Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Kalau ada yang susah, kenapa harus mencari yang mudah? Ungkapan tersebut bukan sekadar guyonan media sosial, tetapi merupakan manifestasi laku beragama sebagian umat Islam, khususnya di Indonesia.
Fenomena tersebut mendapat perhatian dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Menurutnya, ketika Allah swt. memberi hamba-Nya kemudahan dan keringanan dalam beragama, sebagian di antara mereka lebih memilih yang sulit dan berat. “Ada berbagai kalangan yang di dalam beragama merasa sempurna kalau beragama itu berat,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan Abdul Mu’ti dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah yang diselenggarakan secara virtual pada Jumat (9/7) dengan tema “Idul Adha dalam Masa Pandemi Covid-19”. Dalam pengantarnya, Mu’ti menjelaskan bahwa tema tersebut sengaja diangkat dalam rangka memberikan penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana pemahaman keagamaan Muhammadiyah mengenai Idul Adha di masa pandemi.
Baca Juga: Edaran PP Muhammadiyah Menjelang Idul Adha 1442 H/2021 H di Tengah Pandemi Covid-19
Ada beberapa isu krusial yang dibahas dalam pengajian ini, mulai dari penjabaran panduan Idul Adha yang dikeluarkan PP Muhammadiyah, bagaimana fatwa keagamaan ulama-ulama dunia dalam menyikapi pandemi yang kembali menggila, dan maraknya hadits-hadits dhaif tentang wabah yang berseliweran di masyarakat. Narasumber dalam pengajian ini adalah Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tabligh Fathurrahman Kamal, dan Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto.
Munculnya fenomena laku beragama yang kaku dan berat tersebut, menurut Mu’ti, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan era teknologi informasi. Menurutnya, di tengah tsunami informasi, manusia tidak menjadi cerdas tapi menjadi semakin bodoh. “Fenomena ini menjadi persoalan sendiri ketika melihat kecenderungan umat yang lebih memilih informasi yang secara ilmiah dan diniyah tidak dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Mu’ti.
Menyitir argumen Tom Nichols dalam The Death of Expertise, Mu’ti menyebut bahwa banyak manusia sekarang yang merasa tahu, padahal sejatinya ia tidak tahu. Lebih lanjut, Mu’ti mengutip sabda Nabi saw. yang menyebut bahwa di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dari bumi melalui perantara wafatnya para ulama.
Menurut Mu’ti, maraknya umat beragama yang sok tahu itu perlu mendapat perhatian dari Muhammadiyah. Sebab sikap tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam, baik yang termuat dalam al-Quran maupun hadits. Dalam QS. al-Nahl [16]: 43, misalnya, Allah swt berfirman, “fas’alū ahl adz-dzikri in kuntum lā ta’lamūn”. Bertanyalah kamu kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui. Dan bukan malah sok tahu.
Baca Juga: Syafiq Mughni: Demi Kemaslahatan Bersama, Ikuti Anjuran Muhammadiyah
Di antara wujud sikap sok tahu dalam beragama yaitu menganggap bahwa laku beragama yang baik adalah yang berat dan sulit. Padahal dalam QS. al-Maidah [5]: 6 dan QS. al-Hajj [22]: 78 dengan tegas disebutkan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan di dalam beragama. “Diberi rukhshah tidak mau, maunya rusuh,” sentil Mu’ti.
Sementara di dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasul saw. mengingatkan umat Islam untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Islam juga menganjurkan umatnya untuk bergembira dalam beragama, bukan merasa susah. “Nabi saw. mengajarkan kepada kita untuk beragama dengan gembira. Di dalam beragama jangan mencari susah, karena kita diberi kemudahan. Juga jangan berlebihan,” pungkas Mu’ti. (sb)