Oleh: Arip Hidayat
Hari masih pagi, saat sayup-sayup terdengar dari corong pengeras suara Masjid Darussalam, Pedalangan, Tembok Banjaran.
Sebuah berita lelayu tentang sosok sepuh yang amat kuhormati. Ibu Hj Zaenab Masykur tutup usia. Jelas pengumunan itu disampaikan. Aku terhentak kaget, istriku yang baru melahirkan putri kedua kami dengan setengah berteriak mengabariku dari dalam kamar: “Bi…Bu Zaenab meninggal “.
Dia mengira aku masih tertidur di depan televisi. Aku hanya diam tidak menjawab. Antara tak percaya dan sedih mendengar berita ini. Aku hanya diam saja. Sambil lirih berdo’a: allahumaghfirlaha, warhamha, wa’afiha, wa’fu anha. Beliau meninggalkan dunia fana ini di usia 84 tahun, dengan mudah, tidak merepotkan banyak orang. Itulah di antara tanda husnul khotimah.
Sebelum tahun 2015, aku tidak tahu siapa beliau. Beliau pun tak tahu siapa aku. Baru paska hijrahku dari Yogyakarta ke Kota ini di awal 2015, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal beliau. Yang bait namanya tertulis sebagai nama LKSA/Panti Asuhan Putri Muhammadiyah Hj. Zaenab Masykuri, PCM Adiwerna. Itulah nama lembaga yang pertama yang kukenal di kota ini. Hal ini karena aku punya kewajiban mendampingi istri untuk menjalani proses pengabdian di lembaga yang dulu menyekolahkan istriku di Yogyakarta.
Baca Juga: Ber-Aisyiyah, Saling Mengingatkan dalam Ibadah
Mulai saat itu, sebagai rasa ta’dzim-ku terhadap beliau, di beberapa kali kesempatan, baik nyadran idul fitri atau di luar itu, Aku sempatkan waktu sowan kepada beliau.
Kadang bersama istri, kadang dengan kawan Pemuda Muhammadiyah Adiwerna. Di luar itu pertemuanku dengan beliau kadang terjadi di rumah kontrakan yang aku tinggali saat ini. Ya, karena kontrakan itu memang milik beliau. Beberapa hunian komplek kontrakan sebelah barat SD Muhammadiyah Budimulia.
Saat-saat pertemuan itu sering beliau bercerita banyak hal; tentang motivasi hidup, tujuan hidup, dan cita-cita mati dalam keadaan husnul khotimah. Suatu saat beliau pernah bilang kepadaku dan istri: “inyong pengin hartane inyong manfaat lan jadi amal jariyah. Nggo sangu mati, Mas” (saya ingin harta saya bermanfaat dan menjadi amal jariyah. Buat bekal ketika meninggal, Mas). Tutur beliau lembut di hadapan kami.
Aku jadi teringat nasihat KH. Hasan Abdullah Sahal Gontor yang sering menyampaikan nasihat, “banyak manusia mempersiapkan bagaimana cara hidup yang baik, tapi sedikit dari mereka yang mempersiapkan bagaimana cara mati yang baik”. Dan Bu Zaenab bagiku telah masuk kategori yang kedua. Beliau sudah jauh-jauh mempersiapkan bagaimana menempuh kematian dengan baik.
Pernah juga suatu ketika saat sowan (bersilaturahmi) menjelang idul fitri, aku lihat banyak tumpukan amplop berisi uang di meja tamu. Dengan polos kutanya, ”amplop-amplop berisi uang itu untuk apa, Bu?”. “Ini buat mereka yang menjelang lebaran pada datang minta-minta ke sini, Mas,” jawab beliau.
“Loh… memang mereka pengemis betulan, Bu? Apa sekadar memanfaatkan momen lebaran untuk minta-minta?” jawabku dengan balik bertanya. “Ah..inyong tah ora ngerti, mung melas tok mas, mulane tak nein” (saya kurang tahu. Karena kasihan, makanya saya kasih). Jawab beliau polos. Begitulah sikap beliau, dianugerahi rasa “melas” terhadap orang yang kekurangan.
Melas lihat orang lain susah. Bahasa agamanya hal itu bagian dari cabang-cabang iman. Itulah beliau yang rumahnya tetap sederhana, yang megah justru bangunan-bangunan yang diwakafkannya. Ini mengingatkanku akan KH. Abdullah Syukri Zaskasyi Gontor yang pernah berujar: “Kiai betulan itu akan merasa malu kalau rumah pribadinya lebih mewah dari Masjid dan Pesantrennya”.
Itulah beliau sosok pewakaf dan pendiri pesantren yang sederhana. Kedermawanan beliau mengingatkanku sabda Nabi yang sering disampaikan para mubaligh, “orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil (pelit) itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari menusia, dan dekat dengan neraka”.
Mengutip pernyataan KH. Bahaudin Nursalim, Narukan, Rembang, “wong lumo jelas alamate, minimal deket dulu dengan surge, wong medit jelas minimal alamate deket neraka” (orang yang dermawan jelas alamatnya, minimal dekat dengan surga. Orang yang pelit juga jelas alamatnya, minimal dekat dengan neraka).
Selamat jalan, Bu. Kami tidak mengkhawatirkan tempatmu di barzah. Saya bersaksi panjenengan orang baik. Min ahlil-khoir. Saya yakin panjenengan lagi tersenyum di bawah rahmat-Nya. Kami justru khawatir terhadap diri kami sendiri yang masih jatuh bangun untuk menjadi orang baik.
*Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Adiwerna, Kabupaten Tegal