Pada suatu hari setelah melalui kesedihan yang mendalam selama kurang lebih setahun lamanya, Rasulullah SAW mendapatkan hiburan yang sangat berarti dari Allah SWT. Malam itu, pria yang selama ini berjuang keras dalam misi dakwahnya, telah ditinggal mati oleh dua orang terkasih sekaligus pelindungnya selama ini, yaitu istrinya, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thalib bin Abdul Muthallib. Hadiah tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah peristiwa Isra’ Mi’raj.
Pengertian Isra’ Mi’raj
Perjalanan Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis disebut dengan isra’. Sedangkan perjalanan ke Sidratul Muntaha atau langit ketujuh disebut dengan mi’raj. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Quran yaitu surat al-Isra’ ayat 1 dan an-Najm ayat 12-15.
Dikisahkan bahwa pada malam itu Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Baitul Maqdis yang ada di Yerussalem, kemudian berlanjut ke Sidratul Muntaha atau langit ketujuh. Selama perjalanan itu berlangsung, Rasulullah SAW terbang menaiki buraq yang memiliki kecepatan tinggi sehingga mampu menempuh jarak jauh dalam waktu singkat. Saat berada di Sidratul Muntaha, Rasulullah SAW akhirnya menghadap kepada Allah SWT dan menerima sebuah perintah, yaitu kewajiban untuk menunaikan salat lima waktu.
Hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj
Jika diingat kembali seperti apa latar belakang peristiwa tersebut, tentu akan muncul dalam pikiran bahwa peristiwa ini ada untuk menghibur Rasulullah SAW yang belum kering air matanya dari duka mendalam setelah ditinggal oleh sang istri dan sang paman yang selalu menemani, membela, dan melindungi beliau saat itu. Sosok Muhammad bin Abdullah yang saat dewasa diangkat menjadi nabi dan rasul lalu mendapatkan cercaan, gangguan, dan hinaan dari kaum Quraisy itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi untuk sekedar berbagi suka dan duka. Tidak ada lagi yang sosok menenangkan dan menyelimutinya saat merasa ketakutan hingga gemetar seperti saat Jibril datang pertama kali di Gua Hira dahulu.
Hingga kemudian, Jibril datang atas perintah Allah dan membawanya ke sebuah perjalanan yang fantastis dan tidak pernah terbayangkan olehnya selama ini. Perjalanannya yang menakjubkan ini nantinya akan menjadi bahan cemoohan baru oleh kaum Quraisy, namun menjadi bukti kerasulan selanjutnya bagi para sahabat dan kaum muslimin saat itu. Perjalanan ini bukanlah hiburan semata, melainkan juga petunjuk dari Allah untuk nabi-Nya beserta semua orang yang ada di belakangnya tentang sebuah ritual yang sakral dan intim antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Baca Juga: Ibrah Peristiwa Isra’ Mi’raj bagi Umat Islam
Dengan memaknai peristiwa Isra’ Mi’raj dan bagaimana latar belakangnya, tentu dapat dimengerti bahwa Allah SWT hari itu benar-benar memahami emosi dan suasana hati Rasulullah SAW yang sedang sedih. Allah SWT memvalidasi perasaan itu dan menghiburnya dengan hal-hal menakjubkan yang terjadi selama peristiwa itu berlangsung. Bahkan Allah SWT juga memberikan solusi penting, yaitu salat, bagi seluruh hamba-Nya.
Salat bukan sekedar ritual belaka, melainkan sebuah media komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya lewat doa-doa yang terucap selama salat berlangsung. Seorang hamba yang sedang memiliki masalah, kesulitan, atau apapun yang dirasa rumit, dirinya dipersilakan untuk meminta dan memohon kelapangan serta solusi melalui salat. Allah menjamin bahwa Dia Yang Maha Mendengar pasti tidak akan membiarkan permintaan dan doa dari hamba-Nya begitu saja. Setiap doa pasti akan dikabulkan di waktu yang tepat.
Sebagaimana Allah SWT yang memahami perasaan rasul-Nya dan juga hamba-hamba-Nya, hendaklah seorang muslim mampu meneladani sikap Allah tersebut. Seorang muslim jika melihat orang di sekitarnya berada dalam kesulitan seharusnya mampu memberikan simpati atau empatinya kepada orang tersebut. Hal yang demikian perlu dilakukan agar mereka yang berada dalam kesulitan merasa terbantu dan tidak sendiri.
Jika diri sendiri yang merasakan kesulitan tersebut, Allah swt sungguh telah memberikan instruksi untuk menunaikan salat bagi setiap hamba-Nya. Saat seorang hamba menunaikan salat, secara otomatis hamba tersebut telah menyatakan ketidakmampuannya dan medeklarasikan dirinya sebagai mahkhluk yang lemah dan membutuhkan Allah Yang Maha Kuasa untuk mengatasi segala masalahnya. Hamba tersebut tentunya tetap harus berikhtiar disamping melakukan salat untuk menunjukkan upaya dan ketidakputusasa-annya atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. (Landung Salsabila)