Sejarah

Jejak Pertemuan Muhammadiyah Masa Kolonial di Kota Surakarta

Logo Muhammadiyah

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi*

Bulan November 2022, Kota Surakarta atau yang dikenal juga dengan Solo menjadi lokasi penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang sempat tertunda pelaksanaannya dikarenakan pandemi. Bukan kali pertama Solo menjadi tuan rumah pertemuan tertinggi lima tahunan Persyarikatan Muhammadiyah. Kota di tepi sungai terpanjang di Pulau Jawa, Bengawan Solo, ini pernah menjadi tuan rumah muktamar di tahun 1985. Momen itu menjadi yang pertama bagi Kota Solo sejak kemerdekaan.

Jauh sebelum kemerdekaan, Solo juga pernah menjadi tuan rumah pertemuan tertinggi ini yang saat itu masih disebut sebagai kongres besar tahunan. Solo menjadi tuan rumah kongres besar tahunan Pengurus Besar (Hoofdbestuur) Muhammadiyah ke-18 pada tahun 1929. Kongres tersebut merupakan pelaksanaan kedua dengan penyebutan kongres besar tahunan.

Sebelumnya, istilah yang digunakan adalah kongres dan rapat tahunan. Yang menjadi spesial, Kongres Besar Tahunan tahun 1929 itu menjadi kali pertama penyelenggaraan pertemuan tertinggi Persyarikatan Muhammadiyah di luar kota kelahirannya, Yogyakarta.

Dalam rekaman De Locomotief tanggal 17 Agustus 1928, diinformasikan bahwa sebenarnya dalam rencana awal, Semarang lah yang dijadikan sebagai lokasi kongres besar. Namun, dikarenakan kurang siapnya pengurus Muhammadiyah di Semarang, maka lokasi kongres besar dipindahkan ke Solo.

Tidak banyak dicatat dan diingat bahwa di masa kolonial, Solo juga pernah menjadi lokasi penyelenggaraan beberapa pertemuan “nasional” lain di luar kongres besar tahunan yang juga mengundang cabang Muhammadiyah dari berbagai daerah. Dalam rekaman Bataviasch Niewsblad dan De Sumatra Post tertanggal 14 Januari 1938 di Solo, pada 11-14 Februari 1938 diinformasikan bahwa akan diselenggarakan konferensi pengurus Muhammadiyah dari berbagai cabang dari luar Solo.

Konferensi tersebut secara khusus mengundang majelis/bagian yang terkait dengan isu-isu yang didiskusikan, yakni huwelijks-ordonnantie (peraturan tentang perkawinan) dan goeroe-ordonnantie (peraturan tentang guru) yang diberlakukan di Hindia Belanda. Secara khusus, dua isu yang dibahas dalam konferensi tersebut adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1937 yang perlu segera direspons oleh Muhammadiyah.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie tanggal 15 Februari 1938 mencatat bahwa perwakilan konsul Muhammadiyah yang hadir di Solo untuk menghadiri konferensi ini, antara lain dari Sulawesi Utara, Banjarmasin, Bengkulu, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Probolinggo, Pasuruan, Kediri, Madura, Surabaya, Madiun, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Jawa Barat (Batavia), Lampung, Yogyakarta, dan Solo.

Konferensi “nasional” Muhammadiyah di Solo ini dibuka pada Jumat malam di Gedung Societeit Habiprojo di Jalan Singosaren atau Pasar Pon (sekarang Jalan Gatot Subroto), salah satu lokasi prestisius di Solo pada masa itu yang dibangun sejak 1896. Acara pembukaan sebagaimana diberitakan koran yang sama berlangsung meriah dan menarik perhatian banyak masyarakat Solo.

Hari kedua dan ketiga pelaksanaan konferensi diselenggarakan di Gedung Holland Indlansche Kweekschool (HIK) Muhammadiyah Solo di Kleco (saat ini menjadi bagian dari Korem 074/Warastratama). Kegiatan konferensi di sini digelar tertutup dan hanya diperuntukkan bagi perwakilan resmi Muhammadiyah dari berbagai cabang.

Huwelijks-ordonnantie yang dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda dan perlu direspons segera oleh Muhammadiyah dalam konferensi di Solo ini merupakan lanjutan pembahasan dalam Kongres Besar Tahunan Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta yang telah membahas beberapa poin kontroversial dari kebijakan pemerintah kolonial tersebut.

Beberapa poin kontroversial yang dipermasalahkan Muhammadiyah sebagai mana dicatat Kulsum dkk (2006) adalah masalah perjanjian, hak bercerai yang dipegang hakim dan bukan raad kefamilian, dan diksi “boleh” yang memberikan celah umat Islam bisa meninggalkan panduan agama dalam tata cara pernikahan. Konferensi di Solo ini memutuskan agar Muhammadiyah membawa diskusi yang lebih luas dalam kongres Al-Islam di Surabaya yang akan diselenggarakan di akhir Februari 1938.

Terkait isu kedua, respons atas Goeroe-ordonnantie sebenarnya bukan hal yang baru bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah di masa kolonial cukup kritis terhadap peraturan yang dibuat pemerintah kolonial menyangkut pendidikan, utamanya guru dan sekolah. Sebelum tahun 1938, Muhammadiyah juga memprotes Goeroe-ordonnantie yang dikeluarkan pada 1927 dan merekomendasikan untuk mencabut peraturan yang dianggap Muhammadiyah terlalu menyulitkan guru agama tersebut (De locomotief, 27-06-1927).

Baca Juga: Peran Muhammadiyah dalam Sejarah Kepahlawanan

Begitu juga pada 1931, banyak elemen umat Islam, termasuk di dalamnya Muhamadiyah, juga merespons hadirnya peraturan tentang guru di Hinda Belanda yang ditetapkan pemerintah kolonial (Het Vaderland, 03-04-1931), dan tentunya yang cukup kontroversial adalah de wildescholen-ordonnantie (peraturan untuk sekolah liar) yang juga ditentang Muhammadiyah (De Indische Courant, 23 November 1932). Sekali lagi Muhammadiyah meminta Goeroe-ordonnantie yang diterbitkan pada 1937 agar dicabut karena dianggap menghambat penyebaran Islam yang lebih luas (Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 15 Februari 1938).

Hal lain yang juga menjadi hasil konferensi di Solo adalah Muhammadiyah menaruh perhatian yang serius terhadap kebijakan kristenisasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Lampung dan Madura.

Selain konferensi 1938, Solo juga pernah menjadi tuan rumah konferensi guru sekolah Muhammadiyah se-Jawa pada 20-21 September 1941 (De Indische Courant, 5 September 1941). Beberapa agenda yang dibahas dalam konferensi tersebut adalah usulan kepada Hooftbestuur Muhammadiyah agar mendirikan depot buku umum untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah di Solo bersedia menjadi lokasi depot buku tersebut.

Ke Solo Kita Kembali

Muhammadiyah Solo tercatat senantiasa kreatif dalam menyelenggarakan kegiatan Muhammadiyah, baik di tingkat nasional maupun lokal. Salah satu kreativits tersebut menjadikan sepak bola sebagai syiar kegiatan untuk menarik banyak warga sekitar Solo mengetahui kegiatan Muhammadiyah. De Locomotief, 20 September 1935 mencatat bahwa konferensi Muhammadiyah di Solo pernah dibuka dengan pertandingan sepak bola antara H.W. dan S.K.O.B. dari Semarang.

Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo juga kembali menggunakan sepak bola sebagai salah satu syiarnya. Gelaran 8 besar liga H.W. tuntas diselenggarakan dengan pertandingan babak final yang dimenangkan PSHW Babat Lamongan atas PS Bimasena PWPM DIY dan “Tanwir Match” antara Pemkot Solo dan Muhammadiyah FC All Star juga terselenggara dengan meriah.

Catatan historis tentang perjalanan Kota Surakarta atau Solo menjadi lokasi penyelenggaran pertemuan-pertemuan Muhammadiyah menunjukkan bahwa Solo selalu siap menjadi lokasi pertemuan-pertemuan Muhammadiyah. Keterbatasan dan tantangan beberapa kali memang pernah merintangi persiapan penyelenggaraan kegiatan pertemuan Muhammadiyah di Solo.

Mepetnya persiapan Kongres Besar Tahunan Muhammadiyah tahun 1929 karena Solo harus menggantikan Semarang, ancaman tidak diizinkannya Muktamar Muhammadiyah ke-41 karena kebijakan kewajiban menerima asas tunggal Pancasila rezim Orde Baru yang mengakibatkan pelaksanaan muktamar tertunda beberapa bulan pernah menjadi pengalaman Kota Solo sebagai penyelenggara agenda terbesar Muhammadiyah di tiap periodenya.

Pengalaman tersebut bisa menjadi lecutan dan motivasi bahwa meski Muktamar Muhammadiyah ke-48 sempat tertunda dua tahun diakibatkan pandemi Covid-19 dan masih harus menjaga protokol kesehatan dengan baik, atas izin Allah swt. pelaksanaan akan berjalan lancar. [12/22]

*Sejarawan Muhammadiyah, Penulis Buku Filantropi Masyarakat Perkotaan: Sejarah Kedermawanan Muhammadiyah, 1912-1931

Related posts
Berita

Irman Gusman Berkomitmen Jadikan Masjid Taqwa Muhammadiyah Ikon Religius Sumatera Barat

  Padang, Suara ‘Aisyiyah – Anggota DPD RI, Irman Gusman, mengadakan kegiatan reses di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Sumatera Barat, pada Senin (16/12)….
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *