- #ColorfulRamadan edisi Serial Tokoh Mufassir/Perawi Perempuan
Oleh: An-Najmi Fikri R*
Muhammadiyah tidak pernah kekurangan stok memunculkan sosok ulama terutama ulama perempuan. Istilah ulama atau yang dikenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama memang masih sering dilekatkan pada laki-laki. Padahal makna ulama tidak dialamatkan pada satu gender atau jenis kelamin tertentu. Muhammadiyah telah banyak memunculkan figur ulama perempuan seiring berdirinya ‘Aisyiyah dengan kualifikasi dan kapasitas yang mumpuni. Sama halnya dengan laki-laki, Muhammadiyah memandang perempuan memiliki peran dan hak yang sama termasuk dalam tugas keulamaan.
Kehadiran ulama perempuan penting dan memiliki peran sentral di tengah-tengah umat. Mengutip yang dikatakan Hasbi Amiruddin (2008), berkaitan peran dan fungsi ulama sebagai pewaris nabi salah satunya yaitu berperan menjelaskan makna kandungan ayat Al-Qur’an kepada masyarakat.
Problem dalam penafsiran Al-Qur’an ditemukan banyak ayat-ayat yang berbicara gender ditafsirkan menurut cara pandang laki-laki. Akhirnya penafsiran yang dipedomani oleh umat menghasilkan penafsiran yang bias terhadap gender. Di sinilah peran ulama perempuan berpatisipasi dalam penafsiran keagamaan untuk menyuarakan penafsiran ayat Al-Qur’an yang adil gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Rekam Jejak Isnawati Rais
Adalah Isnawati Rais, ulama perempuan di Muhammadiyah yang memiliki kompetensi dalam menafsirkan Al-Qur’an. Lahir pada tanggal 27 Oktober 1957, Isnawati dilahirkan di tanah Minang Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Beliau mulai mendalami ilmu agama secara intensif di Pesantren Sumatera Thawalib Parabek dan Madrasah Aliyah Kulliyatuddiyanah. Isnawati kemudian melanjutkan pendi-dikan tingginya di IAIN Imam Bonjol hingga meraih sarjana lengkapnya pada tahun 1983. Gelar masternya ia peroleh pada tahun 1990 dengan menyabet penghargaan lulusan terbaik di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta program doktor (S3) diselesaikannya pada kampus yang sama tahun 2005 dengan konsentrasi ilmu hukum Islam.
Isnawati memulai profesi sebagai asisten dosen dan dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang kemudian pindah ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perjalanan akademik yang ia lalui mendalami hukum Islam, mengantarkan ulama perempuan asal Sumatera Barat ini dikukuhkan sebagai guru Besar ilmu Fiqih pada tahun 2022, jabatan tertingginya dalam karier akademik sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan gelar profesor yang ia raih dalam ilmu Fiqih, tentu ia telah menghasilkan segudang karya tulisan baik buku maupun jurnal ilmiah internasional. Karya-karya tulisannya banyak seputar hukum keluarga Islam (fiqih munakahat). Hal ini yang membuat beliau pakar dalam bidang tersebut.
Isnawati sejak muda aktif menjadi kader perempuan Muhammadiyah dan pernah menjabat sebagai ketua PW Nasyiatul ‘Aisyiyah Sumbar pada tahun 1985-1990. Kariernya di NA Sumbar membuat namanya masuk dalam jajaran pengurus NA Pusat hingga menjadi anggota PP ‘Aisyiyah. Dalam kepengurusan terakhirnya di PP Muhammadiyah, Isnawati merupakan anggota Wakaf dan Sertifikasi Majelis Wakaf dan Kehartabendaan periode 2015-2022. Beliau juga aktif organisasi lain di luar Muhammadiyah, antara lain anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan tim Layanan Konsultasi Keagamaan MUI Pusat dan aktif di berbagai lembaga amal pendidikan.
Mufasir Penyeru Kesetaraan Gender
Selain aktif mengajar sebagai dosen, Isnawati sering diminta mengisi pengajian di beberapa masjid, salah satunya beliau rutin mengisi pengajian tafsir di masjid Raya Pondok Indah dan masjid Baiturrahman Bintaro 4. Penguasaannya dalam bidang penafsiran Al-Qur’an membuatnya tergabung sebagai penyusunan Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah jilid ke-II. Keterlibatannya sebagai mufasir perempuan di dalam Tafsir At-Tanwir menunjukan partisipasinya dalam penafsiran ayatayat gender khususnya dalam hukum keluarga.
Baca Juga:
Dalam penyusunan Tafsir At-Tanwir, Isnawati cukup banyak mendapatkan bagian menuliskan naskah awal Tafsir At-Tanwir Jilid II. Tema-tema ayat yang ditulis Isnawati kebanyakan yang menjadi kepakarannya dalam hukum keluarga Islam, yaitu seputar pernikahan, talaq, perempuan haid, menyusui, dan masa iddah perempuan. Keterlibatannya menulis tafsir dalam tema-tema tersebut memberikan ruang baginya untuk menyuarakan penafsiran ayatayat gender tersebut yang berkeadilan.
Misalnya dalam ayat-ayat tentang menyusui surah al-Baqarah [2]: 233, ia menyerukan bagaimana keterlibatan peran suami atau laki-laki dalam mengasuh anak. Dalam ayat ini Isnawati berpendapat bahwa Allah memerintahkan kepada para ayah untuk memenuhi kebutuhan Ibu selama masa menyusui itu, seperti makanan dan pakaiannya, sesuai dengan kemampuannya agar proses penyusuan berjalan dengan baik. Allah juga mengingatkan kepada kedua orang tua agar menjalankan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya dan jangan sampai suami istri saling menyulitkan disebabkan oleh persoalan anak. Dalam pola pengasuhan anak terutama ibu yang menyusui, seorang ayah wajib memenuhi hak istri untuk menyusui anaknya.
Selain itu, ayat ini memberikan penekanan bagaimana cara suami istri membangun relasi yang baik, mu’asyarah bil ma’ruf di antara mereka dalam kehidupan rumah tangga. Artinya, baik itu laki-laki dan perempuan dalam hubungan antar keluarga memiliki peran kewajiban dan hak yang setara.
Perbedaan Bukan Diskriminasi
Menurut Isnawati, Al-Qur’an dan hadis yang menjadi sumber pokok aturan dalam Islam, mengakui kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Walaupun legitimasi itu telah jelas, menurutnya terdapat beberapa ketentuan dalam Al-Qur’an yang membuat adanya perbedaan aturan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya ayat-ayat kesaksiaan dua orang perempuan dihitung sama dengan kesaksian satu orang laki-laki (Q.s al-Baqarah [2]: 282).
Selain itu ayat yang mengungkapkan bahwa suami memiliki kelebihan satu tingkatan daripada istri (Q.s al-Baqarah [2]: 228). Ayat-ayat di atas sekilas mendiskriminasi perempuan karena perempuan berada tingkatan di bawah laki-laki. Tetapi menurutnya, bentuk diskriminasi tersebut bukan untuk menunjukan kelebihan atau kekurangan, melainkan lebih kepada perbedaan kecenderungan, beban tanggung jawab, dan fitrah (pemberian) dari Allah. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang setara dan peran yang adil sebagai hamba Allah Swt. Isnawati meninggal pada Rabu, 12 Juli 2023 di Jakarta Timur, meninggalkan segudang pesan keadilan gender melalui penafsiran Al-Qur’annya. [3/24]
*Mahasiswa Magister IAT UIN Sunan Kalijaga & Redaktur Tanwir.id