“Saya titipkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kiai Ahmad Dahlan menitipkannya,” Nyai Walidah.
***
Warga ‘Aisyiyah tentu tak asing dengan nama Nyai Walidah. Ia merupakan salah seorang perempuan yang merepresentasikan organisasi perempuan Islam terbesar di Indonesia. Siti Walidah merupakan putri dari Kiai Penghulu, Muhammad Fadhil. Siti Walidah lahir di Kampung Kauman pada tahun 1872 Masehi. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara.
Semula, ayahnya berprofesi sebagai penghulu keraton. Namun, karena sebab tertentu, ia diberhentikan. Kiai Fadhil lantas tertarik untuk menjadi pedagang batik, pekerjaan yang saat itu sedang menjadi trend di Kauman. Hingga akhirnya Kiai Fadhil berpredikat sebagai juragan batik yang kaya. Berdasar pada itulah, bisa dibilang bahwa kehidupan Siti Walidah terbilang mapan.
Pendidikan dan Keluarga
Di Kauman pada masa itu, rata-rata anak, baik perempuan maupun laki-laki, difasilitasi untuk belajar agama. Begitupun Siti Walidah. Sejak kecil, ia terbilang murid yang cukup menonjol dibanding kawan-kawan sebayanya. Ia dipandang sebagai anak perempuan yang lebih berani dan lancar berbicara di depan umum. Kemampuan dakwah Siti Walidah mulai diasah semenjak Kiai Fadhil menaruh kepercayaan kepada putrinya itu untuk turut membantu mengajar di langgarnya.
Tahun 1889, ketika usia Siti Walidah menginjak angka 17 tahun, ia dinikahkan dengan Muhammad Darwis (nama kecil Kiai Dahlan), yang merupakan putra dari Kiai Abu Bakar, Khatib Amin Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Muhammad Darwis sendiri merupakan saudara sepupu dari Siti Walidah. Saat menikah, usia keduanya terpaut angka empat tahun.
Sungguh beruntung bagi Nyai Walidah bersuamikan Kiai Dahlan. Suaminya itu merupakan laki-laki yang sadar tentang kesetaraan gender. Sebuah hal langka pada zamannya. Gagasan Kiai Dahlan tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki lantas membuat Nyai Walidah mengusahakan pendidikan bagi kaum perempuan di Kauman. Modal utamanya adalah kursus belajar membaca al-Quran yang diperuntukkan khusus bagi gadis-gadis Kauman yang masuk Sekolah Netral. Konon, surat pertama yang diajarkan adalah al-Maun. Hal ini dilakukan agar para murid menjadi peka terhadap fenomena kemiskinan yang hampir mendominasi umat Islam saat itu.
Tahu Diri
Tahun 1914, dibentuklah sebuah kelompok pengajian Sapa Tresna. Di perkumpulan itu, Nyai Walidah rutin membantu kursus membaca al-Quran dan rajin mengumpulkan perempuan, baik tua maupun muda, untuk mendapatkan pelajaran dari Kiai Dahlan. Selain itu, ada pula perkumpulan Wal ‘Ashri yang merupakan pengajian bagi kaum ibu dan remaja putri yang rutin diselenggarakan pada ba’da ashar. Tak hanya itu, ada pula pengajian yang diperuntukkan bagi buruh batik di Kauman yang diselenggarakan setelah maghrib, usai mereka menuntaskan pekerjaan. Pengajian itu disebut dengan nama Maghribi School. Tiga kelompok pengajian inilah yang nantinya menjadi embrio ‘Aisyiyah.
Saat ‘Aisyiyah pertama dibentuk pada tahun 1928, Nyai Walidah tidak serta merta didaulat menjadi Ketua Umum. Menurut Siti Hadiroh Ahmad yang merupakan cicit dari Nyai Dahlan, saat itu Nyai Dahlan ‘tahu diri’ untuk tidak menjadi ketua ‘Aisyiyah karena merasa belum mampu. Saat itu, Nyai Walidah belum bisa membaca dan menulis Latin.
Tidak Lelah Belajar
Kemudian, mulailah Nyai Walidah belajar huruf Latin bersama dengan peserta pengajian perempuan atau para tetangga seusianya. Usianya waktu itu sudah masuk angka 40-50 tahunan. Nyai Walidah belajar lewat bimbingan istri dari S. Tjitrosoebono (Commissie van Redactie Soeara Moehammadijah tahun 1929-1930). “Setelah itu, Nyai Walidah baru berani menjadi Ketua ‘Aisyiyah karena sudah merasa punya bekal yang cukup,” ujar Hadiroh.
Untuk selanjutnya, Nyai Walidah menjabat sebagai Ketua ‘Aisyiyah dari tahun 1921-1933. Namun, pada tahun 1927, ia menjadi penasihat ‘Aisyiyah yang saat itu terus berkembang membentuk ranting di luar Jawa. Barulah pada tahun 1933, Nyai Walidah digantikan oleh Siti Aisyah Hilal.
Akhir Hayat
Nyai Walidah wafat pada 31 Mei 1946. Pada tahun 1971, pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Nyai Walidah karena kiprahnya yang telah mendidik dan membina perempuan muda sebagai calon pemimpin Islam. Pemberian gelar itu diputuskan melalui surat keputusan Presiden RI No. 042/TK/tahun 1971 oleh Presiden Soeharto.
Sepenuturan Siti Hadiroh, saat itu Presiden Soeharto menawarkan untuk memindahkan makam Nyai Walidah yang berada di Kauman agar berada berdampingan dengan makam Kiai Dahlan di Komplek Makam Karangkajen. Presiden Soeharto menilai, sangat jarang ada pasangan suami istri yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Namun, tanpa pikir panjang, Siti Djuwariyah, cucu yang menerima penghargaan tersebut, saat itu menolak tawaran dari Presiden Soeharto. Ia terkenang akan pesan Kiai Dahlan untuk tidak memewahkan makam, mengkultuskan makam, dan menempatkan makam secara berlebihan. (dian)
Sumber: Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 11 Tahun 2014