Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Program Inklusi ‘Aisyiyah menggelar Diskusi Penguatan GEDSI pada Rabu (6/7) secara hybrid. Diskusi bertajuk “Lensa GEDSI dalam Pengelolaan Program” ini menghadirkan Purwanti selaku Koordinator Jaringan Advokasi SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) dan Endah Trista Agustiana selaku Senior GEDSI Adviser Program INKLUSI.
Mengawali kegiatan, Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah Tri Hastuti menyampaikan bahwa Islam Berkemajuan harus menjadi nilai rujukan dalam mengelola organisasi. Dalam konteks ini, pengarusutamaan perspektif Islam berkemajuan dan GEDSI mesti dimulai sejak perencanaan hingga monitoring dan evaluasi program.
Tri kembali mengingatkan bahwa ‘Aisyiyah merupakan organisasi perempuan muslim berkemajuan yang berfokus pada upaya-upaya menangani kemiskinan, kesehatan, dan upaya mewujudkan kedamaian, kemaslahatan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, segala upaya untuk mewujudkan tercapainya cita-cita tersebut harus didukung dan dikerjakan secara maksimal. “Mengelola Program Inklusi sama halnya dengan mengelola program organisasi,” kata dia.
Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua PP ‘Aisyiyah, Siti ‘Aisyah. Ia menyampaikan pengantar materi dengan topik “Perspektif Islam Berkemajuan tentang Fikih Disabilitas dan Kesetaraan Perempuan”. Islam, kata dia, merupakan spirit perjuangan Muhammadiyah–‘Aisyiyah. Dalam definisi Muhammadiyah, Islam adalah: huwa mā anzala Allahu fi al-Qurān wa mā jā’at bihi as-sunnah. Segala apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut di dalam sunnah.
Sebagai agama perdamaian dan keselamatan, ‘Aisyah menegaskan, mustahil Islam mengajarkan permusuhan dan keburukan. Sehingga kalau ada pendapat –yang dinisbatkan kepada ajaran Islam—yang tidak baik atau bahkan memerintahkan kepada keburukan, maka itu sejatinya tidak sejalan dengan ajaran pokok Islam.
Dalam pandangan Muhammadiyah, Islam punya dimensi tajdid (pembaruan), melingkupi pemurnian dan dinamisasi. Pandangan tersebut selanjutnya melahirkan apa yang disebut sebagai Islam Berkemajuan, yang punya lingkup makna: agama yang berkemajuan; agama yang menyemaikan benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, dan sebagainya; agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan; agama yang menggelorakan misi antiperang, antipelecehan, dan sebagainya, dan; agama yang secara positif menghargai kemajemukan, perbedaan, dan sebagainya.
Dari situ, jelas bahwa Islam menekankan kedudukan setara manusia di hadapan Tuhan, sehingga tidak boleh ada pelecehan, diskriminasi, subordinasi, dan sebagainya. Termasuk pada kelompok-kelompok rentan, seperti perempuan dan difabel. ‘Aisyah mengatakan, Dalam konteks fikih, difabel banyak dimasukkan dalam kategori orang sakit (maridh). Sebagian yang lain mengkategorikan difabel sebagai orang dhuafa dan mustadhafin, karena mengalami subordinasi dan penindasan baik kultural maupun struktural.
Secara normatif, al-Quran punya pandangan positif, bahwa difabel juga punya potensi sebagaimana manusia lainnya. “Jadi al-Quran punya pandangan positif terhadap difabel itu,” kata ‘Aisyah. Lanjutnya, Islam juga menekankan bahwa manusia tidak sebatas makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual.
Berpedoman pada tiga tingkatan norma yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, yakni nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), asas-asas umum (al-ushul al-kulliyyah), dan peraturan hukum konkret (al-ahkam al-far’iyyah), didapatkan prinsip sebagai berikut: pertama, nilai dasar Islam mencakup ketauhidan, keadilan, dan mashlahah rahmah; kedua, prinsip umumnya adalah kemuliaan manusia, inklusifisme, dan penghormatan dan pemajuan kebutuhan hidup berbasis ilmu; ketiga, terwujud dalam pedoman praktis sebupa pemenuhan hak asasi difabel, hak hidup bermanfaat, dan pengembangan riset dan teknologi
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa difabel tidak selayaknya mendapat diskriminasi dan subordinasi. Mereka punya punya hak ibadah, hak sipil, dan hak tumbuh kembang sebagaimana manusia pada umumnya. “Para difabel ini harus diberi kesempatan dan diberdayakan,” tegas ‘Aisyah. (sb)