Oleh: Mohammad Mas’udi
Pembahasan masalah-masalah kontemporer terkait fatwa keagamaan senantiasa menimbulkan pro dan kontra. Hal ini terjadi karena setiap ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat masalah tersebut.
Jual-Beli dalam Islam
Jual-beli merupakan salah satu cara perpindahan kepemilikan yang dibenarkan oleh al-Quran. Rasulullah menyatakan bahwa jual-beli mabrur sebagai salah satu usaha yang baik, bahkan Rasulullah adalah pedagang yang sukses sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Aktivitas ini telah menjadi peradaban manusia sebelum al-Quran diturunkan dan diwahyukan kepada Rasulullah.
Kemajuan teknologi informasi telah melahirkan lompatan aktivitas manusia yang melampaui batas dimensi waktu, tempat, dan ruang, termasuk di dalamnya adalah aktivitas bisnis atau jual-beli. Batas-batas waktu, tempat, dan ruang tidak lagi menghambat praktik perdagangan dengan munculnya bisnis online. Dengan bisnis online, seseorang dapat memasarkan barang dagangan sebanyak mungkin serta mendapatkan konsumen sebanyak mungkin pula dengan cara yang efisien dan efektif.
Jual-beli dalam Islam pada dasarnya merupakan akad pertukaran. Paling tidak terdapat tiga macam jual-beli dalam hubungannya dengan pertukaran. Pertama, bai’ al-muqayyadah, yaitu jual-beli barang dengan barang (barter). Aktivitas ini dapat dijumpai pada masyarakat pedalaman karena belum mengenal mata uang sebagai alat transaksi.
Kedua, bai’ al-muthlaq, yaitu jual-beli barang dengan alat tukar (uang). Aktivitas ini merupakan bentuk jual-beli yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat modern. Sekarang ini uang telah menjadi alat bayar bagi seluruh transaksi bisnis yang diselenggarakan.
Ketiga, bai’ al-sharf, yaitu jual-beli uang dengan uang. Aktivitas ini merupakan jual-beli antar mata uang suatu negara dengan negara lain, misalnya membeli mata uang USD dengan mata uang rupiah atau ringgit, demikian pula sebaliknya dengan menyesuaikan nilai mata uang tersebut.
Baca Juga
Berdasarkan ketiga macam jual-beli tersebut, transaksi bisnis online pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari bai’ al-muthlaq yang bertumpu pada pertukaran uang dengan barang atau jasa. Artinya, aktivitas bisnis dengan memanfaatkan media online akan selalu berhubungan dengan pertukaran barang dan uang. Transaksi bisnis online mengisyaratkan terjadinya pertukaran barang/jasa dengan uang tanpa harus menghadirkan pihak-pihak terkait.
Sebagai bagian dari akad bai’ al muthlaq, terdapat syarat dan rukun jual-beli yang harus dipenuhi dalam transaksi bisnis online. Adapun syarat jual beli tersebut meliputi (i) kerelaan kedua belah pihak atas transaksi yang dilakukan; (ii) keduanya kompeten dalam melakukan transaksi jual-beli; (iii) objek jual-beli bukan merupakan barang yang diharamkan serta terlarang untuk diperjualbelikan; (iv) barang yang diperjualbelikan merupakan milik penjual sepenuhnya; (v) barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan; dan (vi) jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh para pihak.
Adapun rukun transaksi bisnis online adalah: (i) pihak yang bertransaksi, dalam hal ini terdapat penjual dan pembeli; (ii) adanya barang yang ditransaksikan, dalam konteks hukum bisnis syariah hanya barang-barang yang halal saja yang dapat diperjualbelikan; (iii) kesepakatan harga, ini dapat terjadi karena proses tawar-menawar atau adanya persetujuan atas harga yang ditawarkan oleh penjual; dan (iv) serah-terima barang (ijab-qabul).
Serah-terima barang dalam bisnis online selalu membutuhkan waktu jeda dan tidak dapat dilakukan secara langsung. Oleh sebab itu, memungkinkan adanya hak khiyar, yaitu sebuah hak yang memungkinkan bagi pembeli untuk tetap meneruskan dalam membeli barang tersebut ataukah membatalkannya. Paling tidak harus ada khiyar ru’yah, sebagai pilihan untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya setelah pembeli melihat kiriman barang tersebut sebagai akibat jual-beli online.
Terhadap rukun jual-beli ini, mazhab Hanafi mencukupkan adanya ijab-qabul dalam syarat sebuah transaksi, sementara mazhab yang lain mengharuskan adanya keempat hal di atas. Konseksuensi dari perbedaan ini adalah bahwa bagi mazhab Hanafi, hanya dengan ijab-qabul syarat jual-beli sudah menjadi sah. Dalam konteks jual-beli online, terjadinya ijab-qabul sudah mencukupkan syarat terjadinya jual-beli.
Pedoman Umum
Kehalalan sebuah produk dalam transaksi bisnis online menjadi sangat penting, karena Islam telah mengharamkan bisnis barang atau jasa yang haram. Terhadap barang yang jelas keharamannya, maka haram pula untuk membisniskannya. Dengan bisnis online, orang tidak merasa was-was atau khawatir atas aktivitas bisnisnya yang menyimpang dari tuntunan agama. Namun, keimanannya akan menyadarkan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Melihat.
Sebagai pelaku bisnis online, seseorang harus memahami posisi dirinya dalam kapasitas sebagai apa. Apakah sebagai pemilik, atau mewakili pemilik untuk menjual barangnya, ataukah hanya sebagai perantara antara penjual dengan pembeli. Kondisi ini akan memiliki konsekuensi dalam menentukan akad yang dibuat.
Baca Juga
Media Sosial, Solusi Alternatif Datangkan Rezeki
Dalam kasus seseorang sebagai pemilik barang atau mewakili pemilik barang, ia dapat menjual barang secara offline maupun online. Ia juga dapat menjual barang secara kontan ataupun kredit. Seseorang dalam posisi sebagai perantara antara penjual dengan pembeli dimungkinkan melaksanakan akad salam ‘pesanan’ dalam bisnis tersebut. Ia dapat menerima uang dari pembeli dan menyerahkan barang dalam waktu yang telah diperjanjikan. Ketegasan posisi ini menjadi penting agar tidak terjadi penyimpangan terhadap syariah atas transaksi bisnis online.
Terdapat banyak keunggulan dan kemudahan dalam bisnis online, tetapi juga memunculkan masalah dalam hal kepercayaan maupun kejujuran. Sebagai pembeli yang telah mengirimkan uangnya, terkadang pengiriman barang tidak sesuai dengan gambar yang diiklankan. Untuk itu, diperlukan kehati-hatian dalam melakukan aktivitas bisnis ini agar kerelaan di antara pelaku bisnis dapat diwujudkan.