Oleh: Wurry Srie
Manakala mendapati orang-orang tercintai tak sejalan dalam proses untuk mencapai sebuah tujuan bersama, sebagai ibu tak bisa tinggal diam. Secara kodrati, otomatis muncul tantangan bagaimana caranya mencari jalan tengah. Jalan yang tidak merugikan pihak manapun. Jika ternyata tetap ada yang merasa dirugikan, dicari jalan mana yang paling minim risikonya.
Di saat tertentu sering muncul persoalan kecil yang membutuhkan pemecahan segera agar tak berlarut menjadi lebih besar dan sulit diatasi. Hal tersebut biasa terjadi dalam sebuah keluarga yang di situ ada ayah, ibu, dan anak-anak. Nah, ketika anak-anak beranjak remaja, sudah mampu berpikir tentang sekolah, tentang cita-cita dan masa depan, mereka punya pilihan dan keinginan sendiri.
Entah itu keinginan tentang pilihan sekolah, memilih jurusan, memilih antara ikut study tour atau tidak, memilih fakultas mana yang diinginkan, dan lain-lain. Keinginan atau hasrat hati yang tak mudah dipengaruhi oleh orang lain sekalipun itu orang tua atau saudara. Dalam situasi dan kondisi seperti ini kadang lahir gesekan-gesekan kecil karena tidak semua maksud baik orang tua bisa diterima anak.
Mungkin karena beda generasi, zaman sudah berubah atau karena kemajuan teknologi, daya pikir anak yang kritis boleh jadi dinilai orang tua sebagai sikap yang terlalu “berani”. Ada orang tua yang tak mau menerima kritikan dari anak walau disampaikan dengan cara halus. Namun, tidak sedikit orang tua yang menyadari bahwa zaman sudah berkembang pesat yang mengharuskan pula berkembangnya pola berpikir.
Sebagaimana Sabda Rasullullah: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya“.
Kesadaran akan perubahan zaman akan memudahkan setiap diri untuk menerima berbagai kemajuan. Dibutuhkan orang tua, khususnya seorang ibu yang tidak berpikiran kolot maupun fanatik ketika menerapkannya dalam keluarga. Bila semua sadar akan hal ini tak akan timbul perasaan aku benar kamu salah, tetapi menerima dengan legowo atas pendapat masing-masing yang belum tentu sama.
Di balik sosok tangguh seorang perempuan yang bergelar istri atau ibu, selain kelembutan pasti ada kelemahan di mata suami maupun anak. Misalnya, ketika berhadapan dengan hal-hal remeh yang jika dicermati berpeluang menjadi sebuah konflik dan akan membuat tak nyaman di kedua pihak. Bagi ibu akan ada perbedaan pendapat yang mengharuskannya mengambil jalan tengah. Jika ibu tak pandai dalam menyiasati akan menjadi sebuah kerikil yang mengganggu telapak kaki dalam menjalani kehidupan sebuah keluarga.
Baca Juga: Silaturahmi Idulfitri PDA Sleman dalam Bingkai Semangat Kartini
Demi mencapai suasana keluarga yang aman terkendali tak jarang sosok ibu tersebut mengalami jalan buntu alias bingung bagaimana cara mengatasi setiap problem yang mengadang. Pemicunya bisa beragam, misalnya komunikasi yang tidak bagus, kurangnya keterbukaan atau karena kesensitifan perasaan masing-masing yang tidak sama.
Seiring waktu berjalan, menghadapi situasi pelik yang berulang, akhirnya membuat seorang ibu menjadi terbiasa dan sedikit berpengalaman. Ya, walau sedikit. Bisa jadi bagi sebagian keluarga lain di luar sana tak berdampak apa-apa ketika ada masalah kecil yang masih mengganjal di hati salah satu atau lebih anggota keluarga. Jika tidak segera diatasi dikhawatirkan akan berbuntut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Lalu, apakah dibiarkan saja setiap ada persoalan kecil yang muncul? Bagaimana peran ibu di sini? Meski “konflik dalam negeri” setiap keluarga tidak sama, alangkah baiknya disikapi secara tenang tapi serius. Sebagai perempuan yang dituntut multi talenta, serba bisa, berkemajuan dan mencerahkan, seorang ibu harus senantiasa siaga dalam menghadapi setiap masalah besar maupun kecil. Minimal punya potensi menghadirkan solusi.
Bukan karena ingin terlihat kuat, benar, dan tak terkalahkan di antara yang lain. Namun, lebih pada memotivasi diri bahwa perempuan tidak boleh lemah. Bukan pula tak hirau atas kehadiran sosok suami, tetapi semata-mata karena punya tujuan jelas: menciptakan keluarga yang rukun dan damai. Salah satunya dengan meminimalisir kemungkinan perbedaan yang timbul dengan menjadi penengah.
Memiliki sifat wasatiyah adalah salah satu ciri perempuan berkemajuan, yaitu tidak akan memihak kiri atau kanan. Dia seimbang dalam bersikap, mengambil posisi di tengah antara suami dan anak-anak. Di sini muruah perempuan dalam keluarga tertantang keberadaannya. Kecerdasan emosinya dipertaruhkan demi mewujudkan suasana keluarga yang adem menyejukkan dan ayem menentramkan. Bahkan bila perlu, seorang ibu rela menepis dan membuang setiap ego yang muncul dengan mengorbankan ambisi pribadi demi orang-orang yang dicintai.
Cara pandang dan karakter masing-masing personil dalam sebuah keluarga yang tidak sama menyebabkan cara penyelesaian tiap masalah juga berbeda. Jurus untuk si A belum tentu bisa diterapkan pada si B dan sebaliknya. Ibu tetaplah ibu yang ketika pasang badan memiliki keterbatasan wawasan maupun pengalaman. Sesempurna apa pun seorang ibu tentu masih ada titik kekurangannya karena sesungguhnya kesempurnaan itu mutlak milik Allah.
Tak bisa dibantah karena jika boleh meminta, tentu semua menginginkan ibu yang moderat, tangguh, kuat, pintar, inisiatif, inovatif, dan berkepribadian super di mata keluarga. Untuk mencapai level tersebut, pelu dukungan penuh dari keluarga tercinta. Oleh karena itu, bagi setiap anggota keluarga hendaknya mau membuka diri untuk saling melengkapi, saling menutupi kekurangan, saling mengingatkan, dan yang tak kalah penting adalah saling menasihati.
*Penulis adalah anggota aktif di Majelis Tabligh dan Ketarjihan PDA dan PCA Donorojo Jepara.
3 Comments