Oleh: Tri Hastuti Nur R
Perdebatan tentang cinta tanah air menjadi salah satu perbincangan yang cukup ramai dibicarakan, baik di media maupun dalam ruang-ruang diskusi. Ada kegelisahan yang muncul dari berbagai kalangan akan lunturnya cinta pada NKRI; terutama terkait dengan berbagai konflik horisontal mengenai isu-isu agama dan politik. Bahkan di antara mereka saling mempertanyakan dan meragukan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, seberapa besar rasa cinta tanah airnya.
Cinta tanah air tentu akan dimaknai secara berbeda sesuai dengan konteks kesejarahannya. Pada masa zaman penjajahan Jepang, Belanda, Portugis, dan Inggris, berbagai kepulauan di Indonesia, anak-anak negeri berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Rasa bela Negara agar tanah airnya tidak dijajah, tidak dihisap dan tidak dikuasai sumber daya alamnya oleh penjajah menjadi spirit bagi rakyat Indonesia mengorbankan harta, jiwa, dan raganya untuk kemerdekaan.
Atas pengorbanan para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia, akhirnya Indonesia merdeka dari penjajah pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentu kita juga tidak boleh melupakan jasa para perempuan (perempuan-perempuan yang merawat para pejuang yang terluka di medan tempur, istri pejuang, ibu-ibu pejuang, anak-anak perempuan pejuang) meskipun tidak dituliskan dalam sejarah, yang juga berkorban jiwa raga dan hartanya untuk kemerdekaan negeri ini.
Rasa cinta tanah air merupakan bentuk nasionalisme, tapi bukan nasionalisme yang membabi buta. Nasionalisme selalu menempatkan keberagaman dan pluralitas sebagai unsur yang penting dalam membangun NKRI. Mengapa demikian? Konteks pembentukan NKRI menunjukkan bahwa NKRI adalah sebuah keberagaman yang ada dari Sabang sampai Merauke dengan beragam suku, agama, pandangan politik maupun etnis. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan pun harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali.
Rasa cinta tanah air dalam konteks saat ini tentu akan berbeda aktualisasinya dengan saat NKRI belum merdeka. Seluruh anak negeri memiliki kewajiban untuk mencintai tanah airnya dengan melakukan yang terbaik untuk kesejahteraan, kemuliaan, dan kejayaan negaranya.
Mengutip pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy, “don’t ask what your country can do for you, but aks what you can do for your country” (jangan tanyakan apa yang akan Negara berikan padamu, namun tanyakan apa yang akan kauberikan pada Negara). Pernyataan tersebut masih sangat kontekstual untuk kita ambil sebagai teladan; bagaimana mewujudkan rasa cinta tanah air kita.
Bumi, tanah, air dan seluruh keindahan negeri ini, tempat kita berpijak dan menghirup udara segar setiap harinya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan kita; termasuk ketulusan dan keramahan masyarakatnya dalam mengabdi untuk negaranya. Di tengah kondisi politik di mana sebagian pejabat lebih banyak menjadi “penguasa” dibandingkan menjadi pemimpin dan negarawan; di tengah kondisi rasa saling syak wasangka atas kelompok satu dan kelompok yang lainnya, ungkapan kebencian (hate speech) atas kelompok lain, maka warga Muhammadiyah-‘Aisyiyah harus memfokuskan diri untuk terus bekerja dan bekerja memberikan kehidupan yang lebih baik dan sejahtera untuk seluruh bangsa Indonesia; terus merajut kembali jati diri sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai kerja keras, keramahtamahan, kegotongroyongan, dan keragaman budaya yang sangat kaya untuk terus dilestarikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti raca cinta tanah air.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa merupakan nilai-nilai yang seharusnya dilaksanakan oleh siapapun yang beridentitas Indonesia. Dalam keseharian, bentuk cinta tanah air kita mewujud dengan memberikan keteladanan yang baik dalam kehidupan untuk tetangga dan masyarakat, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Perilaku kita untuk mengkonsumsi produk-produk dalam negeri merupakan salah satu wujud dari cinta tanah air.
Nilai-nilai Islam pun mengajarkan kepada umat Islam untuk mencintai tanah airnya. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 126 ditunjukkan bagaimana kecintaan tanah air Nabi Ibrahim as., yang artinya, “…dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Makkah ini negeri yang aman, dan berilah rejeki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian”.