Finansial

Implementasi Akuntansi Pada Masjid dengan Fungsi Multidimensional

Oleh: Wahyu Dewi Hapsari

Beberapa dekade terakhir, peran masjid telah mengalami perkembangan signifikan. Masjid tidak lagi sekadar menjadi tempat ibadah ritual, tetapi telah berkembang menjadi pusat kegiatan multidimensional, mencakup bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Masjid modern menyediakan layanan pendidikan seperti madrasah, pelatihan keterampilan, serta kegiatan sosial seperti bantuan kemanusiaan dan pemberdayaan ekonomi umat. Fungsi yang semakin kompleks, pengelolaan masjid memerlukan penerapan prinsip akuntansi yang baik guna mendukung akuntabilitas, transparansi, dan pengelolaan keuangan yang efektif.

Urgensi Implementasi Akuntansi di Masjid

Masjid yang menjalankan fungsi multidimensional seringkali mengelola berbagai sumber dana, baik yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, maupun sumbangan sukarela. Tidak hanya itu, banyak masjid juga mengelola aset berupa properti, wakaf, atau bahkan unit usaha seperti koperasi atau minimarket syariah. Pengelolaan keuangan yang tidak transparan dapat memunculkan kecurigaan dari masyarakat, mengurangi kepercayaan, dan pada akhirnya memengaruhi kelangsungan operasional masjid.

Implementasi akuntansi di masjid bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan dana dan aset dilakukan secara bertanggung jawab. Hal ini mencakup pencatatan transaksi, penyusunan laporan keuangan, hingga pelaporan dana kepada masyarakat. Selain itu, penerapan sistem akuntansi juga penting untuk memenuhi prinsip syariah yang mengutamakan keadilan, amanah, dan transparansi.

Standar Akuntansi yang Relevan

Salah satu acuan yang dapat digunakan dalam implementasi akuntansi masjid adalah Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 335 tentang Penyajian Laporan Keuangan Entitas Berorientasi Nonlaba yang disahkan oleh Dewan Standar Akuntan Keuangan (DSAK). ISAK 335 dirancang untuk entitas non-profit yang tidak memiliki kewajiban akuntabilitas publik signifikan, seperti masjid. Standar ini mencakup panduan dalam mencatat pendapatan dari sumbangan, pengelolaan aset tetap, dan pelaporan arus kas.

Selain ISAK 335, masjid juga dapat merujuk pada Pedoman Akuntansi Wakaf yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mengelola aset wakaf secara profesional. Di mana wakaf merupakan penerimaan yang bukan termasuk pendapatan masjid, sehingga perlu dicatat secara terpisah dengan penerimaan masjid lainnya. Dengan menggunakan standar ini, pengelola masjid dapat menyusun laporan keuangan yang mencerminkan posisi keuangan secara akurat dan informatif.

Baca Juga: Merenungi Nasib Bangsa Palestina

Berdasarkan survey yang telah dilakukan pada beberapa masjid yang berada di Kota Yogyakarta, salah satunya yaitu masjid Al Furqon, Nitikan, diketahui bahwa masjid telah melakukan pencatatan keuangan secara sederhana. Pencatatan tersebut terbatas pada penerimaan dan pengeluaran yang terjadi secara rutin. Informasi yang terkumpul bahwa, takmir atau pengurus masjid belum mengetahui adanya standar penyusunan pencatatan keungan masjid. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi dari akademisi khususnya tentang standar pencatatan yang seharusnya dilakukan oleh masjid yang memiliki transaksi keuangan secara rutin.

Adapun langkah-langkah yang sekiranya perlu dilakukan untuk memulai implementasi akuntansi masjid diantaranya: 1) Pengelola masjid perlu memiliki pengetahuan dasar mengenai akuntansi. Pelatihan dan workshop terkait akuntansi masjid dapat diadakan untuk meningkatkan kapasitas SDM. 2) Masjid dapat memanfaatkan teknologi, seperti software akuntansi berbasis syariah, untuk memudahkan pencatatan transaksi keuangan secara sistematis. 3) Laporan keuangan masjid sebaiknya dipublikasikan secara berkala, misalnya melalui papan pengumuman atau situs web masjid. Langkah ini dapat membangun kepercayaan jamaah terhadap pengelolaan dana masjid. 4) Untuk meningkatkan akuntabilitas, masjid dapat menggandeng auditor independen guna memverifikasi laporan keuangan.

Hasil interview dengan Reza takmir masjid Al Furqon Nitikan, meskipun penting, kemungkinan pada implementasi akuntansi masjid bisa menghadapi sejumlah tantangan, antara lain: 1) Banyak pengurus masjid yang belum memiliki latar belakang akuntansi. 2) Masjid kecil seringkali tidak memiliki anggaran untuk pengadaan sistem akuntansi atau audit. 3) Beberapa pihak mungkin merasa bahwa pengelolaan secara formal tidak sesuai dengan tradisi atau kebutuhan masjid kecil.

Implementasi akuntansi di masjid yang memiliki fungsi luas adalah langkah strategis untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana umat. Dengan mengacu pada standar akuntansi seperti ISAK 335 dan Pedoman Akuntansi Wakaf, masjid dapat mengelola keuangan dan aset secara profesional. Meski terdapat tantangan, upaya ini dapat diwujudkan melalui peningkatan kapasitas SDM, pemanfaatan teknologi, dan keterlibatan masyarakat. Dengan pengelolaan keuangan yang baik, masjid dapat semakin berkontribusi dalam pembangunan umat secara berkelanjutan.

*Penulis adalah Dosen Akuntansi Syariah Prodi Akuntansi Universitas Ahmad Dahlan

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *