Oleh: Izza Rohman*
Ramadan hampir selalu menjadi bulan yang menyuburkan kesadaran dan aksi kedermawanan di tengah umat. Perolehan infak atau sedekah, dan zakat meningkat
berlipat-lipat selama bulan Ramadan. Banyak orang tidak mau ketinggalan untuk menunaikan zakat fitri, zakat mal, infak Ramadan, infak masjid, santunan, donasi bencana, dan sebagainya, di sepanjang bulan Ramadan.
Pertanyaannya, apa buah dari berbagai pelaksanaan ibadah maliyah di bulan Ramadan ini? Apa bekasnya pada hati atau kesadaran kita, serta pada kehidupan bersama di tengah masyarakat? Apa pelajaran dari beragam ibadah harta selepas Ramadan itu? Pada momen Idul Fitri, amatlah penting merefleksikan pertanyaan ini.
Pertama, mari melihat petunjuk tentang apa yang semestinya menjadi kesadaran spiritual kita di balik kebaikan yang perlu dan penting kita lakukan dengan harta kita – yang biasanya lebih giat kita lakukan selama Ramadan. Dalam al-Quran, beberapa kali ibadah infak dihubungkan secara erat dengan kematian. Salah satunya adalah firman Allah berikut:
وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (al-Munafiqun: 10).
Dalam al-Quran sendiri, ibadah-ibadah yang lain pada umumnya tidak dihubungkan perintahnya dengan kematian. Ini memberikan pesan bahwa kedermawanan adalah kebaikan penting yang menjadi wujud kesyukuran atas karunia kehidupan di dunia. Saat hidup di dunia adalah kesempatan untuk membelanjakan harta di jalan kebaikan. Menumpuk-numpuknya saja akan membuahkan penyesalan, yakni ketika harta yang telah ditumpuk tidak sempat kita konversi menjadi amal saleh karena tibanya ajal kita.
Sikap menimbun atau menahan harta menandakan kelalaian akan adanya kematian. Selain itu, perbuatan tersebut juga menandakan kurangnya keimanan atas pembalasan amal manusia pada hari akhir. Lebih jauh, sifat kikir dan terobsesi dengan pengumpulan harta adalah juga bentuk kelalaian dari mengingat Allah, yang dilarang oleh al-Qur’an.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Munafiqun: 9).
Dengan demikian, kedermawanan melalui ibadah maliyah hakikatnya adalah ekspresi dari keteringatan kita kepada Allah, keimanan kita kepada adanya hari akhir saat semua amal perbuatan dibalas oleh Allah, serta kesadaran akan kefanaan dunia dan terbatasnya waktu hidup kita. Seusai Ramadan, menjadi tidak wajar bila
kemudian kita (kembali) dibuat terlena oleh harta, berbanyak-banyak dalam urusan kekayaan materi (alhakumuttakatsur), dan mengira harta menjadi
pengekal hidup (yahsabu anna malahu akhladah).
Baca Juga: Program Pesantren Ramadan Lansia ‘Aisyiyah Kaltim Sukses Digelar
Ibadah maliyah sejatinya mengikis kecintaan kita kepada harta, sehingga kita dimotivasi untuk memberikan harta yang kita senangi. Kebajikan di balik ibadah maliyah tak akan tergapai sampai kita dapat menginfakkan apa yang kita cintai (lan tanalul-birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun). Apa yang kita berikan sebenarnya
adalah pemberian Allah, sehingga memberikan sebagian pemberian Allah adalah bukti ketidakrisauan dalam urusan rezeki. Selain itu, buah dari kesadaran bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki (khairur-raziqin), selain dari keimanan pada balasan atau ganti yang Allah akan berikan (lihat Saba’: 39).
Dengan demikian, selepas Ramadan, tidaklah patut bagi kita untuk kembali mencintai harta secara berlebihan, mengambil yang baik dan menyisakan yang buruk bagi orang lain, serta merisaukan urusan rezeki sehingga terus menyita waktu, pikiran, dan tenaga untuk masalah penghidupan.
Idealnya, kegemaran berinfak atau kedermawanan kita pada bulan Ramadan dapat mengubah pola pikir kita tentang untung dan rugi. Infak di jalan Allah adalah termasuk “perniagaan” yang tak akan membawa kerugian (tijaratan lan tabur) serta menyelamatkan dari azab yang pedih (tunjikum min ‘adzabin alim). Di pihak lain, transaksi bisnis biasa memungkinkan adanya kerugian (baik materi ataupun non-materi).
Ibadah infak pada hakikatnya juga untuk melatih keikhlasan, sehingga dianjurkan untuk dilakukan secara diam-diam ataupun terang-terangan (sirran wa ‘alaniyah). Saat berinfak diam-diam, kita dapat menjauhkan diri dari hasrat pada pujian, kedudukan, dan ketenaran. Saat berinfak terangterangan, kita dapat menjauhkan diri
dari ujub atau ketinggian hati.
Ibadah infak juga melatih keikhlasan saat kita gemar melakukannya, baik siang maupun malam, saat lapang maupun sempit, kala mudah maupun sulit, ketika sehat maupun sakit, dan selagi ringan maupun berat (fis-sarra’ wadh-dharra’). Oleh karena itu, seusai Ramadan, tidaklah juga pantas jika kita kembali pada obsesi dan ambisi menggapai popularitas yang jauh dari rasa ikhlas.
Selain itu, ibadah dengan menginfakkan harta, baik yang wajib ataupun sunnah, dapat pula berangkat dari kesadaran akan perlunya menghapus kesalahan. Ada banyak kekeliruan yang kita lakukan dalam hidup yang merugikan diri sendiri atau bahkan juga orang lain. Untuk menghilangkannya, kita memerlukan kebaikan. Sungguh kebaikan (hasanat) akan menghilangkan keburukan (sayyi’at).
Dalam hadis dari sahabat, Mu’adz bin Jabal, disebutkan, sedekah memadamkan kesalahan seperti air memadamkan api (hasan menurut Ibn Hajar dan sahih menurut al-Albani). Oleh karena itu, seusai Ramadan, tidaklah pantas untuk kembali memperbanyak kesalahan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Tidak pula tepat untuk menghentikan berderma karena menganggap semua kesalahan sudah tergantikan oleh kebaikan kita.
Secara spiritual, ibadah infak di jalan Allah juga merupakan buah keimanan pada keberlimpahan karuniaNya, dan kesadaran akan keberlipatan manfaat dari infak tersebut. Ibarat satu biji, infak dapat tumbuh menjadi tujuh tangkai dengan seratus biji lagi di setiap tangkainya (al-Baqarah: 261). Selepas Ramadan, tidaklah pantas untuk (kembali) meragukan keberkahan dari infak atau sedekah kita.
Jama’ah rahimakumullah.
Kedua, mari melihat petunjuk tentang apa yang semestinya menjadi kesadaran sosial kita di balik kebaikan melalui harta, amal yang biasanya lebih intens kita lakukan pada saat Ramadan. Ibadah harta adalah untuk melatih kepekaan atau kepedulian kita kepada orang-orang dengan kondisi lebih lemah di sekitar kita. Secara normatif, ini misalnya tampak dari firman Allah:
لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًاۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌࣖ
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273).
Secara sosial, orang beriman dilatih untuk menyalurkan hak bagi orang-orang yang tak berdaya, yang Allah titipkan pada harta mereka. Dalam harta kita, ada hak bagi mereka yang meminta ataupun yang tidak meminta (haqqun lis-sa’ili wal-mahrum). Oleh karena itu, sehabis Ramadan, tidaklah pantas untuk kita (kembali) menahan hak orang miskin, apalagi merampasnya. Ibadah zakat, infak, atau sedekah sepatutnya menjadi wujud cinta kita kepada sesama, “filantropi” dalam pengertian asalnya.
Baca Juga: Sivitas Akademika UMY Serentak Tuntut Pengesahan RUU TNI
Dalam mewujudkan kepedulian, orang beriman diharapkan untuk sama-sama memotivasi dan mendorong kedermawanan serta perhatian kepada kebutuhan orang-orang yang lemah. Ini seperti isyarat dalam ayat wa la yahudhdu ‘ala tha‘amil-miskin (tidak mau mengajak untuk memenuhi kebutuhan pangan orang miskin). Itu
artinya, kegiatan berzakat, berinfak atau bersedekah, semestinya dilakukan secara kolektif dan terorganisasi, untuk menghadirkan manfaat yang lebih luas, tepat sasaran, dan maksimal. Orang beriman sebenarnya dididik untuk mewujudkan kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dengan membiasakan infak, kapan saja, dan bagaimana saja. Allah berfirman:
اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat balasan di sisi Tuhannya; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 274).
Balasan dari sisi Tuhan pada ayat di atas merepresentasikan kesejahteraan. Tidak adanya kekhawatiran menunjukkan kedamaian. Adapun tiadanya kesedihan hati mencerminkan kebahagiaan. Oleh karenanya, setelah Ramadan, kegemaran berinfak tidak semestinya menurun. Pasalnya, penurunan kuantitas dan kualitas infak dapat berakibat menurunnya kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan, yang manusia sama-sama perjuangkan.
Idul Fitri patutlah untuk dimaknai sebagai momentum untuk terus memperkuat implementasi nilai-nilai filantropi, sebagaimana telah banyak diajarkan dalam Islam. Keimanan yang kuat, keikhlasan, ketidakbergantungan kepada kekayaan, kepekaan sosial, kecintaan kepada sesama, kepedulian bersama, dan perjuangan menuju kesejahteraan, kedamaian, serta kebahagiaan merupakan nilai-nilai yang mesti kita miliki. Semua itu hendaknya tidaklah berkurang selepas Ramadan, bahkan justru semakin meningkat. Wallahu a‘lam.
*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka
5 Comments