Sosial BudayaWawasan

Ikonodule dan Ikonoklasme

Oleh: Hajriyanto Y Thohari

Demografi agama di Lebanon, mungkin, dianggap tidak penting, atau mungkin sebaliknya: disepakati sebagai aspek yang sensitif untuk diungkapkan secara numerikal. Tak heran jika di Lebanon tidak ada informasi resmi berapa sebenarnya jumlah penganut masing-masing agama dan sekte secara numerikal dan berapa persentase masing-masing terhadap yang lainnya. Yang bisa terbaca adalah bahwa suasana Lebanon itu sangat kental dengan kekristenan (Christianity). Kecuali beberapa kota, seperti Tripoli, Balbeek, Sidon, atau Nabatiyeh, secara umum Lebanon lebih mengesankan sebagai negara dengan penduduk mayoritas Kristen daripada Islam. Apalagi di ibukota Beirut yang menjadi pintu gerbang Lebanon.

Fenomena yang sifatnya kesan itu mungkin saja tidak terkait dengan jumlah, melainkan lebih disebabkan karena agama Kristen adalah agama yang sangat menonjolkan simbol, patung atau ikon (iconodule). Sebagai agama yang bercorak dan berwatak ikonodul maka di kebanyakan kawasan di Lebanon ada banyak sekali patung Yesus, patung Perawan Maria, Santo Syarbil (1828-1902), dan monumen-monumen lainnya yang nota bene dibangun tinggi-tinggi dan menonjol. Belum lagi banyaknya jumlah gereja yang rata-rata tinggi, megah, dan indah lengkap dengan menara, patung, dan aksesori gerejawi lainnya. Di halaman kebanyakan rumah, bahkan ruko, rukan, atau apartemen di Lebanon selalu ada patung-patung Yesus atau santo-santo dalam ukuran kecil.

Ada patung Perawan Maria yang tinggi sekali di puncak bukit Harissa, sebelah barat kota Beirut. Di bukit Harissa yang juga menjadi obyek wisata itu ada dua Kaple (gereja kecil) untuk kebaktian dan doa. Di Kapel, pada lantai dasar tugu Perawan Maria itu, ada ruang doa dan sembahyang khusus yang dijadwalkan setiap jam. Jadwal kebaktian dan doa tertulis di samping pintu masuk lengkap dengan brosur teks-teks doa dalam Bahasa Arab. Juga ada Kanisah l-Ghufran, artinya: gereja pengampunan.

Baca Juga: Perempuan-Perempuan Lebanon

Sebagai tempat tujuan wisata, tentu saja ada beberapa restoran dan toko-toko cukup besar yang menjual ikon-ikon, asesori, dan kitab-kitab agama Kristen. Di bukit Harisa itu pula, ada tertulis berisi pesan Paus ketika berkunjung ke sana dalam tiga bahasa: Lubnan aktsar min watahan, innahu risalah (Bahasa Arab); Perancis Le Liban ast plus qu’un parjs c’east un message (Bahasa Perancis); Lebanon is more than a country, it is a massage (Bahasa Inggris). Maksudnya pesan tentang pluralisme kepada dunia.

Kebangkitan Kristen?

Kekristenan cukup dominan. Apalagi akhir-akhir ini ada fenomena kebangkitan agama Kristen di seantero Arab Levant bukan hanya di Lebanon, melainkan juga di Suriah dan Palestina. Bahkan di Palestina, para penganut Kristen cenderung semakin aktif dan artikulatif secara politik.

Para intelektual dan pemimpin Kristen Palestina banyak yang tampil ke depan dengan sangat kritis, keras, dan berani dalam mengkritik Israel dan Amerika. Lihat Alizabeth S. Marteijn, The Revival of Palestinian Christianity, Development in Palestinian Theology, Brill, Exchane 49 (2020). Lihat juga buku yang ditulis oleh Mitri Raheb yang berjudul I am a Palestinian Christian (1995) yang mengemukakan semakin artikulatifnya umat Kristen Palestina dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.

Gereja-gereja semakin semarak, dan organisasi-organisasi Kristen semakin menguat dan menonjol dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi banyaknya media-media cetak, elektronik, dan online yang berafiliasi dengan kelembagaan Kristen yang juga kuat dan berpengaruh.

Kembali ke Lebanon. Suasana kekristenan itu semakin terasa lagi dengan kebijakan hari libur kerja di Lebanon pada hari Ahad alias Minggu. Lebanon adalah negara Arab yang sangat unik di antara –dan dibandingkan dengan- 22 negara Arab lainnya. Keunikan itu dapat diungkapkan dalam satu kalimat pendek: Lebanon adalah negara Arab yang libur di hari Ahad. Pasalnya semua negara Arab yang terdiri dari 22 negara itu semuanya libur di hari Jumat. Frase “Libur di hari Ahad (Minggu)” ini menjelaskan banyak hal baik sosial dan politik maupun kebudayaan.

Kesan kekristenan juga menonjol karena Presiden Lebanon menurut konstitusi harus dari Kristen Maronis. Demikianlah kesepakatan bangsa atau gentlemen agreement yang dikukuhkan secara konstitusional yang berlaku sampai sekarang. Di satu-satunya negara Arab yang libur di hari Ahad ini, jabatan-jabatan penting dan strategis kenegaraan dibagi secara proporsional berdasarkan kepenganutan sekte-sekte keagamaan (berdasarkan sensus penduduk tahun 1932). Sebagai contoh, Presiden Lebanon menjadi haknya sekte Kristen Maronis, Perdana Menteri jatahnya sekte Muslim Sunni, dan ketua Parlemen harus dari sekte Muslim Syiah.

Selanjutnya, Panglima Lebanon Army Force (LAF) harus Kristen Maronis, sementara Kepala Staf LAF dari Druze. Adapun Kepala Kepolisian atau Internal Security Force (ISF) dari Muslim Syiah, dan seterusnya. Anggota kabinet dan parlemen dibagi  fifty-fifty (50%-50%)  antara sekte-sekte Muslim dan Kristen.

Belakangan, pembagian seperti itu merembet sampai ke universitas negeri, di mana pimpinan, profesor, dan mahasiswa program pascasarjana harus juga proporsional sesuai dengan jumlah sekte. Demikian juga dengan manajemen bank sentral. Bahkan bantuan sosial dari badan-badan internasional harus didistribusikan secara proporsional berdasarkan sekte.

Bagaimana dengan Islam?

Sebaliknya yang terjadi dengan Islam di Lebanon. Islam adalah agama ikonoklasme (iconoclastic), yakni agama yang melarang, bahkan anti patung. Islam, khususnya yang Sunni, sangatlah ikonoklastik. Di kalangan Syiah patung tampaknya juga terlarang, tetapi dalam bentuk gambar masih dapat ditemui di banyak tempat. Di Lebanon selatan yang mayoritas Syiah, banyak sekali foto-foto atau setidaknya gambar-gambar Ali Bin Abi Thalib dan Husein bin Ali dalam bentuk baliho-baliho atau poster di sepanjang dan perempatan jalan.

Sebagai agama ikonoklasme, kesan keberadaan Islam hanya diwakili dan ditimbulkan oleh masjid saja. Di Beirut jumlah masjid juga tidak banyak. Jumlah masjid di Beirut terbatas dan mengumpul di satu titik. Bahkan ada lima buah masjid di kawasan pusat kota Beirut yang jaraknya satu sama lain saling berdekatan hanya sekitar seratusan atau dua ratus meter saja. Kelima masjid tersebut adalah Masjid Al-Amin, Masjid Emir Mundzir, Masjid Al-Shaf, Masjid Umary, dan Masjid Abu Bakar.

Islam masih beruntung dan diuntungkan dengan keberadaan Masjid Al-Amien yang belum berusia lama karena baru dibangun dan diresmikan pada tahun 2005. Masjid Al-Amien adalah masjid terbesar di Beirut, bahkan di Lebanon. Keberadaan masjid ini sangat menolong suasana keislaman di Beirut. Masjid yang sangat megah dan indah serta berada di lokasi yang sangat strategis.

Sebelum dibangun, masjid ini hanyalah berupa sebuah Zawiyah (langgar) kecil. Pembangunan masjid ini sempat menjadi polemik hangat yang jejak-jejak digitalnya masih dapat dibaca sampai sekarang ini. Polemik tersebut berkisar pada perdebatan apakah Beirut perlu mempunyai masjid sebesar itu? Tetapi akhirnya warga ibukota sepakat dan menerima kehadiran masjid Al-Amien yang kebetulan juga berjejer dengan Gereja Kathedra Saint George: simbol koeksistensi damai dan toleransi.

Baca Juga: Tradisi Keilmuan Arab: Dulu dan Kini

Tetapi tetap saja suasana keislaman di negeri sedar (Cedar) ini tidak begitu terasa kelihatan. Suara azan yang di manapun selalu menjadi tanda keislaman hanya terdengar dari satu atau dua masjid yang kedengarannya datang dari kejauhan sana, dan itu dari masjid Syiah. Pasalnya, dalam adzan tersebut terdengar kalimat Wa asyhadu anna ‘Aliyyan waliyullah. Dan lagi-lagi itupun tidak terdengar di setiap waktu shalat. Dari masjid Sunni rasanya jarang terdengar suara azannya sampai di Baabda, tempat KBRI Beirut berada.

Mungkin untuk mengimbangi Kristen yang ikonodule itu, belakangan ini di jalan-jalan di kota-kota yang mayoritas muslim sunni, seperti di Baalbeck, Tripoli, Saidah, Arsal, dan lain-lainnya, mulai ada hiasan-hiasan dalam bentuk kaligrafi bertuliskan al-asma’u l-husna. Sementara di kota-kota Syiah banyak baliho-baliho para syahid, termasuk syahid Qasim Sulaimani yang barusan dibunuh di dekat bandara Baghdad oleh agen AS. Mungkin kaligrafi al-asma’u al-husna itu untuk mengimbangi Kristen yang ikonodule di Beirut dan provinsi-provinsi mayoritas Kristen lainnya.

Barangkali para budayawan Muslim ada baik-nya memikirkan bagaimana sebaiknya Islam yang berkarakter ikonoklastik itu tetap dapat memiliki syiar yang memadai. Memang syiar itu tidak hanya secara lahiriah (eksoterik), melainkan juga secara batiniah (esoterik). Tetapi yang lahiriah itu tetap saja ada nilai pentingnya. Untuk syiar Islam rasanya diperlukan kreatifitas budaya. Tentu tidak perlu perlu membuat patung para nabi dan sahabat yang katanya terlarang itu. Mungkin

Related posts
Sosial BudayaWawasan

Lebanon (2): Laboratorium Politik Internasional

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari Negara yang sering mengalami gejolak politik akibat konflik dan perang saudara ini juga berkali-kali berperang dengan Israel. Meski…
Sosial BudayaWawasan

Lebanon (1): Negeri Nan Indah Penuh Paradoks

Oleh: Hajriyanto Y. Thohari Seorang duta besar Indonesia di salah satu negara Arab Teluk yang secara politik sangat stabil dan secara ekonomi…
Sosial Budaya

Lebanon dan Krisis Berlapis Tiga (1)

Oleh : Hajriyanto Y. Thohari (Ketua PP Muhammadiyah, kini Dubes di Beirut) Saya tiba di Beirut tanggal 10 Maret 2019: Lebanon waktu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *