Hikmah

Ibrah Peristiwa Isra’ Mi’raj bagi Umat Islam

Isra' Mi'raj 1442 H

Isra’ Mi’raj 1442 H

Oleh: Muhsin Hariyanto
Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup Nabi Muhammad saw. adalah perjalanan horizontal yang mengatasi batas waktu dari Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah menuju Masjidil Aqsha di Jerussalem (isra’), dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal dari Qubbah as-Sakhrah yang terletak sekitar 150 meter dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha (mi’raj). Perjalanan tersebut dijalani Nabi Muhammad saw. hanya dalam waktu yang sangat singkat, yakni dalam hitungan satu malam. Bahkan, ada salah satu riwayat tafsir yang menyebut bahwa perjalanan tersebut hanya membutuhkan waktu sebagian malam.

Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu berabad-abad yang lalu, tapi gaung peristiwa yang sarat akan makna itu masih terdengar dan penting untuk direnungi hingga saat ini. Apalagi setiap tanggal 27 Rajab, sebagian besar umat Islam memperingatinya; menjadikannya ibrah (pelajaran) dan momentum perenungan, serta upaya refleksi untuk kepentingan masa depan mereka, sebagai perwujudan dari kerinduan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.

Kini, sebagian orang (masih) memperdebatkan esensi Isra’ Mi’raj; apakah terjadi secara fisik atau spiritual, atau terjadi dengan cara keduanya. Jumhur ulama menyatakan bahwa diperlukan kecermatan, kecerdasan, keseriusan, dan sekaligus kehati-hatian untuk memahami peristiwa tersebut, yang meskipun terjadi beriringan, tetapi sangat mungkin memiliki makna yang berbeda. Sebagaimana Abu Bakar ash-Shidiq –yang dengan keteguhan imannya—menyatakan bahwa peristiwa tersebut benar-benar menjadi bukti bahwa ‘ilm dan qudrat Allah swt. meliputi, menjangkau, dan mengatasi segala sesuatu.

Segala yang terjadi diwujudkan oleh kekuatan yang luar biasa. Itulah yang menurut ibn Katsir bisa menjadi bukti kekuasaan Allah swt. Manusia, makhluk yang lemah ini, seringkali tidak bisa membedakan antara yang mustahil menurut akal dan yang mustahil menurut kebiasaan, antara yang bertentangan dengan akal dan yang tidak/belum dimengerti oleh akal, serta antara yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional. Apalagi dengan kekusaan Allah swt. yang tak terbatas. Ilmu dan kekuasaan-Nya sangat mampu menembus batas rasionalitas manusia.

Dalam hal ini, para ulama menyatakan bahwa minimal ada lima ibrah yang sangat penting yang dapat diambil dari peristiwa ini. Pertama, peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan momentum kebangkitan dan peneguhan konsistensi perjuangan. Beberapa waktu sebelum peristiwa tersebut, Rasulullah saw. dirundung kesedihan yang bertubi. Istrinya Khadijah dan pamannya Abu Thalib yang selalu menjadi benteng perjuangan beliau meninggal dunia. Sementara itu, tekanan fisik dan psikologis dari kaum kafir Quraisy semakin berat.

Dalam situasi yang mendekati titik putus asa tersebut, Allah swt. memperjalankan Nabi Muhammad saw. menyusuri jejak para Nabi pendahulunya. Beliau kemudian dibawa menemui Sang Maha Kuasa di Sidratil Muntaha. Dari perjalanan itulah Nabi Muhammad saw. ‘menemukan kembali’ ruh perjuangannya untuk mendakwahkan Islam secara terbuka.

Kedua, pemurnian atau penyucian hati. Dalam salah satu riwayat, sebelum dibawa oleh Jibril, Nabi Muhammad saw. dibaringkan, lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zam-zam. Makna peristiwa tersebut tak lain adalah pelajaran bagi umat Islam bahwa untuk bisa mendekat dan sampai kepada Allah swt. dibutuhkan keikhlasan dan kesucian hati.

Ibadah salat yang menjadi salah satu oleh-oleh dalam peristiwa Mi’raj pada dasarnya merupakan sebuah jalan untuk mencapai ridha Ilahi. Artinya, pelaksanaan salat yang tidak didukung oleh keikhlasan dan kesucian hati, maka ia pun bisa jadi hanya sekadar menjadi upacara ritual dan gerakan badan tanpa arti.

Ketiga, di tengah perjalanan, Nabi Muhammad saw. dihadapkan pada dua pilihan; susu dan khamr. Susu merepresentasikan kebaikan, sedangkan khamr mewakili keburukan. Kebaikan identik dengan manfaat, sedangkan keburukan identik dengan kerugian.

Dua pilihan tersebut juga mengiringi kehidupan kita di dunia. Dikisahkan waktu itu Nabi Muhammad dengan sigap memilih susu, sebab beliau ingin menebar manfaat dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Pilihan tersebut semestinya juga diikuti oleh umatnya, baik dulu, kini, maupun nanti.

Keempat, perjalanan isra’ dan mi’raj yang dilakukan Nabi Muhammad saw. mengisyaratkan bahwa setiap perjalanan hidup kita hendaknya selalu diawali dan diakhiri dengan simbol masjid (tempat sujud), yang berarti selalu didasari dengan ketaatan kepada Allah swt.

Kelima, sekembalinya dari perjalanan tersebut, Nabi Muhammad saw. membawa oleh-oleh spesial berupa kewajiban salah lima waktu. Salat ini harus dimaknai sebagai bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim. Oleh karenanya, pelaksanaannya harus dilandasi dengan sikap cinta dan kerinduan yang mendalam kepada Allah swt.

Perjalanan Isra’ Mi’raj akan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua selama kita masih mau berpikir dan membuka mata hati untuk menangkap sinyal-sinyal Allah swt. Kelima ibrah tersebut harus ditanamkan betul-betul dalam pikiran dan hati setiap Muslim. Akhir kata, mari kita jadikan momentum ini untuk mendekat dan menggapai hidayah dan ridha Allah swt.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *