Sains dan Tekno

Ikhtiar Semesta Merawat Lingkungan

Oleh: Alfian Dj

Kesadaran negara-negara di dunia mengenai pentingnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan terus bertumbuh sejak Konferensi Stockholm 1972 dengan cetusan Deklarasi Stockholm-nya. Konferensi itu merupakan momentum awal dialog antarnegara industri dan berkembang untuk membahas pertumbuhan ekonomi, pengendalian pencemaran, serta kelangsungan hidup manusia di seluruh dunia.

Konsensus Stockholm telah membawa Indonesia untuk lebih serius memikirkan pengelolaan lingkungan. Ini ditandai secara berkesinambungan dengan lahirnya berbagai regulasi. Puncaknya ditetapkannya Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Perlindungan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tersebut memuat banyak hal tentang pengelolaan lingkungan seperti yang terdapat pada Pasal 16: “Setiap rencana yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.” Kemudian, Pasal 17 memuat ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh.

Kepedulian negara terhadap lingkungan telah disusun dengan penuh kesadaran akan pentingnya pembangunan berwawasan lingkungan. Ini ditandai dengan adanya ketentuan yang mengharuskan adanya kelengkapan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam setiap rencana yang mempunyai dampak lingkungan. Dalam hal ini Amdal menjadi alat kontrol pembangunan dan kelestarian lingkungan.

Dukungan normatif undang-undang terhadap konsep pembangunan berwawasan lingkungan selanjutnya semakin kuat dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lebih mendasar lagi, konstitusi kita, khususnya Pasal 33 ayat 3 dan 4 UndangUndang Dasar 1945 telah mengatur landasan perekonomian dan pembangunan Indonesia yang menyatakan bahwa (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar besar untuk kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Akan tetapi, sayangnya, kekukuhan itu menjadi berkurang dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Undang-undang ini, kemudian populer sebagai UU Cipta Kerja, telah melakukan perubahan terkait beberapa ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satunya ialah mengubah regulasi izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan.

Lebih lanjut, UU No. 6 Tahun 2023 memiliki dua problem serius. Yang pertama dari segi substansi, sedangkan yang kedua dari segi metodologi. Keduanya dinilai sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip partisipasi publik secara adil dan transparan. Aturan terkait tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dalam undangundang ini merupakan duplikasi dari pasal-pasal UU No. 11 Tahun 2020 yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Aturan itu dinilai mengandung semangat mengobral sumber daya pesisir dan laut kepada investor dan meminggirkan masyarakat nelayan.

Selanjutnya, UU No. 6 Tahun 2023 dikhawatirkan akan mengancam masa depan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil karena membolehkan perubahan zona inti konservasi laut menjadi kawasan eksploitasi, khususnya untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN). Lahirnya UU No. 6 tahun 2023 juga telah menghilangkan beberapa sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang sedianya bertujuan untuk melindungi hak-hak lingkungan sekaligus memberikan rasa takut dan efek jera kepada pelaku.

Pergeseran politik hukum dalam UU No. 6 Tahun 2023 dapat dilihat dari kemungkinan hilangnya sanksi pidana terhadap orang yang mengelola limbah B3 tanpa izin. Lalu kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin tersebut, menurut undang-undang ini disediakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ini berbeda dari undang-undang sebelumnya yang mengatur bahwa setiap orang yang mengelola limbah B3 tanpa izin diancam dengan sanksi pidana tanpa harus melihat apakah tindakan itu mengakibatkan timbulnya korban dan kerusakan lingkungan atau tidak.

Perubahan lain juga dapat dilihat pada pasal yang mengatur tentang sanksi terkait penyusunan Amdal yang tidak dilakukan oleh pihak yang memiliki sertifikat kompetensi Amdal. Dalam undang-undang sebelumnya, sanksi yang diberikan untuk pelanggaran ini berupa sanksi pidana, sedangkan dalam undang-undang baru, ancaman sanksinya hanyalah sanksi administrasi.

Perlu diingat bahwa lahirnya UU No. 6 Tahun 2023 diawali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang jelas-jelas mengabaikan keterbukaan informasi dengan dalih kegentingan yang memaksa. Terhadap masalah ini, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menolak permohonan uji formil UU No. 6 Tahun 2023. Pada hakikatnya UU No. 6 Tahun 2023 sama saja dengan UU No. 11 Tahun 2020 yang telah diputuskan sebagai inkonstitusional bersyarat oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada tahun 2021.

Muhammadiyah dan Hak Lingkungan

Kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan melekat pada setiap individu. Lingkungan hidup adalah bagian dari alam yang berhak untuk dijaga keseimbangan ekosistemnya agar terus lestari dan bertahan. Allah telah berfirman dalam Q.s. al-Araf pada ayat 85, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul“

Lingkungan hidup adalah bagian dari alam yang berhak untuk dijaga keseimbangan ekosistemnya agar terus lestari dan bertahan. “kamu orang-orang yang beriman.” Sesuai dengan pesan Al-Qur’an tersebut, Muhammadiyah berkomitmen penuh untuk merumuskan konsep menjaga hubungan dengan lingkungan hidup. Muktamar Muhammadiyah yang ke-40 di Surabaya pada tahun 1978 mengamanahkan tentang penyusunan Risalah Islamiyah pada Majelis Tarjih.

Risalah Islamiyah dalam pandangan Muhammadiyah merupakan suatu kesatuan utuh meliputi akhlak kepada Allah, diri pribadi, keluarga, masyarakat, serta lingkungan. Terkait dengan akhlak terhadap lingkungan ini, Muhammadiyah berpandangan bahwa setiap individu harus mengejawantahkan nilai akhlak ini dengan tidak merusak bumi, tanaman, binatang, tidak mencemari lingkungan, serta menjaga kebersihan, kesehatan, dan keindahannya.

Selanjutnya, dalam Muktamar ke-44 di Jakarta, Muhammadiyah kembali menggagas Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan perilaku uswah hasanah teladan yang baik dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbangsa dan bernegara sampai dengan melestarikan lingkungan.

Muhammadiyah menyatakan bahwa lingkungan hidup dengan segala isi yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan dan anugerah Allah yang harus diolah serta dimakmurkan dan dipelihara serta tidak boleh dirusak. Setiap Muslim terlebih warga Muhammadiyah berkewajiban bersama melakukan pelestarian sumber daya alam dan ekosistem di dalamnya sebagai penyangga kelangsungan hidup. Menyangkut pembangunan yang berwawasan lingkungan PHIWM juga menegaskan pentingnya melakukan tindakan amar makruf dalam menghadapi kezaliman, keserakahan yang dapat memengaruhi dan menyebabkan kerusakan lingkungan serta tereksploitasinya sumber daya alam tanpa kendali sehingga bermuara pada kehancuran kerusakan.

Muhammadiyah menegaskan perlunya kerja advokasi serta membangun relasi dengan berbagai pihak, baik perorangan maupun kolektif yang semua itu didayagunakan untuk terciptanya kelestarian dan keselamatan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab manusia yang merupakan khalifah di muka bumi.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial Islam yang berkemajuan terus melahirkan buah pikiran tajdid yang berpihak pada lingkungan. Muhammadiyah telah menghadirkan fikih air, fikih kebencanaan, dan fikih agraria.

Lahirnya fikih agraria sebagai bagian dari bacaan Muhammadiyah atas realitas yang terjadi, meliputi adanya permasalahan swasembada pangan, kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan atau konversi lahan. Fikih agraria memiliki enam nilai dasar yang meliputi Tauhid, al-Akhlak al-Karimah, Kemaslahatan, Keadilan, Kemanusiaan, Musyawarah.

Muhammadiyah memiliki perhatian khusus terhadap gerakan lingkungan hidup dengan berbagai isu ekosistem yang menjadi persoalan besar di ranah global, salah satunya ialah perubahan iklim. Menjelang Milad Muhammadiyah ke-111, Muhammadiyah bersama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan didukung oleh Yayasan Visi Indonesia Raya Emisi Nol Bersih (ViriyaENB) dan Universitas Ahmad Dahlan telah melangsungkan kegiatan Global Forum for Climate Movement dengan menghadirkan 260 orang peserta yang berasal dari perwakilan 13 negara yang memiliki konsen pada perubahan iklim global yang semakin nyata.

Adapun rekomendasi dari forum tersebut adalah seruan untuk membangun budaya hijau, inovasi, kerja sama membantu upaya melestarikan lingkungan serta menangani perubahan iklim agar tidak hanya menjadi wacana akademik dan retorika politik semata. Tetapi bagian dari ikhtiar untuk menyelamatkan semesta, serta
motivasi untuk melakukan aksi membangun gerakan penyelamatan bumi dari kerusakan.

Lingkungan Adalah Kita

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai aturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo terkait Perpres No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional lebih condong pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Menurut Walhi regulasi tersebut tidak menunjukkan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan berpotensi merugikan masyarakat luas, banyak kebijakan hadir tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidup.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi sepanjang delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, di antara-nya ada konflik Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang menjadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur.

Selanjutnya, ada masalah mengenai pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo, konflik agraria di Rempang terkait pembangunan Rempang Eco-City yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap masa depan Pulau Rempang, konflik antara aparat dan warga di Desa Bangkal hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang dalam hal ini berpotensi mengancam hak-hak asasi manusia karena melibatkan aparat yang harus berhadapan secara langsung dengan masyarakat.

Manusia memerlukan bumi yang alamnya lestari begitu juga sebaliknya bumi memerlukan manusia yang mampu merawat dan menyelamatkan kehidupannya. Namun, manusia berkecenderungan untuk bersikap antroposentris, menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat kehidupan, sehingga perilakunya mendominasi
dan menguasai alam. Mereka mengeksploitasi alam dengan segala kerakusan berlandaskan ambisi politik dan ekonominya. Ketika semua tindakan ini menjadi tidak terkendali, jangan salahkan alam bila kemudian alam menjadi tidak bersahabat dengan manusia.

Oleh karena itu, kesadaran menjaga lingkungan perlu terus diperkuat dan diperluas. Usaha ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kolektif, tetapi juga tanggung jawab individu. Di samping itu, usaha ini juga memerlukan regulasi serta ketegasan dari para pemimpin yang harus menyandarkan setiap kebijakannya pada nilai-nilai dasar konstitusi.

Harmoni alam akan selalu kita dengar dendangnya bila kita tetap bersinergi de-ngannya, tetapi jangan salahkan alam bila kehadiran kita selalu mengusik kedamaiannya. Sang Pemilik Jagat akan selalu menyediakan dan menumbuhkan apa yang kita inginkan dari alam, tetapi semua itu akan hilang bila kita terus membuat kerusakan di atasnya.

Negara harus hadir dan mendengarkan apa yang menjadi keluhan masyarakat, membangun tanpa merusak, bahkan membawa kemaslahatan ialah prinsip utama dalam Maqashid Syariah. “Menjaga alam semesta juga merupakan bagian dari tujuan syariat Islam!”

Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/xEAGxmsaSMb5Rf2S7

* Staf Pengajar Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta Sekretaris Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *