Oleh: Siti ‘Aisyah
Dalam historisitas Islam, pengajian merupakan pendidikan tertua, tepatnya semenjak masa kerasulan Nabi Muhammad saw. yang kala itu berbentuk halakah-halakah di masjid. Di samping berfungsi utama sebagai tempat beribadah, secara genetik masjid merupakan tempat pendidikan. Pendidikan tidak pernah berhenti meskipun dalam suasana perang, sebagaimana isyarat Allah dalam Q.S. al-Taubah [9]: 122. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tafaqquh fi al-dīn (mendalami ajaran agama) harus tetap dilakukan dalam situasi apa pun.
Pada masa pandemi, pengajian belum memungkinkan untuk dilakukan secara luring atau bertatap muka, tetapi harus tetap dilakukan. Karena itu, diperlukan sejumlah inovasi agar pada masa pandemi pengajian tetap eksis, tetap disenangi, didambakan, dan dihadiri, meskipun secara virtual. Pengajian harus tetap dilakukan melalui berbagai saluran digital, seperti infografis, kuliah WhatsApp, Facebook, Instagram, Google Meet, dan Zoom Meeting.
Pada masa Rasulullah taklim khusus perempuan sudah berkembang di kalangan sahabiyyah. Suatu saat, seorang perempuan menghadap Rasulullah saw. menyampaikan keresahannya bahwa selama ini hanya kaum laki-laki yang berkesempatan belajar bersama Rasul. Ia menyampaikan keinginannya belajar seperti kaum laki-laki. Ia juga meminta agar Rasul dapat mengalokasikan waktu membersamai kaum perempuan belajar bersama beliau.
Rasul pun dengan senang hati mempersilakan agar para perempuan menetapkan waktu, berkumpul, dan belajar bersama. Sejak itulah kaum perempuan mendapatkan hak dasar sebagai manusia untuk mendapatkan pendidikan. Pada waktu itu hak berilmu tidak didapatkan kaum perempuan, karena terkendala budaya domestifikasi perempuan.
Perhatian Rasulullah tersebut diabadikan dalam sebuah hadis (yang artinya), “dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata: “Suatu ketika ada sahabat perempuan yang datang menghadap Rasulullah saw, kemudian ia berkata: “Wahai Rasulullah para laki-laki itu pergi mendapatkan pelajaran dari engkau. Dapatkah engkau menyempatkan diri untuk kami (para perempuan) pada hari tertentu, yang kami dapat datang di hari itu, dan engkau ajarkan kepada kami apa yang Allah telah ajarkan kepada Engkau. Rasulullah saw menjawab: “Ya silakan berkumpul di hari tertentu dan di tempat tertentu”. Para perempuan kemudian datang berkumpul (di hari dan tempat yang telah ditetapkan) dan Rasul pun hadir mengajari mereka apa yang diperolehnya dari Allah swt.” (H.R. Bukhari).
Pengajian ‘Aisyiyah dalam Dakwah Pencerahan dan Tajdid
‘Aisyiyah pada awalnya merupakan transformasi dari sebuah pengajian perempuan Sapa Tresna. Bagi ‘Aisyiyah, pengajian memiliki kedudukan penting sebagai core gerakan ‘Aisyiyah. Salah satu syarat berdirinya Cabang dan Ranting adalah adanya aktivitas pengajian. Pengajian eksis terlebih dahulu, sebelum berdirinya Ranting. Memasuki abad kedua, ‘Aisyiyah merumuskan visi pengembangan yang diarahkan pada ”penguatan dan pengembangan dakwah yang mencerahkan dan tajdid untuk mencapai tujuan organisasi”.
Dalam hal ini, pengajian sebagai salah satu instrumen dakwah pencerahan dan tajdid. Narasi tajdid, mengisyaratkan adanya inovasi dalam pengajian. Pada masa sekarang, pengajian ’Aisyiyah telah berkembang di seluruh Indonesia yang digerakkan oleh para muballighat di semua tingkatan organisasi. Kegiatan pengajian yang dikelola oleh Majelis Tabligh merupakan bagian integral dari Gerakan Perempuan Mengaji.
Berbagai model inovasi telah dilakukan, antara lain pengajian pimpinan, pengajian umum, kajian khususi HPT, tafsir, tablig akbar, pengajian berbasis komunitas seperti pengusaha, guru, dosen, karyawan, nelayan, mualaf, dan penghuni lapas.
Pengajian Perspektif Tarjih Muhammadiyah
Inovasi pengajian perspektif tarjih Muhammadiyah dilakukan dalam mengemas konten pengajian dan metodologi kajian. Kegiatan tarjih merupakan aktivitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Manhaj tarjih dimaknai sebagai “suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan”.
Wawasan Islam mencakup hakikat Islam, wawasan tajdid, tidak berafiliasi mazhab, dan wawasan bersifat terbuka. Sumber ajaran meliputi sumber primer, yaitu al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah serta sumber penyerta, yaitu ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sadduzzari’ah, dan ‘urf. Sementara itu, terdapat dua metode, yaitu metode yang berasumsi integralistik dan metode yang berasumsi hirarkis. Dalam pengembangan pemikiran Islam dilakukan pendekatan bayānī, burhānī, dan ‘irfānī yang dilakukan secara spiral-triadik.
Baca Juga: Pengajian: Wadah Gerakan Ilmu ‘Aisyiyah
Dalam wawasan paham agama, secara normatif, dīn al-Islam dimaknai sebagai “apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Dalam hal ini, materi pengajian mengantarkan jamaahnya untuk memperoleh kebaikan, kemaslahatan, keutamaan, keselamatan hidup untuk semua, baik hidup di dunia maupun di akhirat.
Keselamatan, kedamaian, kebahagiaan hidup di dunia, merupakan jalan menuju kebaikan hakiki kehidupan di akhirat. Selain memuat perintah dan larangan, Islam juga memuat al-irsyādāt, yaitu petunjuk dan isyarat keilmuan dan spiritualitas, misalnya dalam Q.S. Luqman [3]: 14 dan al-Ahqaf [46]: 15 yang memuat isyarat fitrah perempuan yang dapat ditafsirkan dari sudut pandang ilmu kebidanan.
Asumsi metode yang bersifat hierarkis, dikembangkan menjadi fikih kontemporer untuk merespons isu-isu kontemporer sebagai solusi yang bersifat keberagamaan. Dalam tradisi Majelis Tarjih, istilah fikih umumnya dimaknai sebagai seperangkat ketentuan Islam yang terkualifikasi dalam tiga tingkatan yang bersifat hirarkis, yaitu pertama, nilai dasar (al-qiyam al-asāsiyyah), kedua, prinsip umum (al-uṣūl al-kuliyyah), dan ketiga, peraturan hukum yang bersifat konkret (al-aḥkām al-far’iyyah).
Prinsip ini diterapkan dalam merespons permasalahan kontemporer, misalnya Keputusan Tarjih tentang Fikih Keluarga Sakinah, Fikih Perlindungan Anak, Fikih Difabel, Fikih Tata Kelola dan Pemberantasan Korupsi, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, Fikih Informasi, Fikih Agraria, dan Fikih Terminasi Hidup, Perawatan Paliatif, dan Penyantunan Kaum Senior.
Pendekatan Bayani, Burhani, dan ‘Irfani
Epistemologi Islam bayānī, ‘irfānī, dan burhānī bermula dari pemetaan tradisi nalar Arab (‘aql al-‘Arab) oleh Muhammad ’Abid al-Jabiri sebagai sebuah sistem yang diawali pada periode tadwin (periode pembakuan dan pembukuan ilmu-ilmu keislaman pada abad ke-2 H/8 M). Sistem epistemologi dimaksud merupakan representasi tradisi Sunni (ahlu sunnah) yang berkembang di Baghdad, tradisi Syi’ah di Persia, dan tradisi pemikiran keagamaan di belahan dunia Barat, yaitu Andalusia.
Epistemologi bayānī menekankan kebenaran ada pada teks al-Quran dan sunnah; epistemologi ‘irfānī, kebenaran ada di balik makna zahir yang bersifat esoterik, dan epistemologi burhānī menekankan pada kebenaran akal, rasionalitas, dan keilmuan. Nalar burhānī memberikan warna rasionalitas pada bayānī dan ‘irfānī.
Pengembangan pemikiran Islam dalam manhaj Tarjih menempatkan bayānī, ‘irfānī, dan burhānī menjadi pendekatan dalam melakukan aktivitas ketarjihan sesuai dengan obyek kajiannya –apakah teks, ilham atau realitas- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural, dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespons problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Baca Juga: Nilai Al-Quran dan Logika Media Sosial
Pendekatan bayānī dilakukan untuk memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam atau dikehendaki lafzh, dan istinbâth hukum-hukum dari an-nushûsh ad-dîniyyah dan al-Quran khususnya. Memahami teks al-Quran dan as-sunnah al-maqbulah dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang sejalan dengan ruh agama Islam.
Pendekatan burhānī dalam Muhammadiyah menempatkan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (târîkhiyyah), realitas sosial (ijtimâ‘iyyah) dan realitas budaya (tsaqâfiyyah).
Pembahasan mengenai hukumhukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ulûm al-ijtimâ‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ulûm al-insaniyyah). Dalam pendekatan burhānī teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi.
Pendekatan ‘irfânî yang esensinya ada pada makna di balik yang lahir, menempatkan kebenaran bukan sekadar disadari melalui akal, tetapi juga dihayati dan dirasakan dengan hati. Dalam konteks kehidupan, maka tradisi ‘irfānī menampilkan perilaku ihsan yang dikonotasikan dengan ‘spiritualitas tingkat tinggi’.
Esensi epistemologi ‘irfānī ada dalam ranah spiritualitas yang tercermin dalam hubungan spiritual hamba dengan Allah dan mewujud dalam kebermaknaan hidup. “Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irfānī. Untuk itu, pengetahuan ‘irfānī yang dikembangkan adalah dalam kerangka ittibâ‘ al-rasul”.
Implementasi epistemologi bayānī, ’irfānī, dan burhānī dalam pengajian dilakukan secara komprehensif. Melalui pendekatan bayānī, kajian dalam pengajian mendasarkan pada teks-teks al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah untuk mengungkap kebenaran ajaran yang melandasi dan menjadi acuan dalam semua aspek kehidupan. Dengan nalar burhānī menggunakan rasio, ilmu pengetahuan, dan pengalaman dalam menyajikan serta memahami materi pengajian.
Pendekatan ‘irfānī, mengasah qalbu untuk membangun komunikasi spritual dengan Allah, mengembangkan perasaan moral dalam membangun hubungan dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Setiap kajian yang dikembangkan dalam pengajian sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari ketiga pendekatan tersebut, karena ketiganya saling bersinggungan dan melengkapi, mewujudkan epistemologi Islam yang implementasinya mewujudkan pendekatan secara holistik.
Tema-tema kajian tentang isu-isu perempuan juga dianalisis dari perspektif bayānī, ‘irfānī, dan burhānī secara komprehensif. Kajian teks ayatayat tentang kesetaraan dan keadilan gender serta isu perempuan dalam analisis fikih perlu dikembangkan dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan atau kemadaratan bagi perempuan dan laki-laki dalam kerangka kemanusiaan.
Tafsir al-Quran dan bacaan hadis juga dikembangkan dalam kerangka kesetaraan gender laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan relasi harmonis dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dunia kerja, peran kebangsaan, dan hubungan kemanusiaan universal.