Oleh: Miftahulhaq
Nabi Muhammad saw. pernah ditegur oleh Allah swt. secara langsung berkaitan dengan sikap beliau terhadap sahabat Abdullah bin Ummi Maktum. Dikisahkan bahwa pada saat Nabi saw. sedang menerima kunjungan dari beberapa tokoh Quraisy, beliau menerimanya dengan penuh antusias dan berdialog dengan penuh perhatian.
Di tengah dialog, datanglah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat beliau yang tunanetra. Ia memohon kepada Nabi saw. agar membacakan kepadanya beberapa ayat al-Quran. Karena begitu seriusnya dialog Nabi saw. dan para tamu tokoh Quraisy tersebut, beliau tidak memberikan respons terhadap permohonan sang sahabat itu.
Abdullah bin Ummi Maktum tidak menyadari bahwa Nabi saw. sedang menerima tamu dan berdialog serius dengan mereka. Dia pun memohon lagi agar Nabi saw. berkenan membacakan beberapa ayat al-Quran kepadanya. Rupanya Nabi saw. merasa terganggu. Beliau lalu memalingkan mukanya dari Abdullah bin Ummi Maktum dan terus melanjutkan dialog dengan para tamunya. Seusai para tamu pulang, Nabi saw. ditegur langsung oleh Allah dengan turunnya surat ‘Abasa yang berarti “bermuka masam”.
Setelah peristiwa tersebut, Nabi saw. senantiasa memberikan pelayanan dan penghormatan yang lebih kepada Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat beliau tersebut. Apabila sahabat ini datang, Nabi saw. senantiasa menyambutnya dengan antusias. Beliau kerap mengungkapkan salam, ”selamat datang wahai Saudara yang menyebabkan aku ditegur oleh Tuhan-ku (ahlan biman atabany fihi Rabbii)”. Bahkan, beliau senantiasa melayani segala apa yang diinginkan sahabatnya yang tunanetra itu dengan baik.
Abdullah bin Ummi Maktum diberikan kepercayaan sebagai salah seorang muadzin Rasulullah saw. Tidak hanya itu, tatkala Nabi saw. berada di luar kota Madinah, sahabat ini pernah diberikan kepercayaan untuk memimpin kota Madinah.
Baca Juga: Difabel Butuh Kesetaraan, Bukan Belas Kasihan
Selain Abdullah bin Ummi Maktum, Nabi saw. juga menorehkan kisah menarik dengan sahabatnya yang lain, Julaibib. Sahabat beliau ini memiliki tubuh pendek dan tidak menawan. Karena kondisi fisik ini, masyarakat Madinah kurang menyukai keberadaannya. Namun Nabi saw. tetap menyayangi Julaibib.
Setelah peristiwa hijrah, Nabi saw mengangkat martabat sahabatnya itu dengan menjadikannya sebagai teman dan merawatnya. Bahkan dikisahkan juga bahwa beliau melamarkan seorang gadis cantik untuknya. Secara khusus, beliau memanjatkan doa, “Ya Allah, limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah” (Allahumma shubba ‘alaihimaa al-khaira shobbaa, wa laa taj’al ‘aisya humaa kadda kadda)”.
Dua kisah di atas memberikan pelajaran bahwa Nabi saw. telah menunjukkan sikap inklusi atau kesetaraan terhadap kaum difabel. Beliau mencontohkan bagaimana seorang muslim harus melakukan advokasi terhadap kaum difabel. Setiap muslim dituntut agar memiliki sikap untuk memuliakan, melayani, dan menyejahterakan saudaranya yang memiliki keterbatasan secara fisik.
Kisah Abdullah bin Ummu Maktum mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang itu bukan terletak pada kesempurnaan fisik semata. Oleh karena itu, setiap muslim harus bersikap adil dalam berhadapan dengan siapa pun tanpa memandang kondisi fisiknya. Setiap mukmin juga dilarang Allah untuk menghina dan merendahkan orang lain karena bisa jadi orang yang dihina dan direndahkan itu kondisinya lebih baik daripada yang menghina. Hal ini telah Allah tegaskan dalam surat al-Hujurat ayat 11:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Q.S. al-Hujurat: 11).
Ada sebuah kisah yang dialami oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, salah satu sahabat Nabi saw yang pandai dalam menafsirkan al-Quran. Suatu hari dia memanjat sebuah pohon dan seketika angin berhembus sehingga kakinya terlihat. Beberapa sahabat yang melihat kaki Abdullah bin Mas’ud tertawa. Nabi saw. pun menegur mereka dan beliau berkata, “Apa yang membuat kalian tertawa? Ketahuilah bahwa di hari pembalasan, kedua kaki Ibnu Mas’ud akan lebih berat di timbangan daripada Gunung Uhud.”
Kisah Abdullah bin Mas’ud secara nyata mengajarkan setiap muslim untuk tidak terjebak pada penampilan fisik. Hendaknya setiap muslim juga tidak merendahkan atau menghinakan kaum difabel. Ajaran Islam sendiri tidak membatasi kaum difabel untuk melakukan ibadah. Keterbatasan fisik bukan hambatan bagi seseorang untuk melaksanakan ibadah. Ibadah salat, misalnya. Fikih Islam membolehkan seseorang melakukan ibadah salat sesuai dengan kemampuannya. Apabila tidak mampu berdiri, diperbolehkan untuk melakukan salat dengan duduk atau berbaring. Dalam hal tersebut, salatnya tetap sah sepanjang niat dan syarat rukunnya terpenuhi.
Islam juga menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup bukanlah dilihat dari kondisi fisiknya, tetapi dilihat dari iman dan amal salehnya. Siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, sempurna atau memiliki keterbatasan secara fisik, memiliki kesempatan sama untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan hidup dari Allah Swt. Hal ini Allah sebutkan dalam surat An-Nahl ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. An-Nahl: 97).
Sikap inklusi Nabi saw. terhadap kaum difabel juga menunjukkan sikap kecintaan dan keberpihakan beliau terhadap sesama. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi saw. menegaskan bahwa keimanan seseorang tidak akan dinilai oleh Allah swt. sebelum dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.
Bahkan, secara tegas Nabi saw. menyampaikan dalam hadis riwayat Tirmidzi bahwa siapa saja yang tidak menyayangi manusia, Allah swt. tidak akan menyayanginya. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabrani, Nabi saw. menjelaskan bahwa sikap kasih sayang seorang muslim atau mukmin itu sifatnya tidak hanya terbatas bagi kaum muslim atau mukmin saja, tetapi bersifat umum, meliputi seluruh umat manusia.
Keberpihakan seorang muslim kepada kaum difabel sesungguhnya bukan karena alasan kemanusiaan semata. Lebih dari itu, tindakan tersebut merupakan bagian dari tuntutan keimanan kepada Allah swt. Di atas telah diuraikan bagaimana Nabi saw. secara nyata mencontohkan kepada umatnya untuk memuliakan saudaranya yang difabel.
Renungkanlah bagaimana Nabi saw. secara pribadi mengalami penyesalan luar biasa atas sikapnya yang memalingkan muka dari Abdullah bin Ummu Maktum. Teguran keras Allah swt. melalui firman-Nya sangat menyayat hati dan menjadikan beliau memuliakan sahabatnya tersebut dan sahabat lain yang memiliki keterbatasan fisik. Sikap Nabi saw. dalam memuliakan sahabat-sahabat beliau yang menyandang difabilitas merupakan wujud dakwah sekaligus memenuhi perintah Allah swt.
Memuliakan, melayani, dan menyejahterakan saudara yang memiliki keterbatasan fisik merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Pelaksanaan terhadap kegiatan ini adalah wujud amal saleh seorang muslim. Keberpihakan terhadap kaum difabel merupakan bagian jihad fi sabilillah, berjuang menegakkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan.
Dakwah bagi kaum difabel adalah sebuah proses menjadikan siapa saja, baik yang difabel atau tidak, menjadi manusia yang mulia, saling menghormati, menghargai, terhindar dari segala potensi keburuk-an dan kemungkaran, serta berusaha menjadi hamba-Nya yang selalu dekat, ber-taqarrub, serta menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan Allah swt.
Dengan demikian, landasan keberpihakan terhadap kaum difabel bukan hanya atas dasar rasa belas kasihan. Secara prinsip, keberpihakan tersebut didasarkan pada kesadaran tanggung jawab seorang muslim untuk menghormati, memuliakan, dan melayani saudaranya sehingga secara bersama-sama dapat mewujudkan kehidupan sejahtera dan berkeadilan.
Pemuliaan dan penyediaan fasilitas khusus bagi kaum difabel juga bukan karena mereka perlu dikasihani, tetapi sebagai upaya memberikan ruang bagi kaum difabel untuk mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Semangat berlomba untuk selalu berada di depan dalam kebaikan (fastabiqul khiraat) menjadi motivasi bersama dalam mengembangkan kualitas diri dan memberikan kemanfaatan hidup bagi umat manusia.
Baca Juga: Memerdekakan Jiwa dengan Tauhid
Proses dakwah bagi komunitas kaum difabel sendiri bukan hanya bersifat karitatif (pelayanan), namun juga harus bersifat empowerment (pemberdayaan). Dakwah bagi kaum difabel harus dilakukan sebagai upaya untuk membangkitkan semangat hidup positif melalui berbagai pendekatan dan kegiatan model dakwah.
Dalam hal ini, upaya penggalian potensi diri kaum difabel menjadi langkah pertama yang bisa dilakukan. Proses penggalian potensi diri ini dimaksudkan untuk membantu para penyandang disabilitas menemukan kelebihan-kelebihan dari dirinya yang bisa diberdayakan, seperti kondisi psikis, motivasi beragama, motivasi diri, motivasi berusaha atau bekerja, kemandirian, dan lain sebagainya. Identifikasi potensi diri akan membantu juga dalam merumuskan intervensi kegiatan dakwah yang tepat bagi mereka.
Dakwah bagi komunitas difabel dapat diwujudkan dalam berbagai hal, mulai dari bersifat pengetahuan dan pemahaman akan ajaran-ajaran Islam, penguatan akidah, hingga perbaikan dan pendampingan praktik ibadah, khususnya ibadah mahdah. Secara khusus lagi, upaya penguatan pribadi bagi muslim difabel dapat diberikan melalui pelatihan baca al-Quran, tafhimul qur’an, dan dzikir atau wirid bakda shalat dan harian. Pemahaman dan pendampingan kegiatan muamalah duniawiyah, baik yang bersifat hubungan sosial antar sesama, ekonomi, pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya, juga perlu diagendakan.
Sebagai upaya memperkokoh proses dakwah, proses pemberdayaan bagi kaum difabel memerlukan penguatan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dapat menjadi leading sector dengan mengembangkan kerjasama, baik dengan internal Muhammadiyah, seperti Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah, maupun dengan pihak eksternal Muhammadiyah, seperti Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau unit bisnis dan lembaga lainnya. Proses-proses dakwah tersebut juga dapat diakselerasi dengan penggunaan dan pemanfaatan teknologi komunikasi seperti media sosial yang berkembang saat ini, sehingga bisa menjangkau banyak pihak untuk terlibat dalam kegiatan dakwah yang berkemajuan.
Wallahu a’lam bisshawab