Dalam suatu pertemuan komunitas, seorang teman menyampaikan sebuah usu brilian kepada seluruh hadirin, Usul itu la peroleh setelah sekian lama menganalisis masalah yang terjadi dalam komunitas itu, Setelah ia menyampaikan usulnya, sejumlah hadirin memberikan respons, “Sangat setujuuu……kamu yang menjalankan, ya. Nanti kami dukung penuh!” Hadirin yang lain mengatakan, “Usul, mikuuuullll.”
ada situasi seperti itu, apa yang dirasakan oleh si pengusul? Kalau dia merupakan orang yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan usul itu serta memiliki keluangan waktu dan tenaga, tentu dia tidak keberatan menindaklanjuti usulnya sendiri. Akan tetapi, jika ia tidak memiliki kompetensi yang relevan atau tidak luang, tentu akan terasa berat baginya.
Idiom usul-mikul merupakan istilah dalam masyarakat Jawa. Meskipun demikian, karena kata ini ada dalam bahasa Indonesia, masyarakat di seluruh Indonesia juga memahaminya Menurut KKBI, kata usul artinya ‘anjuran (pendapat dan sebagainya) yang dikemukakan untuk dipertimbangkan atau untuk diterima, Sementara itu, mikul atau memikul artinya (1) menanggung; (2) membawa barang dengan menggantungkannya di tongkat (pikulan) yang ditaruh di atas bahu; atau (3) menggandar.
Meskipun hanya diucapkan dalam dua kata sebagai idiom, sebetulnya Idiom itu berada dalam maksud ‘slapa yang mempunyai usul, dialah yang memikul, Kata mikul menjadi kurang jelas maksudnya karena tidak disertai objek yang ada di belakangnya. Jadi sebenarnya memikul apa? Apakah beban?
Pemantauan? Pengawalan? Tanggung jawab? Kewajiban? Atau apa? Di sinilah variasi pemahaman dan kesalahpahaman tentang arti kata mikul itu terjadi.
Sebagian orang memiliki anggapan bahwa mikul adalah menanggung risiko untuk menjalankan idenya sendiri Jika pemahaman seperti ini dibiarkan menjadi pemahaman khalayak, akan berbahaya karena menimbul kan sejumlah akibat yang tidak baik, seperti munculnya rasa takut karena khawatir tidak memiliki kemampuan dan malas karena akan ada yang harus dikorbankan.
Rasa takut dan malas itu dapat berujung pada sikap apatis akan kemajuan pada suatu komunitas atau keadaan, Generasi yang terbiasa pada sikap apatis cenderung tidak berpikir kontributif bagi perkembangan peradaban.
Baca Juga: Paket Bu RT
Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai mikul? Kata ini akan sangat baik jika kita lekatkan sebagai bentuk tanggung jawab. Mikul yang relevan dengan perkembangan keilmuan organisasi yang terkini (misalnya dalam bidang sosiologi organisasi, manajemen organisasi, profesionalitas kelembagaan, dan lain-lain) harus dipahami dengan melihat bahwa setiap orang memiliki kompetensi yang berbeda-beda.
Kadang-kadang ada teman kita yang memiliki kemampuan analisis yang tajam sehingga dia bisa mengendus faktor terbesar terjadinya suatu masalah. Kadang-kadang ada pula teman kita yang memiliki kemampuan manajerial yang kuat sehingga ia dapat melakukan strategi taktis agar suatu program dapat berjalan dengan efektif. Kadang-kadang ada pula teman kita yang memiliki kemampuan operasional yang canggih sehingga ia rapijali dalam menjalankan kegiatan. Masih banyak lagi tipe-tipe teman kita.
Kemampuan yang berbeda-beda itulah yang menyebabkan kita tidak boleh mengartikan usul-mikul sebagai siapa yang usul, maka dia yang menjalankan. Mikul seyogianya kita artikan mengawal dan memastikan agar usul yang disepakati oleh forum dapat dijalankan sesuai harapan dan capaian.
Tentu idiom usul-mikul ini telah dibuat sedemikian rupa oleh para leluhur kita bukan tanpa suatu kearifan. Bukankah kita juga kesal kalau ada orang yang usul lalu dia pergi begitu saja? Nah, orang seperti itu yang harus diingatkan agar usul-mikul. Jadi, tidak harus dia yang menjalankan usul itu, tetapi dia harus ikut bertanggung jawab mengawal terlaksananya usul dia itu. Fair, kan? (Adib Sofia)
2 Comments