Hikmah

Hukum Seni dalam Islam

seni
seni

seni (foto: pixabay)

Oleh: Ahmad Muhsin Kamaludiningrat

Untuk memahami dan memahamkan hukum Islam tentang kesenian di kalangan Muhammadiyah bukan perkara mudah. Situasi dan kondisi saat ini, sulit memisahkan antara agama dan budaya. Bagi masyarakat awam, seni budaya dijadikan agama, dan agama “tenggelam” dalam seni budaya. Muhammadiyah sebagai institusi dakwah Islam tentu akan selalu berupaya memunculkan nilai-nilai Islam ke permukaan dan mengungkap kebenaran Islam.

Usaha tersebut akan berhadapan dengan kenyataan keberagaman budaya lokal dan seni tradisi di masyarakat, yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat tersebut. Sebagai institusi dakwah yang harus memunculkan nilai-nilai Islam dan mengungkap kebenaran Islam, sampai-sampai Muhammadiyah menyatakan perang terhadap TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Churofat) yang ketiga-tiganya telah menyatu dalam seni budaya masyarakat.

Oleh karena itu, untuk memahami dan memahamkan hukum Islam tentang kesenian, dipergunakan Manhaj Tarjih yang telah diputuskan dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-25 pada Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000. Pendekatan bayani, burhani, dan irfani merupakan elemen metode atau manhaj yang sangat penting untuk dapat melakukan pembacaan terhadap seni budaya secara menyeluruh.

Melalui pendekatan bayani, yaitu dengan menerapkan analisis tekstual, diharapkan dapat menggali landasan normatif dalam al-Quran dan as-Sunnah, yang berkaitan dengan wacana agama dan keberagaman seni budaya, baik seni tradisi maupun seni modern. Dengan pendekatan ini dapat diungkap kandungan makna teks normatif tersebut, sehingga memberi kerangka kepastian hukum tentang boleh-tidaknya mengembangkan seni budaya.

Hal ini karena pengesahan (legitimasi) normatif tekstual tersebut di atas, sangat dibutuhkan. Setidaknya untuk menenteramkan keyakinan keagamaan individu atau masyarakat dalam menerima dan mengembangkan seni budaya atau menolaknya. Namun demikian, menggunakan pendekatan bayani saja, tidaklah cukup, karena terkadang tidak didapat penjelasan teks (nas) al-Quran maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan seni budaya tersebut. Sebagaimana diakui oleh para ahli usul fikih, nas itu terbatas, sementara kasus dan permasalahannya terus berkembang secara tidak terbatas.

Terkadang sekalipun terdapat nas atau teks normatif al-Quran atau as-Sunnah yang berkaitan dengan seni budaya, seperti larangan menggambar (seni lukis) dalam sejumlah teks hadis al-Bukhari, Muslim dan Ahmad, tetapi penjelasan teks tersebut sangat terkait erat dengan konteks sejarah (historis) dan sosiologis (situasi sosial saat itu).

Dengan demikian, tidak cukup jika memahami sesuatu hanya menggunakan pendekatan bayani saja. Mencukupkan hanya kepada pendekatan bayani saja cenderung melahirkan pandangan keagamaan yang terbatas dan tidak berwawasan terbuka serta tidak bersifat tajdid. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan atau persepektif lain yang lebih bersifat terbuka, luwes, dan bersahabat, yaitu pendekatan burhani dan irfani.

Melalui pendekatan burhani (penerapan analisis rasional atau berdasarkan kaidah bidang ilmu terkait), diharapkan dapat mengungkapkan konteks dari suatu risalah keagamaan serta dapat mengungkap kenyataan sejarah dan sosio-antropologis dari suatu seni (tradisional dan modern). Hal yang diungkap meliputi pemikiran, nilai spiritual maupun keagamaannya, kandungan filosofi, kearifan lokal (local wisdom), visi pencerahan, dan kritik sosialnya.

Sementara melalui pendekatan irfani atau penerapan intuitif, diharapkan dapat menangkap makna hakikat atau makna terdalam di balik teks dan konteks. Jika prakiraan dasar bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara burhani lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka irfani lebih melihat teks sebagai suatu simbol dan isyarat.

Baca Juga: Kebudayaan Muhammadiyah di Tengah Arus Zaman

Dalam konteks dialektika agama dan keberagaman seni, pendekatan irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani memiliki dua tugas, yaitu (i) membaca makna terdalam dari hukum-simbol dan isyarat-isyarat teks keagamaan; dan (ii) membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam bentuk-bentuk seni budaya tersebut.

Ketiga pendekatan tersebut (bayani, burhani dan irfani), saling berkait erat antara satu dengan yang lainnya. Memahami teks keagamaan (bayani) tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhani). Pemahaman konteks (burhani) tidak dapat lepas dari pemahaman teks itu sendiri (bayani). Sementara pemahaman makna terdalam (irfani), membutuhkan pemahaman teks dan konteks sekaligus.

Berdasarkan ketiga pendekatan ini, diharapkan problem hubungan antara agama dan keragaman seni budaya tradisional maupun modern mendapatkan penjelasan secara menyeluruh, baik norma, sejarah, maupun spiritual terdalamnya. Ketiga pendekatan tersebut diharapkan dapat dijadikan basis kebijakan aktual dalam pengembangan strategi kebudayaan dan tajdid pemikiran keagamaan.

Agama dan seni budaya memiliki keterkaitan erat. Agama sebagai sebuah pengalaman imani, yakni kesadaran tentang kehadiran Zat Yang Maha Mutlak, selalu termanifestasikan dalam berbagai ragam ungkapan, antara lain dalam karya kreatif semisal seni. Bahkan, agama juga banyak menghasilkan seni budaya yang tidak dapat diingkari. Perintah agama membaca kitab suci al-Quran melahirkan berbagai bentuk seni baca al-Quran. Perintah agama menutup aurat menjadi inspirasi bagi para perancang mode muslim dan muslimah untuk menciptakan berbagai macam mode pakaian yang sesuai kaidah agama.

Ketika agama memerintahkan mera-yakan pernikahan dengan mengadakan walimah agar semua masyarakat mengetahui bahwa pasangan telah resmi menikah, maka seni pun menambah semaraknya acara walimah. Kecintaan orang kepada Nabi Muhammad saw. telah melahirkan berbagai bentuk puisi yang berisi pujian kepada beliau, semisal karya puisi al-Barzanji. Karya ini kemudian tidak hanya diapresiasi melalui pembacaannya, melainkan ditampilkan dalam suatu acara membaca Barzanji.

Sebenarnya agama dan seni budaya, tidak memiliki pertentangan sejauh seni budaya hanya merupakan pengungkapan dan apresiasi keindahan alam sebagai anugerah ilahi yang tak terbatas dan penangkapan terhadap hakikat di balik materi melalui kesadaran estetik. Namun, harus diakui bahwa akan terjadi ketegangan antara agama dan seni budaya apabila seni budaya itu memasuki wilayah klaim eksklusif agama, yakni seni dijadikan media yang bersifat ritualistik untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan.

Secara lebih luas, dialektika agama dan seni budaya tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah agama-agama besar dunia, termasuk Islam. Dalam penyebarannya, selalu berhadapan dengan keragaman seni budaya setempat. Strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.

Sebagai contoh adalah wayang yang oleh Islam (para wali) telah diisi ajaran kalimosodo (kalimah syahadat) atau ajaran keadilan, penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta, dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idul Fitri.

Dalam perjalanan dakwahnya, Muhammadiyah lewat program atau gerakan pemurnian ajaran Islam, pernah dituduh sebagai organisasi atau gerakan yang tidak ramah terhadap seni. Pola pikir keagamaan yang didominasi pendekatan bayani, pilihan strategi kebudayaan Muhammadiyah tersebut dipandang mempersempit ruang gerak bagi perkembangan seni budaya, khususnya seni tradisi dan budaya lokal.

Oleh karena itu, sadar akan pilihan kebudayaannya yang menimbulkan ketidakramahan kepada seni budaya ini, maka Muhammadiyah melakukan reorientasi strategi kebudayaannya, yang dimulai pada Musyawarah Nasional Tarjih ke-23 di Banda Aceh (1995) mengangkat tema “Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam”.

Munas Tarjih saat itu memutuskan diktum-diktum: (i) seni adalah salah satu fitrah manusia yang dianugerahkan Allah, yang harus dipelihara sesuai dengan ketentuan Allah: (ii) menciptakan dan menikmati karya seni hukumnya mubah (boleh), selama tidak mengarah dan mengakibatkan kerusakan, bahaya, kedurhakaan, dan menjauhkan dari mengingat Allah.

Selanjutnya keputusan ini dipertegas lagi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, yang menetapkan “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah”. Pedoman ini memuat pedoman warga Muhammadiyah dalam kehidupan seni budaya, dengan diktum-diktum (i) setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni budaya, selain dapat menimbulkan perasaan halus dan keindahan, juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana, media atau sarana dakwah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban; (ii) menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan manusia.

Dalam Islam, seni tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip pemikiran tauhid, melainkan sebagai manifestasi dari kesadaran tauhid itu sendiri. Akhlak Allah yang Maha Baik, Maha Benar, dan Maha Indah harus dimanifestasikan dalam segenap aspek kehidupan. Akhlak Allah yang Maha Baik menjadi tujuan dan kehendak dalam moral. Akhlak Allah yang Maha Benar menjadi cita-cita akal budi. Akhlak Allah Maha Indah menjadi dambaan rasa. Dambaan rasa inilah yang diwujudkan dalam ekspresi kesenian dan kebudayaan.

Berdasarkan pandangan Muhammadiyah terhadap seni dan kebudayaan tersebut, dirumuskan strategi seni dan kebudayaan Muhammadiyah. Pertama, strategi kebudayaan koeksistensi, yakni lebih mendalami wawasan seni tradisi dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani serta menghargai seni-seni tradisi yang berkembang di masyarakat, sepanjang sejalan dengan rambu-rambu (persyaratan) di atas.

Kedua, strategi kebudayaan proeksistensi, yaitu empati terhadap perkembangan seni tradisi serta membuka ruang publik untuk mengembangkan seni tradisi islami seperti penyelenggaraan festival-festival budaya, halaqah budaya, dan sebagainya.

Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, M.A. dalam amanat pada pembukaan MTQ Nasional pernah mengemukakan, bahwa untuk hidup yang baik di dunia, paling tidak harus didukung oleh tiga hal, yaitu agama, ilmu, dan seni. Dengan agama hidup kita menjadi terarah, dengan ilmu hidup kita menjadi mudah dan dengan seni hidup kita menjadi indah. Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya adalah dalam ciptaan yang sebaik-baiknya dan indah, yang semuanya itu diciptakan untuk dinikmati oleh manusia.

Berikut akan dikemukakan beberapa macam seni. Pertama, seni patung, seni lukis, dan seni relief. Di dalam al-Quran tidak terdapat larangan tegas membuat patung, lukisan, dan relief. Dalam al-Quran surat Saba ayat 12-13 disebutkan bahwa di dalam istana Nabi Sulaiman yang megah terdapat patung-patung. Hadis Nabi saw. riwayat Muslim menyatakan: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”. Memang ada beberapa hadis yang keras melarang membuat patung dan melukis.

Baca Juga: Kraton, Islam, dan Muhammadiyah

Dalam memahami hadis-hadis ini digunakan Manhaj Tarjih bukan hanya bayani, tetapi juga burhani (konteks), dan irfani (filosofi). Atas dasar pemahaman ayat dan hadis serta Manhaj Tarjih tersebut, maka seni patung, relief, dan lukis adalah mubah (boleh); apabila dipergunakan untuk berdakwah atau meneguhkan tauhid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, maka menjadi sunnah, bahkan dapat menjadi wajib (paling tidak wajib kifayah).

Kedua, seni suara, seni pertunjukan atau tari, dan seni musik. Ditinjau dari segi asas umum, tari, menyanyi, dan memainkan musik termasuk kategori muamalah duniawiyah. Dalam hal ini, segala sesuatu itu pada dasarnya boleh sampai ada dalil yang melarang. Atas dasar itu, maka menari, menyanyi, dan memainkan musik pada dasarnya mubah. Larangan timbul karena suatu yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan agama.

Ketiga, seni bahasa dan sastra, baik prosa maupun puisi. Hal ini dicontohkan al-Quran, sebagai bentuk karya seni Allah yang tidak ada tandingannya. Oleh karena itu, seni bahasa sangat dianjurkan dalam Islam sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Hidup Islami bagi Warga Muhammadiyah, yaitu menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan manusia.

Sebagai kesimpulan dari Uraian Hukum Islam tentang kesenian menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah adalah sebagai berikut. Seni adalah hasil karya manusia. Manusia adalah ciptaan Allah terbaik yang dilengkapi dengan hati nurani serta akal budi sehingga menghasilkan seni dan budaya untuk memudahkan dan memperindah kehidupan.

Dari sudut pandang demikian, berdasarkan tiga Manhaj Tarjih (bayani, burhani, maupun irfani), seni adalah mubah sebagai hukum asal dan dapat menjadi sunnah muakkadah apabila seni dan budaya itu untuk tujuan dakwah amar makruf nahi mungkar untuk meningkatkan iman dan takwa. Dengan demikian, semua itu tergantung pada niatnya dan dilandasi ibadah kepada Allah swt.

Related posts
Hikmah

Hukum Mengubah Peruntukan Wakaf

Oleh: Muchammad Ichsan* Meskipun hukum wakaf secara umum adalah sunat, namun wakaf adalah amalan yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam. Wakaf adalah…
Berita

PDM Tegal Giatkan Pengajian Hari Bermuhammadiyah

Tegal, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Tegal mengadakan pengajian Hari Bermuhammadiyah bertempat di SMK Muhammadiyah Kramat, Kabupaten Tegal. Pengajian…
Berita

Perempuan Mengaji Edisi 19: Relevansi Hukum Islam terhadap Hukum di Indonesia

Tegal, Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah melalui Majelis Tabligh mengkaji “Konsep dan Relevansi Hukum Islam terhadap Hukum di…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *