Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Ustaz Adi Hidayat menjadi salah satu pembicara dalam forum Pengajian Ramadan 1444 H PP Muhammadiyah, Sabtu (25/3). Dalam kesempatan tersebut, ia mengkritisi penggunaan istilah “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah.
Menurutnya, di dalam al-Quran, diksi yang digunakan untuk menjelaskan “Islam” adalah “sempurna”. Sempurna adalah apabila ditambah ia berkurang maknanya, dan apabila dikurangi ia habis. Sesuatu yang sudah sempurna, yang tidak bisa ditambah dan tidak bisa dikurangi disebut “kamal”. Sedangkan kalau ia masih butuh tambahan yang sekiranya untuk melengkapi, maka ia disebut sebagai “tamam”.
Penggunaan dua kata tersebut terdapat dalam Q.S. al-Maidah: 3. Dalam ayat tersebut, “diin” disifati dengan kata kamal, bukan tamam. Berangkat dari itu, UAH berpendapat bahwa kalau Islam disifati dengan berkemajuan, berarti ada mafhum mukhalafah-nya, yaitu Islam yang tidak berkemajuan.
Kata yang tadinya sudah komprehensif kemudian menjadi mengecil. Karena itu, UAH mengusulkan agar kemajuan ditempatkan sebagai mudhaf dari mudhaf ilaih, yakni Islam. “Misal, Persyarikatan Islam Berkemajuan, Gerakan Islam Berkemajuan, Ajaran Islam Berkemajuan, Risalah Islam Berkemajuan,” ungkapnya.
Di balik kritik ini, UAH sejatinya sedang menyampaikan kegelisahannya tentang beragam pengkotak-kotakan terhadap Islam. Misalnya ada Islam liberal, Islam intoleran, Islam ekstrem, dan sebagainya. Pengkotak-kotakan ini menurut dia malah mendistorsi ajaran Islam itu sendiri.
Di hadapan peserta pengajian, UAD menyampaikan bahwa salah satu ciri Muhammadiyah yang berkemajuan adalah bersikap terbuka terhadap perbedaan. Apalagi, Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani, yang menurut dia adalah bentuk dari kemajuan Muhammadiyah.
Lebih lanjut, menurut dia, apabila ada fatwa-fatwa yang merupakan hasil ijtihad, ia harus dihormati sekalipun Muhammadiyah tidak sepakat dan tidak mengamalkan. “Saya kira itulah Risalah Islam yang Berkemajuan yang dimiliki oleh Muhammadiyah,” terang alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut itu.
Baca Juga: Muarif Jabarkan Tiga Tafsiran Islam Berkemajuan Periode Awal
Pada kesempatan yang sama, Ketua PP Muhammadiyah Saad Ibrahim menjabarkan bahwa penggunaan istilah Islam Berkemajuan tidak selalu bermakna ada entitas lain berupa Islam Berkemunduran. “Islam Berkemajuan tidak serta merta menghasilkan paham kebalikannya, yakni ada Islam Berkemunduran,” kata dia.
Dalam khazanah Islam, ia mengaku belum menemukan istilah yang baku untuk Islam Berkemajuan. Oleh karenanya, ada perbedaan pendapat, seperti al-Islam at-taqaddumy, ats-tsaqafy, at-tamadduny, al-hadhary, dan sebagainya. Yang dikenal dalam khazanah keislaman adalah ats-tsaqafah al-Islamiyyah, al-hadharah al-Islamiyyah, at-tamaddun al-Islamiyyah, dan sebagainya.
Ketika Muhammadiyah merumuskan Risalah Islam Berkemajuan (RIB) dalam Muktamar ke-48 di Surakarta, ia yakin bahwa Muhammadiyah dalam konteks besar sedang diberi karamah oleh Allah swt. “Rasanya Muhammadiyah sebagai al-harakah al-Islamiyyah ini, itu saya yakin diberi karamah oleh Allah. Salah satu tanda karamah itu adalah kita selalu merasa dibimbing oleh Allah,” terang Saad.
Selanjutnya, menurut dia, munculnya istilah at-taqaddum barangkali bisa dirujukkan kepada ungkapan Syakib Arsalan, yaitu limadza ta’akhkhara al-muslimun wa taqaddama ghairuhum. Di dalam ungkapan yang ia jadikan judul buku itu secara jelas memuat kata “ta’akhkhara” dan “taqaddama”.
Dari situ, Saad menjelaskan bahwa penggunaan istilah Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah adalah bahwa gerakan Islam yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan ini menancapkan tekad ingin melangkah lebih ke depan dengan berlandaskan pada spirit dan nilai ketuhanan, agar terwujud peradaban Islam yang berkemajuan. (sb)