Kalam

Idah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan

perempuan

Oleh: Siti ‘Aisyah

Ada dua orang muslimah, sebut saja A dan B, yang ditinggal wafat suaminya. Mereka berdua menjalani masa idah. Keduanya merasakan duka mendalam atas kepergian sang suami. Muslimah A adalah pegawai negeri yang memiliki penghasilan sendiri dari dana pensiun. Dana pensiun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup karena anak-anaknya sudah menikah dan mandiri. Selama masa idah, dia tinggal di rumah. Kalaupun keluar rumah, ia hanya pergi ke masjid untuk menunaikan salat berjamaah. Di luar itu, dia membatasi diri, tidak ke luar rumah meski memiliki tanggung jawab sebagai pimpinan organisasi. Kegiatan organisasi dia delegasikan pada orang lain.

Muslimah B adalah seorang wirausaha yang membuka kedai di rumahnya. Dia memiliki tiga putra yang sekarang berstatus yatim. Dia jalani masa idah pula karena itu ketentuan agama. Sebagai single parent, perempuan orang tua tunggal, dia merasa berat bila tidak boleh membuka kedai di rumahnya sampai 4 bulan 10 hari lamanya.

Mencermati fenomena perempuan idah tersebut, ada baiknya kita mendalami seputar idah dalam tinjauan Islam berkemajuan. Idah bagi perempuan sudah ada dalam masyarakat Arab pra-Islam berupa tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca kematian sang suami. Dalam masyarakat pra-Islam, perempuan yang sedang menjalani masa idah diwajibkan mengisolasi diri dalam ruangan terpisah agar tidak terjangkau oleh siapapun selama satu tahun penuh.

Pada masa idah, perempuan dikenakan tradisi iḥdād, yaitu masa pengasingan di mana perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk mandi, memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Kehadiran Islam melakukan perubahan cukup mendasar terhadap tradisi idah dan iḥdād dengan memuliakan dan memberikan hak-hak idah bagi perempuan bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati.

Ketentuan Masa Idah bagi Perempuan

Idah secara bahasa berasal dari bahasa Arab, ‘adad, yang artinya menghitung. Maksudnya, perempuan (istri) menghitung hari-harinya atau masa bersihnya. Secara istilah syar’i, idah menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dengan suaminya (Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, juz 2). Masa idah dikategorikan menjadi dua, pertama, idah bagi perempuan yang ditinggal wafat suaminya, dan kedua, idah bagi perempuan karena diceraikan suaminya.

Berikut ini adalah ketentuan masa idah yang telah diatur dalam al-Quran secara rinci. Pertama, masa idah bagi perempuan yang ditinggal wafat suaminya adalah empat bulan sepuluh hari (Q.S. al-Baqarah [2]: 234). Adapun jika perempuan yang suaminya meninggal dunia sedangkan dia dalam keadaan hamil, masa idahnya adalah sampai ia melahirkan (Q.S. ath-Thalaq [65]: 4).

Kedua, masa idah bagi perempuan yang bercerai dengan suaminya. Terdapat empat ketentuan untuk masa idah kategori ini. Pertama, apabila perempuan yang beridah itu masih haid, maka idahnya adalah tiga kali quru’ (Q.S. al-Baqarah (2): 228). Majelis Tarjih dalam fatwanya menyatakan bahwa idah seseorang itu bisa dihitung dengan haid atau suci (quru’) yaitu tiga kali suci atau haid.

Berapa hari persisnya tiga quru’ itu? Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di antara berbagai mazhab. Imam Hanafi menetapkan minimal 60 hari, sedangkan menurut murid-muridnya, yaitu Imam Muhammad dan Yusuf, adalah 39 hari. Di Indonesia, masa idah ditetapkan 90 hari. Hal ini telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 tentang Waktu Tunggu ayat (2), butir b. “Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari”.

Kedua, perempuan-perempuan yang tidak berhaid, idahnya ialah 3 bulan. Ini berlaku untuk perempuan yang menopause dan juga anak-anak yang belum baligh (Q.S. at-Thalaq (65): 4). Dalam KHI pasal 153, poin b, disebutkan bahwa waktu 3 bulan itu “bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.

Ketiga, bagi perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (Q.S. ath-Thalaq (65): 4). Idah bagi perempuan hamil ini berlaku juga bagi perempuan yang cerai karena suaminya meninggal dunia.

Keempat, bagi perempuan yang belum melakukan hubungan biologis dengan suaminya, apabila bercerai, tidak ada idah baginya (Q.S. al-Ahzab [33]: 49).

Idah Bagi Laki-Laki?

Ada pertanyaan yang cukup menggelitik terkait kenapa ketentuan idah hanya berlaku bagi perempuan dan tidak diberlakukan bagi laki-laki, seolah-olah terjadi ketidakadilan hukum Islam dalam masalah idah. Padahal, Islam yang sejatinya merupakan raḥmatan lil‘ālamīn (pembawa rahmat bagi seluruh alam) telah menempatkan keadilan sebagai sesuatu yang asasi. Bahkan dalam Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, disebutkan bahwa salah satu asasnya adalah al-‘adl (keadilan) yang merupakan refleksi dari ketakwaan.

ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

… Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Maidah [5]: 8).

Berbicara keadilan sebenarnya bukan berarti sama. Dalam bahasa Arab, adil dimaknai dengan

وَضْعُ الشَّيئْ فِي مَحلَهِّ yang berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, ketentuan idah dalam Islam yang hanya dikenakan bagi perempuan, merupakan wujud keadilan karena ketentuan idah berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan tentang kehamilan. Dari sisi burhani, idah ada kaitannya dengan kesehatan dan fungsi reproduksi perempuan. Dengan demikian, sebenarnya ada hikmah di balik ketentuan idah bagi perempuan.

Hikmah Idah bagi Perempuan

Terdapat beberapa hikmah idah bagi perempuan, di antaranya untuk memastikan barā’atur rahim (kesucian rahim), untuk ta’abbud (beribadah), dan untuk tafajju’ (bela sungkawa) terhadap suaminya (Abu Yahya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab, h. 103). Di samping 3 hikmah itu, Sayid Sabiq menambahkan bahwa hikmah idah adalah untuk memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali pada kehidupan semula sebagai pasangan suami istri, jika mereka menganggap rujuk atau kembali bersatu sebagai suami istri itu lebih baik setelah merasakan kesendirian selama masa idah.

Aspek burhani menguatkan hikmah untuk memastikan kesucian rahim dari adanya masa idah. Hal ini dikuatkan dengan adanya perkembangan teknologi kesehatan melalui USG (Ultrasonografi) berupa suatu alat dalam dunia kedokteran yang memanfaatkan gelombang ultrasonik (Widjanarko G. Hendra, USG 4 Dimensi, 2007). Melalui USG, baru dapat diyakinkan adanya kehamilan pada tri semester pertama atau pada usia kandungan 120 hari. Dengan demikian, idah tiga quru’ sejalan dengan temuan di bidang kedokteran.

Adapun hikmah ta’abbud dimaksudkan sebagai komitmen muslim terhadap syariat Allah yang terwujud dalam aspek peribadatan. Menaati peraturan Allah merupakan ekspresi ibadah.

Hikmah tafajju’ (bela sungkawa) merupakan etika sosial yang memuat nilai ’irfani yaitu adanya moral sense atau perasaan moral perlunya masa berkabung bagi seseorang yang ditinggal wafat pasangan yang dicintainya. Meski tidak ada idah bagi laki-laki yang ditinggal meninggal istrinya, secara ’irfani, terdapat masa berkabung pula baginya karena sebagai ekspresi berkabung karena ditinggal pasangan yang telah membersamainya dalam suka dan duka.

Dalam KHI, pasal 170, terdapat masa berkabung bagi istri dan suami, disebutkan bahwa (1) Istri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa idah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah. (2) Suami yang tinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.

Dalam masa idah, istri memiliki hak idah berupa nafkah dari suami dalam bentuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal (Q.S. ath-Thalaq [65]: 6). Bagi perempuan yang selama ini tidak bekerja, masa ini dapat menjadi masa persiapan untuk mandiri secara ekonomi agar mampu membiayai hidup diri dan anak-anaknya, meskipun nafkah anak menjadi tanggung jawab suami (bagi perempuan cerai hidup) dan saudara suami (bagi perempuan cerai mati).

Etika Sosial Perempuan Idah

Idah perempuan bukan berarti ia tidak boleh berhias atau merawat diri agar tetap sehat. Iḥdād pada masa idah dalam tradisi Islam berbeda dengan iḥdād dalam tradisi Arab pra-Islam. Perempuan pada masa idah tidak dilarang berhias secara wajar untuk merawat diri agar tetap bersih dan sehat. Hal yang dilarang dalam masa idah adalah menikah.

Bolehkah Perempuan Bekerja dan Umrah Pada Masa Idah?

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam memahami surah al-Baqarah [2] ayat 234 tentang durasi waktu dan ketentuan idah perempuan yang suaminya meninggal dunia sebagaimana ada di dalam kitab Tafsir al-Qurthubi juz 3 halaman 177. Di sini dijelaskan bahwa ‘Usman bin ‘Affan dan Umar menetapkan keharusan menjalankan masa idah bagi seorang istri yang suaminya meninggal dunia selama 4 bulan 10 hari di rumahnya.

Dalam kitab Fiqh as-Sunnah karangan as-Sayyid Sabiq juz 4 halaman 133 dijelaskan pula bahwa Umar melarang perempuan yang suaminya meninggal dunia keluar dari rumahnya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ada pengecualian dari hukum ini, yaitu bagi perempuan pedalaman jika suaminya meninggal dunia, ia boleh ikut pergi bersama keluarganya jika keluarganya memang biasa berpindah-pindah tempat tinggal.

Pendapat lain, di antaranya Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Jabir, mengatakan bahwa perempuan yang menjalankan idah karena suaminya meninggal dunia tidak harus berada di rumahnya. Ia boleh menjalankan sesuatu sesuai kehendaknya. Hal ini karena dalil yang mewajibkan perempuan untuk menyelesaikan masa idah di rumahnya hanya berlaku untuk perempuan yang ditalak (QS. at-Talaq [65]: 1).

‘Aisyah telah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan pergi umrah bagi idah karena ia berpendapat idah perempuan yang suaminya meninggal dunia berbeda dengan perempuan yang ditalak suaminya. Adapun bunyi fatwanya sebagai berikut:

Dari ‘Urwah (diriwayatkan) bahwa ia berkata: ‘Aisyah r.a. pernah keluar dengan saudara perempuannya yaitu Ummi Kultsum ketika Thalhah bin ‘Ubaidillah (suami Ummi Kultsum) terbunuh ke Makkah untuk melakukan umrah. ‘Urwah berkata: ‘Aisyah r.a. memfatwakan kebolehan keluar rumah bagi seorang perempuan yang dalam masa idah karena ditinggal mati suaminya (H.R. ‘Abdurrazzaq No. 12054).

Berdasarkan ayat al-Quran dan hadis-hadis di atas, Tarjih Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa atas pertanyaan bolehkan perempuan idah karena suaminya meninggal dunia menunaikan umrah. “Bahwa perempuan yang sedang menjalankan idah karena suaminya meninggal dunia boleh untuk melaksanakan ibadah umrah dan menjadi wajib karena nazar dengan ketentuan ia tetap menjalankan iḥdād yang sudah ditetapkan, yaitu tidak diperbolehkan untuk berdandan yang seakan-akan ia memamerkan dirinya, akan tetapi juga tidak harus berpenampilan “kusut”, dalam artian ia dapat tampil secara normal, karena larangan untuk berdandan dan lain sebagainya itu bukan li at-tahrim (sebagai pengharaman). Selain itu ia juga harus menjaga etikanya selama menjalankan ibadah umrah.”

Sebagian perempuan yang ditinggal wafat atau dicerai suaminya mau tidak mau berusaha menghidupi dirinya sendiri dan anak-anak yatim yang menjadi tanggung jawabnya. Atau di sisi lain, ia juga menanggung anak-anak yang nafkah mereka menjadi tanggung jawab suami, tetapi terkadang tidak mencukupi, atau suami tidak memenuhi kewajiban nafkah anak. Dalam kondisi seperti ini, tak jarang perempuan mengharuskan dirinya bekerja.

Dalam masa kenabian, terdapat riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan seorang perempuan yang sedang menjalani idah keluar rumah untuk memanen hasil kebunnya, sementara sebelumnya dia dilarang oleh sahabat untuk keluar dari rumahnya karena sedang menjalani masa idah. Beliau bersabda:

بلى فَجُدِّي نَخْلَكِ، فإنك عسى أن تَصَدَّقِي، أو تفعلي معروفا

”Ya, petiklah buah anggurmu, karena dengan itu kamu akan dapat bersedekah atau kamu akan melakukan kebaikan”. (H.R. Imam Muslim)

Bahkan Nabi memberikan penghargaan terhadap perempuan bekerja dalam sabda beliau:

أخبرهما أن لهما أجرين، أجر القرابة، وأجر الصدقة

Rasulullah saw berkata: ”Sampaikanlah kepada mereka berdua bahwa mereka memperoleh dua pahala, yaitu pahala memberikan nafkah kepada keluarga dan pahala sedekah” (H.R. Imam Bukhari).

***

Ketentuan idah dalam Islam tidak dimaksudkan membatasi perempuan, tetapi memiliki hikmah menjaga kesehatan reproduksi perempuan, di samping juga wujud ketaatan dalam menunaikan ibadah, masa bermuhasabah bagi suami istri untuk menemukan solusi terbaik, dan masa berkabung ditinggalkan pasangan hidupnya yang telah membersamai dalam suka dan duka. Masa berkabung tidak hanya berlaku bagi perempuan, tetapi juga bagi suami yang ditinggal wafat istrinya. Semua ini sebagai wujud dari maqashid asy-syari’ah dalam melindungi keluarga (ḥifẓ an-nasl).

Related posts
Berita

Kajian Fikih Perempuan: Thaharah

Yogyakarta Suara ‘Aisyiyah – Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah mengadakan Kajian Fikih Perempuan dengan tema “Bersih dan Suci dengan Thaharah” yang disiarkan secara live…
PerempuanWawasan

Fikih Nifas Perempuan dalam Perspektif Islam Berkemajuan

Bagi perempuan terdapat tiga jenis darah yang keluar dari farji di antaranya haid, nifas, dan juga istihadhah. Berdasarkan pengertiannya, haid merupakan proses…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *