
Islam Rahmatan lil Alamin
Oleh: Mayda Dwi Hadiyanti*
Al-Quran merupakan mukjizat yang diberikan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya yang bersifat temporal, al-Quran punya sifat shalih li kulli zaman wa makan. Ajarannya punya nilai relevansi di setiap zaman dan tempat.
Melalui pembacaan atas al-Quran, umat Islam pada masa awal mampu membangun sebuah peradaban yang besar. Namun, itu dulu. Perlahan namun pasti, umat Islam kehilangan kendali dan mengalami kemunduran. Pertanyaannya kemudian, apa yang terjadi dengan umat Islam?
Rekonstruksi Ilmu Agama Islam
Menurut Hamim Ilyas, sebagaimana dijelaskan dalam Fikih Akbar: Prinsip-prinsip Teologis Islam Rahmatan lil ‘Alamin, masalah yang membayang-bayangi peradaban Islam berada dalam ranah Islam historis, dan bukan pada Islam normatif. Ada gap antara Islam normatif –yang dulu bisa melahirkan peradaban besar—dengan Islam historis –yang sekarang mengalami keterpurukan.
Beragam krisis yang dialami umat Islam salah satunya adalah krisis paradigmatik yang melanda ilmu-ilmu agama Islam. Perdebatan ilmiah antara para teolog, faqih, mufasir, dan ulama klasik, diakui atau tidak juga telah menggiring atau mengkonstruksi pandangan umat Islam tentang banyak hal, misalnya tentang Tuhan, risalah kenabian, dan sebagainya.
Digunakannya istilah Fikih Akbar oleh Hamim merujuk pada istilah yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagaimana diketahui, Imam Abu Hanifah pernah menulis sebuah kitab berjudul Al-Fiqh Al-Akbar. Kitab itu memuat seputar aqidah Islam.
Dalam buku ini, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjelaskan bagaimana ilmu-ilmu agama Islam itu harus direkonstruksi. Pintu masuknya adalah dengan merekonstruksi apa yang disebut dengan istilah ‘tsawabit’ (hal-hal yang tetap dalam Islam). Menurutnya, lingkup tsawabit sebenarnya bukan sekadar sistem kepercayaan dan sistem peribadatan saja, tapi juga mencakup sistem nilai dan sistem gagasan revolusioner.
Konsep Rahmatan Lil ‘Alamin
Risalah Islam merupakan risalah terakhir; menjadi penyempurna dari bangunan ajaran yang belum sempurna. Islam merupakan agama yang diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin). Istilah rahmat di sini diartikan sebagai “cinta yang ekspresinya memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi”. Hamim Ilyas juga mengutip pandangan al-Mawardi yang mendefinisikan rahmat sebagai anugerah kepada yang membutuhkan. Dengan pengertian ini, konsep rahmatan lil ‘alamin ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup.
Secara lebih spesifik, konsep rahmat mencakup; (a) ketuhanan yang Maha Rahman dan Rahim; (b) kenabian rahmat, yakni untuk mewujudkan kehidupan yang baik, dan; (c) kitab suci rahmat, yang di dalamnya terkandung fungsi sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi manusia.
Secara normatif, seperti dijelaskan dalam QS. al-Maidah [5]: 3, Islam merupakan din wa ni’mah. Dua konsep ini seringkali disalahpahami. Penyebutan Islam kaffah kemudian dimaknai dengan menunjuk pada ideologi Islamisme. Padahal sebenarnya bukanlah demikian. Islam kaffah menurut Hamim Ilyas pada dasarnya mencakup tiga dimensi keberagamaan umat Islam, yakni dimensi ritual, spiritual, dan sosial. Dari penjelasan itu, maka dapat ditarik simpulan bahwa agama Islam mempunyai fungsi untuk mempersatukan, menyelamatkan, dan memperbaiki kehidupan umat manusia.
Manifestasi Konsep
Akan tetapi, sekali lagi, kondisi yang dialami umat Islam dewasa ini cukup memprihatinkan. Pandangan bahwa Islam merupakan rahmat bagi sekalian alam agaknya masih sebatas wacana, dan belum nyata dipraktikkan dalam kehidupan umat. Terlebih, banyak perilaku umat Islam yang bergeser jauh dari substansi ajaran Islam.
Jejak ketertinggalan dan pergeseran itu semakin nampak ketika umat Islam tidak banyak berkontribusi di tengah arus besar globalisasi dan modernisasi. Umat Islam sebatas menjadi konsumen gagasan, barang, dan sebagainya. Umat Islam masih tertatih-tatih untuk menyusul, dan belum sampai pada tahap bersaing.
Menyikapi kondisi ini, Hamim mengkritisi sikap sebagian umat yang seringkali bersikap reaktif terhadap fenomena yang terjadi, dan bukan responsif. Padahal, sikap responsiflah yang semestinya didahulukan karena sesuai dengan tantangan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai Islam.
Di tengah situasi itulah rekonstruksi ilmu-ilmu agama Islam menjadi suatu keniscayaan. Sebab dengan begitu, pandangan dan laku kehidupan umat Islam tidak hanya sebatas pada sistem kepercayaan yang hampa dan peribadatan saja, tapi lebih dari itu, juga mencakup sistem nilai dan sistem gagasan yang revolusioner. Perpaduan keempat sistem tersebut telah terbukti membawa umat Islam awal mencapai peradaban yang besar dan diakui dunia global.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Sleman