Aksara

Jejak Emas Filantropi Muhammadiyah-Aisyiyah

Pranko Amal Muhammadiyah
Pranko Amal Muhammadiyah

Pranko Amal Muhammadiyah

Oleh: Adib Sofia

Sejak berdiri, Muhammadiyah-‘Aisyiyah mengembangkan wacana dan praksis keagamaannya dengan berlandaskan teologi al-Maun. Tak heran jika dari generasi ke generasi, para pengelola Muhammadiyah-‘Aisyiyah terus menggelorakan semangat untuk berfilantropi dan Muhammadiyah sukses besar dalam upaya tersebut. Kali ini jejak emas filantropi Muhammadiyah kita gali dari dua pustaka penting negeri ini.

Pertama, buku Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia karya Amelia Fauzia (2016). Buku setebal 375 halaman yang merupakan terbitan Gading Publishing di Yogyakarta itu merupakan disertasi penulisnya di Universitas Melbourne. Buku itu diterjemahkan dari buku yang telah diterbitkan oleh penerbit terkemuka di dunia dengan judul Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden and Boston, Brill, 2013).

Amelia mengawali pendahuluannya dengan menyebut bahwa kegiatan filantropi merupakan indikator berfungsinya masyarakat sipil. Filantropi dijelaskan sebagai wujud dari sebuah konsistensi kepedulian membantu orang lain serta keinginan kuat untuk menciptakan kondisi masyarakat sipil yang lebih baik. Muslim di Indonesia dan di beberapa belahan dunia lainnya telah mempraktikkan berbagai bentuk filantropi, seperti zakat, fitrah, sedekah, serta wakaf (hlm. 1).

Filantropi Islam di atas pada mulanya dipraktikkan sebagai pemberian yang bersifat pribadi secara langsung dan tidak dikelola secara professional. Muhammadiyah, dalam buku Amelia ini, disebut sebagai organisasi yang mempraktikkan filantropi modern.

“Usaha pertama yang cukup kuat untuk mengelola kegiatan derma Islam dimulai pada awal abad kedua puluh oleh Muhammadiyah, sebuah organisasi pembaru yang disebut sebagai kelompok ‘modernis. Muhammadiyah merupakan pelopor yang mengubah praktik-praktik pemberian tradisional menjadi filantropi yang terorganisasi, yang atas nama agama memobilisasi sumber daya masyarakat untuk perubahan sosial. (hlm. 149)

Jika pembaca mengamati bagian buku tersebut yang berjudul  “Muhammadiyah dan Filantropi Modern Sebelum Kemerdekaan” akan diketahui bahwa upaya Muhammadiyah memodernisasikan filantropi merupakan perjuangan yang penuh tantangan pada masanya.  Amelia menjelaskan hal ini secara detail, khususnya mengenai wacana pembaruan dalam praktik filantropi; pengaruh organisasi derma Belanda dan Islam; tranparansi dan akuntabilitas; reformasi filantropi Muhammadiyah; aktivitas PKU; serta kontestasi zakat dan fitrah: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pengantar yang diberikan oleh tokoh kenamaan pada buku setebal 222 ini, yaitu Prof. MC Ricklefs (Guru Besar Sejarah The Australian National University)  dan Prof. Azymardi Azra (Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) memberi peneguhan bahwa buku ini merupakan rujukan utama dalam pembahasan filantropi Islam di Indonesia.

Baca Juga: Muhammadiyah Menyemai Damai

Buku kedua yang menggambarkan jejak emas filantropi Muhammadiyah adalah karya Ghifari Yuristiadhi (2020) yang berjudul Filantropi Masyarakat Perkotaan: Transformasi Kedermawanan Muhammadiyah 1912-1931. Buku ini menggambarkan kehidupan bumiputra muslim pada masa itu; momentum-momentum dinamis yang terjadi; transformasi kedermawanan Islam; serta orientasi kedermawanan baru.

Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah bekerja sama dengan Lazismu DIY dan Gramasurya ini secara eksplisit mengulas berbagai hal tentang ‘Aisyiyah. ‘Aisyiyah disebut sebagai salah satu organisasi (selain Muhammadiyah dan Serikat Islam) yang berada di balik transformasi bentuk kedermawanan pada kurun sebelum 1920 (hlm 147).

“Kedermawanan tidak hanya diselenggarakan oleh kaum laki-laki saja. Berdirinya ‘Aisyiyah yang merupakan organisasi perempuan Muhammadiyah pada 1917 juga turut mengisi ruang aktivitas kedermawanan di perkotaan…(hlm. 165).” “Untuk memenuhi kebutuhan operasional pelayanan pendidikan yang dilakukan ‘Aisyiyah itu, para pengurus mengumpulkan derma dari anggota yang sebagian besar adalah pedagang dan pengrajin, baik batik maupun kerudung…..(hlm. 174). Selain itu, ‘Aisyiyah juga melakukan kegiatan-kegiatan produktif, antara lain Pasar Derma. Pasar Derma adalah aktivitas pendanaan yang dilakukan pengurus ‘Aisyiyah yang menjadi salah satu kegiatan dari frobel ‘Aisyiyah dengan menjual aneka kerajinan, hasil karya kerajinan, antara lain taplak meja, buurdir kebaya, kerudung strimin, dan kain batik…. (hlm. 175).”

Hal menarik lainnya, buku ini juga mendapatkan pengantar dari Prof. Amelia Fauzia. Selain itu, sejumlah pakar sejarah dan studi Islam lainnya juga turut mengapresiasi karya ini dalam pengantarnya, yaitu Prof. Hilman Latief,  Prof. Ahmad Najib Burhani, Prof. Joko Suryo, dll. Pada intinya, buku ini membantu kita memahami genealogi dan karakter gerakan sosial-kemanusiaan Muhammadiyah serta memberi informasi penting mengenai rumusan konsep kesejahteraan.

Related posts
Berita

Irman Gusman Berkomitmen Jadikan Masjid Taqwa Muhammadiyah Ikon Religius Sumatera Barat

  Padang, Suara ‘Aisyiyah – Anggota DPD RI, Irman Gusman, mengadakan kegiatan reses di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Sumatera Barat, pada Senin (16/12)….
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *