KalamPerempuan

Islam Memuliakan Perempuan

Oleh: Suko Wahyudi* 

Dalam naungan syariat Islam yang penuh rahmat, perempuan memperoleh tempat yang mulia dan terhormat. Islam, sejak awal kemunculannya, membawa risalah yang memuliakan manusia secara utuh, tanpa diskriminasi atas dasar jenis kelamin. Perempuan tidak dipandang sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang utuh dalam peran sosial, spiritual, dan kultural, berlandaskan iman, ilmu, dan amal saleh.

Pada masa jahiliah, perempuan hidup dalam keterasingan dan kehinaan. Mereka tidak diakui hak-haknya, bahkan kelahirannya dianggap sebagai aib yang memalukan. Al-Qur’an menggambarkan kondisi itu dengan sangat tajam:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah mukanya, dan ia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58)

Islam datang merombak struktur kezaliman tersebut. Syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa perempuan adalah makhluk yang dimuliakan, memiliki hak yang setara dalam keimanan dan amal. Firman Allah:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahiah. Amal saleh menjadi ukuran, bukan jenis kelamin. Ketakwaan menjadi parameter kemuliaan, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Hujurat ayat 13. Dengan demikian, Islam menegakkan etos pembebasan dan pemuliaan perempuan dari kungkungan budaya yang menindas.

Islam memuliakan perempuan dalam seluruh tahap kehidupannya. Sebagai anak, ia adalah sumber keberkahan. Sebagai ibu, ia menjadi pintu surga. Sebagai istri, ia adalah sahabat hidup yang menyejukkan. Dan sebagai anggota masyarakat, ia memiliki hak dan tanggung jawab dalam membangun peradaban. Oleh karena itu, siapa pun yang merendahkan martabat perempuan, pada hakikatnya telah bertentangan dengan ruh Islam yang hakiki.

Perempuan Sebagai Anak

Dalam sistem nilai Islam, manusia diposisikan sebagai makhluk mulia yang diciptakan Allah dalam bentuk dan fitrah terbaik. Hal ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan. Islam menolak segala bentuk pembedaan yang berbasis pada jenis kelamin dalam hal kemuliaan, nilai, dan kehormatan.

Salah satu bentuk pemuliaan Islam terhadap perempuan adalah pada fase awal kehidupannya, yakni sebagai anak. Dalam hal ini, Islam menekankan kewajiban orang tua untuk menyambut kelahiran anak perempuan dengan rasa syukur, serta memperlakukannya dengan kasih sayang, perhatian, dan pendidikan yang memadai. Sikap ini berbeda secara fundamental dengan praktik jahiliyah yang menganggap anak perempuan sebagai aib dan beban sosial.

Al-Qur’an mengabadikan potret batin masyarakat jahiliyah ketika menerima kelahiran anak perempuan:

Baca Juga: Perempuan Karir dan Keluarga Sakinah

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan, ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. an-Nahl [16]: 58–59)

Ayat ini mengungkapkan realitas psikologis kaum musyrik yang menganggap kelahiran anak perempuan sebagai cela. Kemarahan, kekecewaan, dan kecenderungan menyembunyikan diri merupakan cerminan nilai patriarkal yang keliru. Islam kemudian datang untuk mengoreksi paradigma tersebut melalui prinsip tauhid, keadilan, dan kasih sayang.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada kalian perbuatan durhaka kepada ibu, menahan hak (yang seharusnya diberikan), meminta sesuatu yang bukan haknya, dan perbuatan mengubur bayi perempuan hidup-hidup.”

Hadits ini menunjukkan bahwa penguburan anak perempuan hidup-hidup tidak hanya merupakan kezaliman sosial, tetapi juga termasuk dalam kategori dosa besar yang diharamkan oleh Allah SWT. Dalam konteks sejarah, praktik ini dijustifikasi oleh anggapan keliru tentang kehormatan, kemiskinan, dan ketakutan akan masa depan.

Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa praktik penguburan anak perempuan pada masa jahiliyah dilakukan dengan dua cara. Pertama, bayi perempuan dikubur segera setelah lahir. Kedua, mereka dibiarkan hidup hingga usia sekitar enam tahun, kemudian dibawa ke padang pasir dan dijatuhkan ke dalam sumur atau lubang.

Islam membalik cara pandang ini secara radikal. Anak perempuan tidak lagi diposisikan sebagai beban, tetapi sebagai anugerah. Allah SWT berfirman:

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. asy-Syura [42]: 49)

Ayat ini menegaskan bahwa pemberian anak, baik perempuan maupun laki-laki, adalah ketetapan Allah yang harus diterima dengan keridhaan dan rasa syukur. Tidak ada satu pun manusia yang berhak mengklaim bahwa satu jenis kelamin lebih utama dari yang lain dalam hal pemberian Ilahi.

Lebih dari itu, Islam memberikan jaminan balasan surga bagi mereka yang memperlakukan anak perempuan dengan baik. Dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa memiliki anak perempuan lalu ia tidak menguburnya hidup-hidup, tidak menghinakannya, dan tidak lebih mengutamakan anak laki-laki darinya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”

Dalam riwayat lain, dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, lalu ia bersabar terhadap mereka dan memberinya pakaian sesuai kemampuannya, maka mereka akan menjadi hijab baginya dari api neraka pada hari kiamat.”

Makna sabar dalam konteks ini mencakup aspek emosional, material, dan sosial. Orang tua dituntut untuk menerima anak perempuan dengan hati lapang, mencukupi kebutuhannya, serta mendidiknya menjadi pribadi beriman dan berakhlak mulia.

Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan:

“Barangsiapa mengasuh dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka pada hari kiamat ia akan datang bersama aku seperti dua jari ini.” (Rasulullah SAW menyatukan dua jarinya sebagai simbol kedekatan)

Hadits ini menunjukkan bahwa pengasuhan anak perempuan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Kesejajaran orang tua dengan Rasulullah SAW pada hari kiamat merupakan simbol kemuliaan amal tersebut.

Riwayat serupa terdapat dalam Musnad Ahmad. Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa mengasuh dua atau tiga anak perempuan, atau dua atau tiga saudara perempuan, hingga mereka dewasa atau meninggal dalam asuhannya, maka dia dan aku seperti dua jari ini.”

Dalam Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari meriwayatkan sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa mengasuh tiga anak perempuan, mencukupi kebutuhan mereka, dan menyayangi mereka, maka surga pasti menjadi miliknya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana dengan dua anak perempuan?” Nabi SAW menjawab, “Dua anak perempuan pun sama.” Ini menunjukkan bahwa syariat tidak membebani, tetapi memberi ruang luas bagi amal kebaikan dalam berbagai kadar kemampuan.

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, Ummul Mu’minin Aisyah RA meriwayatkan bahwa pernah datang seorang Arab Badui kepada Nabi SAW, dan Rasulullah bertanya:

“Apakah kalian mencium anak-anak kalian?” Dia menjawab, “Kami tidak biasa mencium mereka.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa yang bisa aku perbuat jika Allah telah mencabut rahmat dari hatimu?”

Hadits ini mengajarkan bahwa kasih sayang adalah fitrah yang harus dipelihara. Ketiadaan kasih dalam relasi orang tua-anak bukan hanya persoalan etika, tetapi juga persoalan iman dan kemanusiaan.

Dari keseluruhan ayat dan hadits tersebut, jelaslah bahwa Islam memuliakan anak perempuan sejak masa kelahirannya. Ia bukan hanya bagian dari keluarga, tetapi juga bagian dari perjalanan menuju ridha Allah SWT. Maka, mendidik anak perempuan bukanlah beban, melainkan ladang pahala yang mengantarkan orang tua menuju surga.

Perempuan sebagai Ibu

Dalam ajaran Islam yang paripurna, perempuan mendapatkan kedudukan yang luhur dan mulia dalam berbagai fase kehidupannya. Salah satu kedudukan yang sangat dimuliakan adalah ketika ia menjadi seorang ibu. Islam memberikan tempat istimewa bagi ibu, dengan menekankan kewajiban berbakti kepadanya sebagai bagian integral dari keimanan dan ibadah.

Al-Quran memberikan penegasan yang kuat mengenai hakikat seorang ibu dan kewajiban berbuat baik kepadanya. Allah SWT berfirman:

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. al-Ahqaf [46]: 15)

Baca Juga: Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada Perempuan Karir

Ayat ini menggambarkan bahwa keutamaan ibu bukan sekadar karena status sosialnya sebagai orang tua, melainkan juga karena perjuangan biologis dan emosional yang luar biasa dalam mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak. Maka, kesyukuran kepada Allah harus dibarengi dengan kesyukuran kepada kedua orang tua, terutama ibu.

Demikian pula dalam surah Al-Isra’, Allah mengiringi perintah tauhid dengan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Firman-Nya:

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah engkau membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah: ‘Wahai Rabb-ku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil.’” (QS. al-Isra’ [17]: 23–24)

Ayat ini tidak hanya memerintahkan untuk bersikap baik, tetapi juga menanamkan etika komunikasi yang santun, empati yang mendalam, dan kasih sayang yang tulus kepada kedua orang tua. Ucapan yang lembut, sikap yang rendah hati, dan doa yang senantiasa dipanjatkan merupakan manifestasi nyata dari birr al-walidain.

Dalam Sunnah, Nabi Muhammad SAW memberikan perhatian khusus terhadap kedudukan ibu dalam skala prioritas berbakti. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA, dikisahkan bahwa ada seorang lelaki bertanya:

“Wahai Rasūlullāh, siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lelaki itu bertanya, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu ia bertanya, “Setelah itu siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu.”

Pengulangan tiga kali penyebutan “ibu” menunjukkan adanya prioritas dalam berbakti kepada ibu dibanding ayah, sebagai pengakuan terhadap pengorbanan dan jasa besar yang tidak dapat disetarakan dengan apa pun.

Kisah lain dalam riwayat Abū Dawud dan Ibnu Majah memperlihatkan sikap Nabi SAW terhadap seorang lelaki yang hendak berhijrah dan meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan menangis. Beliau bersabda:

“Kembalilah kepada keduanya, dan hiburlah mereka sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.”

Hal ini menunjukkan bahwa jihad dan hijrah sekalipun tidak dapat mengabaikan hak orang tua, terlebih ketika mereka dalam kondisi emosional yang rapuh akibat perpisahan.

Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas‘ud RA disebutkan bahwa ketika ia bertanya kepada Nabi SAW tentang amal yang paling dicintai Allah, beliau menjawab:

“Shalat tepat pada waktunya.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.”

Hadits ini menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua menempati posisi lebih tinggi daripada jihad, yang merupakan amal besar dalam Islam. Ini menegaskan bahwa birr al-walidain adalah bagian dari ibadah prioritas yang berdampak langsung pada hubungan manusia dengan Allah SWT.

Islam melarang segala bentuk perbuatan yang menyakiti kedua orang tua, baik secara fisik, verbal, maupun emosional. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abū Bakrah RA, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

“Maukah kalian aku kabarkan dosa-dosa besar yang paling besar?” Beliau mengulanginya tiga kali. Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasūlullāh.” Beliau bersabda, “(Pertama) menyekutukan Allah, (kedua) durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau kemudian duduk dari posisi bersandar dan bersabda, “(Ketiga) ucapan dusta.”

Saking pentingnya poin ini, Nabi SAW duduk tegak untuk menekankan urgensi peringatan tersebut. Durhaka kepada orang tua, terlebih kepada ibu, bukan hanya dosa besar, tetapi juga diiringi dengan laknat Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits riwayat Muslim dari Sayyidina ‘Ali RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.”

Dari seluruh keterangan tersebut dapat dipahami bahwa Islam menempatkan ibu dalam posisi kemuliaan yang tinggi. Ibu bukan hanya madrasah pertama bagi anak-anaknya, tetapi juga sumber kasih sayang, pengorbanan, dan doa yang tak ternilai. Maka, berbakti kepada ibu adalah bagian dari ketakwaan, dan menyakitinya adalah bentuk kefasikan.

Pemuliaan terhadap perempuan sebagai ibu bukanlah wacana simbolik, melainkan perintah konkret yang harus diwujudkan dalam bentuk ketaatan, penghormatan, pelayanan, dan doa yang tulus. Kesalehan seorang anak tidak dapat dilepaskan dari relasinya dengan sang ibu. Maka, dalam setiap sujud dan amal, tidak layak seorang Muslim melupakan peran agung ibu dalam kehidupannya.

*PRM Timuran Yogyakarta 

Related posts
Berita

Lima Alasan Kekerasan Seksual Terus Mengintai Perempuan

Jakarta, Suara ‘Aisyiyah – Salah satu sebab kekerasan seksual masih sering terjadi adalah adanya anggapan bahwa perempuan bukanlah manusia utuh: perempuan dianggap…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *