dimanfaatkan; apakah untuk membangun masjid, atau panti asuhan, atau madrasah, atau kuburan, atau lainnya. Dengan demikian, ikrar wakaf ialah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
Ikrar atau pernyataan wakaf ini harus benar-benar diperhatikan secara serius oleh semua pihak. Hal ini karena menurut hukum asal, peruntukan wakaf itu tidak boleh diubah. Nazhir sebagai pengelola harta wakaf tersebut harus tunduk dan patuh terhadap peruntukan wakaf yang telah diikrarkan oleh wakif. Para ulama madzhab-madzhab fikih sepakat bahwa nazhir tidak boleh mengubah peruntukan wakaf secara sembarangan.
Kaedah yang wajib diikuti adalah: “Syarth al-waqif ka nassh as-syari’” (Syarat wakif itu seperti teks pembuat syariat). Artinya, syarat yang dikemukakan oleh wakif ketika mengikrarkan wakaf itu mengikat dan harus dilaksanakan oleh nazhir sebagaimana teks al-Quran dan hadis.
Oleh karena itu, sebelum mengucapkan ikrar wakaf, wakif dan nazhir perlu memperhatikan kesesuaian antara kehendak wakif dan kebutuhan maukuf ‘alaih (orang-orang yang akan memanfaatkan harta wakaf tersebut). Kesesuaian tersebut diperlukan supaya niat wakaf dapat dilaksanakan dan manfaat harta wakaf tersebut dapat diambil semaksimal mungkin.
Baca Juga: Pemanfaatan Tanah Wakaf
Umpamanya, wakif mengikrarkan tanah wakafnya untuk pembangunan masjid, maka seharusnya memang masjidlah yang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar tempat itu. Seandainya di sekitar tempat itu sudah ada masjid atau bahkan beberapa masjid, maka peruntukan wakaf di sini kurang sesuai, kurang dibutuhkan, pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Apabila langkah berhati-hati dan keseriusan dalam mengikrarkan wakaf itu telah dilakukan, lalu muncul keadaan yang memaksa peruntukan wakaf harus diubah, maka para ulama membenarkan perubahan peruntukan tersebut dengan syarat-syarat berikut.
Pertama, apabila pelaksanaan syarat wakif (sebagaimana dalam ikrar wakaf) membuat tidak ada maslahat wakaf. Kedua, apabila pelaksanaan syarat wakif menjadikan tidak ada maslahat bagi maukuf ‘alaih (orang yang memanfaatkan harta wakaf). Ketiga, apabila pelaksanaan syarat wakif menyebabkan terlepasnya maksud wakif. Keempat, apabila ada maslahat yang lebih utama menghendaki perubahan tersebut.
Di Indonesia, undang-undang No. 41 Tahun 2004 telah menetapkan peruntukan harta wakaf pada Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut.
“Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: (a) sarana dan kegiatan ibadah; (b) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; (c) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; (d) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau (e) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.”
Menurut pasal di atas, peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum, dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Dengan demikian, harta benda wakaf dapat dikelola di dalam wilayah kegiatan ekonomi dalam arti luas, dengan ketentuan pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syariah.
Sementara, perubahan ikrar wakaf ternyata juga sudah diatur oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03 Tahun 2012 Tentang Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf Bab III mengenai Alasan Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf Pasal 3 menyatakan sebagai berikut;
Pertama, dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari BWI.
Kedua, izin tertulis dari BWI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan alasan: (a) Harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam Akta Ikrar Wakaf. (b) Harta benda wakaf tersebut dipergunakan kepentingan keagamaan dan kemaslahatan umat yang lebih bermanfaat dan/atau produktif.
Oleh karena itu, jelas dari pasal 3 ini bahwa nazhir tidak boleh secara sepihak mengubah peruntukan wakaf. Nazhir harus mendapat izin tertulis dahulu dari BWI untuk mengubah peruntukan harta wakaf, dan BWI tidak akan memberikan izin melainkan dengan dua alasan yang logis seperti di atas. Dua alasan tersebut juga sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan ulama dalam masalah perubahan peruntukan wakaf.
Apabila ada alasan dan maslahat yang benar-benar menghendaki perubahan peruntukan harta benda wakaf, maka nazhir harus melengkapi persyaratan yang diperlukan yaitu sebagaimana dalam pasal 4: (1) fotokopi Akta Ikrar Wakaf (AIW)/Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW), (2) fotokopi sertifikat wakaf, (3) fotokopi surat pengesahan nazhir, (4) surat permohonan perubahan peruntukan ditandatangani oleh nazhir, (5) surat pengantar/permohonan dari Kepala KUA Kecamatan perihal permohonan perubahan peruntukan harta benda wakaf kepada Ketua BWI (dokumen asli), (6) rekomendasi BWI perwakilan kabupaten/kota setempat, dengan ketentuan: a. apabila perwakilan BWI kabupaten/kota belum terbentuk, rekomendasi dikeluarkan oleh perwakilan provinsi. b. apabila perwakilan BWI provinsi belum terbentuk, rekomendasi perwakilan tidak diperlukan, (7) rekomendasi Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota setempat.
Syarat-syarat di atas tampaknya panjang, berliku dan memberatkan, namun syarat-syarat tersebut diperlukan agar perubahan tersebut dilakukan secara transparan, diketahui, dan melibatkan banyak pihak sehingga tanggung jawab apabila terjadi sesuatu masalah kelak di kemudian hari dapat dipikul bersama. Hal yang paling penting, perubahan tersebut tidak ke arah yang lebih buruk, tetapi ke arah yang lebih baik, manfaat, dan maslahat bagi umat.
Apabila syarat-syarat perubahan peruntukan harta wakaf sudah disiapkan, maka nazhir dapat mengajukannya melalui prosedur berikut sesuai dan menurut Bab V Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 03 Tahun 2012:
Pertama, Nazhir mengajukan pemohonan perubahan, kepada Badan Wakaf Indonesia melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan peruntukan terhadap harta benda wakaf. Kedua, Kepala KUA Kecamatan mengajukan permohonan tersebut kepada Ketua Badan Wakaf Indonesia. Ketiga, Badan Wakaf Indonesia setelah menerima pemohonan tersebut mengkaji dan meminta rekomendasi dari Perwakilan BWI setempat, BWI dapat melaksanakan peninjauan lapangan langsung.
Apabila harta benda wakaf sudah ditukar atau diubah peruntukannya, maka nazhir melalui Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan BWI atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
Baca Juga: Tulisan Azhar Basyir: Macam-Macam Wakaf, Syarat, dan Kedudukannya
Menurut undang-undang No. 41 Tahun 2004 Pasal 67, apabila ditemukan nazhir yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa mengantongi izin dari BWI, maka ia dikenakan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000 (empat ratus juta rupiah).
Dengan demikian, diharapkan dengan perubahan peruntukan wakaf, harta wakaf dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat luas, karena perubahan tersebut memang dilakukan agar harta wakaf lebih produktif, lebih optimal, dan lebih maksimal. Jika hal itu terjadi, nazhir pasti juga akan mendapatkan banyak pahala dan manfaat dari wakaf yang dikekolanya.
Terlebih lagi, apabila harta wakaf lebih banyak manfaatnya, maka wakif tentu akan mendapatkan aliran pahala yang tidak terputus-putus walaupun ia sudah meninggal dunia, padahal dia hanya melakukan amalan wakaf itu sekali saja. Itulah rahasia keutamaan dan keistimewaan wakaf. Oleh karena itu, tunggu apa lagi? Mari kita mewakafkan sebagian harta kita.
*Anggota MTT PP Muhammadiyah dan dosen di Magister Hukum UMY