Oleh: Lailatis Syarifah*
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata’ala, Tuhan semesta alam. Dialah Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam raya. Dialah satu-satunya Zat yang wajib disembah dan tiada sekutu bagi-Nya. Dia pula yang telah memberikan anugerah kepada kita petunjuk hidup yang lurus, agama yang benar, dan risalah yang adil lagi sempurna, Islam.
Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada sayyid al-anbiya wa al-mursalin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikut beliau yang berjuang tak kenal lelah untuk menerapkan dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh pelosok dunia hingga akhir zaman.
Marilah pada pagi ini, di tengah suasana penuh kegembiraan, kita bermuhasabah untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, seraya bersyukur kepada-Nya bahwa sampai saat ini, kita masih diberi kesehatan dan kesempatan sehingga bisa menunaikan ibadah salat Idul Fitri yang diberkati.
Suara takbir, tahmid, dan tahlil menggema ke angkasa sejak terbenam matahari kemarin. Kita menyaksikan betapa indahnya kebersamaan kaum muslimin mendatangi salat Id, dan betapa kuatnya pertautan hati mereka dalam rukuk dan sujud di hadapan Sang Khalik. Prosesi ini bernilai sakral dan berimplikasi nyata dalam membangun kekuatan umat Islam.
Allahu Akbar (3x), walillahilhamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Umat Islam sejagat sedang merayakan Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1446 Hijriah. Hari ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Pasalnya, hari ini adalah hari yang membahagiakan, terutama di mata manusia yang mampu dan mau mensyukuri nikmat-nikmat Allah subhanahu wata’ala.
Dalam konsep Islam, Idulfitri merupakan akhir dari proses panjang berpuasa selama satu bulan, sekaligus juga merupakan awal hidup baru. Pada hari itu, umat Islam diwajibkan makan dan minum, bahkan diharamkan berpuasa.
Meskipun demikian, bukan berarti hakikat puasa, yakni menahan diri, yang selama ini diterapkan dalam berpuasa berakhir. Justru, kemampuan untuk menahan diri itu harus terus diasah dan ditingkatkan sampai Ramadan berikutnya. Begitulah konsep ideal berpuasa.
Idulfitri pun telah tiba dan kitapun lahir baru, kembali kepada fitrah, kepada hakikat kelahiran kita yang tak berdosa, tanpa noda, tak ada syirik dan benci, tidak tamak, dan tak terpengaruh glamornya dunia. Analoginya, kita lahir kembali bagaikan bayi yang suci di mata Allah subhanahu wata’ala.
Hari raya tidak akan menjadi hari yang berbahagia bagi mereka yang mengekalkan sifat – sifat keji dan buruk seperti khianat, menipu, sombong, dan terlibat dalam gejala-gejala sosial yang bisa memusnahkan diri, masyarakat, dan negara.
Allahu Akbar (3x), walillahilhamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Baca Juga: Idulfitri dan Implementasi Nilai Filantropi
Pada hakikatnya, Allah menciptakan manusia dari dua unsur yang berbeda, yaitu unsur tanah dan ruh sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Hijr ayat 28-31 berikut ini.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ٢٨فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ ٢٩فَسَجَدَ الْمَلٰۤىِٕكَةُ كُلُّهُمْ اَجْمَعُوْنَۙ ٣٠اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰىٓ اَنْ يَّكُوْنَ مَعَ السّٰجِدِيْنَ ٣١
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. Kecuali iblis, ia enggan ikut bersamasama (malaikat) yang itu.”
Ketika Adam tercipta dari tanah, Allah belum perintahkan kepada para Malaikat untuk “sujud”, dalam konteks ini berarti hormat dan tunduk kepadanya. Hal ini disebabkan pada saat itu Adam hanya segumpal tanah saja. Namun, ketika Allah tiupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam, para malaikat dan seluruh makhluk Allah langsung tunduk dan sujud kepadanya.
Jadi pada dasarnya, fitrah kita adalah suci, bersih, dan mulia. Bagaimana tidak? Allah sendiri yang langsung meniupkan ruh kepada kita. Dengan demikian, benarlah apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Setiap jiwa itu terlahir dalam keadaan fitrah; suci. (H.R. Bukhari)
Untuk menjaga fitrah itulah, Allah berikan tuntunan, bimbingan, dan ajaran yang terangkum dalam agama kita yang lurus ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Q.S. Rum: 30:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ٣٠
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Nah, sekarang pertanyaannya, unsur manakah yang mendominasi dalam diri kita ini, unsur ruh dari Allah atau unsur ketanahan? Pasalnya, dominasi inilah yang nantinya akan menentukan perjalanan hidup kita, menjadi pemenang atau pecundang di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Allah sudah mengingatkan kepada kita semua:
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُۗ
Tidaklah sama antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang tidak baik. (Qs. Fusshilat: 34)
لَا يَسْتَوِيْٓ اَصْحٰبُ النَّارِ وَاَصْحٰبُ الْجَنَّةِۗ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ ٢٠
Tidaklah sama antara penghuni surga dengan penghuni neraka. Ketahuilah, penghuni surga adalah kumpulan para pemenang (orang-orang yang menang). (Qs. al-Hasyr: 20)
Allah juga sudah memberikan petunjuk dalam diri setiap manusia untuk memilih mana yang terbaik bagi dirinya sebagaimana tersebut dalam Qs. asy-Syams: 8 berikut ini:
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ٨
Maka Allah ilhamkan pada dirinya mana yang fujur (dosa) dan mana yang takwa (saleh).
Manusia yang mampu mengedepankan unsur ruhiyah akan menjelma menjadi manusia yang mulia, sebab dia sadar bahwa dia harus menjaga kesucian ruh yang ditiupkan Allah kepadanya.
Dia berusaha sekuat tenaga menjalankan ajaran, tuntunan, dan bimbingan Allah melalui agama-Nya tersebut demi terjaganya ruh yang awalnya suci di dalam dirinya. Dialah pemenang itu karena mampu menaklukkan musuhnya yang nyata dan abadi, yaitu bisikan, gangguan, dan godaan setan. Allah menegaskan:
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ ٩
Sungguh beruntunglah;bahagialah orang yang mampu mensucikan jiwanya (ruhnya). (Qs. asy-Syams: 9)
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَخْشَ اللّٰهَ وَيَتَّقْهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ ٥٢
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q.S. an-Nur: 52)
Di sisi lain, manusia yang mengedepankan unsur ketanahannya maka akan menjadi manusia yang hina di dunia dan di akhirat. Pasalnya, dia tidak mampu menjaga kesucian jiwa atau ruh yang telah ditiupkan Allah kepadanya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Qs. asy-Syams ayat 10 berikut.
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ ١٠
Sungguh menyesal, orang yang telah mengotori jiwa/ruhnya.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan Ramadan sebagai bulan instrospeksi, bulan perbaikan, bulan pembersihan diri dari segala noda dosa dan kesalahan. Hendaknya kita menyadari bahwa setiap dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan itu seperti noda hitam yang menetes di jiwa. Semakin banyak kemaksiatan yang kita lakukan, semakin banyak pula noda hitam yang menggelapkan jiwa kita: Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Hudzaifah mengatakan: Sesungguhnya, ketika seseorang melakukan perbuatan dosa maka akan menetes noda hitam pada hatinya. Maka, setiap kali ia melakukan perbuatan dosa, noda hitam itu akan menetes kembali di hatinya. Begitu seterusnya.
Ali bin Abi Thalib menambahkan: Iman itu bagaikan tinta putih di hati seseorang. Setiap bertambah keimanannya maka akan bertambah tetesan tinta putih itu sehingga menyelimuti seluruh hatinya. Sedangkan kemunafikan (perbuatan dosa) laksana tetesan noda hitam di dalam hati. Setiap kali bertambah kemunafikan (perbuatan dosa)-nya maka akan bertambah tetesan noda hitamnya sehingga kehitaman itu akan menyelimuti seluruh hatinya.
Allahu Akbar (3x), walillahilhamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Baca Juga: Merawat Api Keimanan Pasca Ramadan
Allah berikan kita kesempatan di Ramadan ini untuk membersihkan noda-noda itu. Allah berikan ruang yang sangat luas untuk mensucikan jiwa kita. Berikut adalah beberapa indikator dari anugerah tersebut.
Pertama, puasa adalah tameng yang akan melindungi manusia dari maksiat di dunia dan api neraka di akhirat. Mengapa? Hal ini dikarenakan setan hidup dalam pembuluh darah manusia. Jika manusia berpuasa, pembuluh darahnya akan menyempit sehingga setan terjepit dan godaannya berkurang. Dengan begitu, manusia akan banyak melakukan ketaatan dan menghindari maksiat. Jika dia menghindari maksiat maka ia akan selamat dari api neraka. Beginilah cara puasa menjadi pelindung bagi orang yang melaksanakannya dengan benar.
Kedua, setan dibelenggu. Artinya, Allah subhanahu wata’ala sudah membantu kita dengan mengekang sang pengganggu, penggoda, dan pembisik kemaksiatan sehingga kita bisa fokus dalam usaha pembersihan jiwa.
Ketiga, pintu surga dibuka seluas-luasnya sedangkan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Hadis ini bisa dipahami apa adanya, yakni pintu surga memang betul-betul dibuka dan pintu neraka ditutup. Dapat pula kita pahami bahwa peluang masuk surga begitu besar karena pada bulan ini, Allah subhanahu wata’ala mensyariatkan banyak ibadah yang dapat membawa seseorang ke surga. Sebaliknya, peluang masuk ke neraka kecil karena peluang bermaksiat juga berkurang.
Dengan demikian, Allah ingin agar noda-noda hitam yang menempel pada jiwa manusia itu dicuci, disikat habis, dan digosok dengan amal-amal saleh. Allah ingin agar ruh yang Ia tiupkan pada diri kita tersebut dihiasi dengan kebaikan, amal saleh, akhlak mulia, ketaatan, dan ketakwaan.
Inilah hakikat dari Idulfitri, kembali kepada fitrah. Sekeluarnya dari madrasah syahriyah di bulan suci ini, diharapkan kita bisa mengembalikan fitrah kita yang asli yang berasal dari Allah dengan mensucikan dan membersihkan ruh tersebut.
Allah berikan ruh pada diri kita dalam keadaan suci dan bersih. Sudah barang tentu, Allah ingin ruh kita kembali dalam keadaan suci dan bersih. Hal ini sesuai dengan firman-Nya pada Qs. al-Fajr: 27-30.
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ ٢٨فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْࣖ ٣٠
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Dengan menjadi fitri kembali, Syawal yang berarti peningkatan benar-benar akan menjadi bulan peningkatan kualitas diri menjadi lebih baik. Setelah Ramadan ini, kita akan dimintai bukti dari keseriusan kita dalam menjalani ibadah puasa Ramadan.
Semoga puasa, ibadah, dan amal saleh kita diterima Allah subhanahu wata’ala dan semoga kita benar-benar keluar dari Ramadan ini dalam keadaan fitri serta istiqomah dalam kesucian itu. Amin Ya Rabbal ‘alamin.
*Pengajar di UIN Sunan Kalijaga, Majelis Pembinaan Kader PP ‘Aisyiyah
9 Comments