Jenderal Soedirman merupakan anak kandung Muhammadiyah. Pria kelahiran Purbalingga, 24 Januari 1916 itu merupakan guru di Sekolah Dasar Muhammadiyah Cilacap, dan aktivis Pemuda Muhammadiyah sekaligus kader Hizbul Wathan Banyumas.
Aktif di Hizbul Wathan
20 Desember 1918, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan kepanduan Hizbul Wathan (Patvinder Muhammadiyah). Beliau terinspirasi dari kepanduan Mangkunegaran yang ada di Solo. Oleh Kiai Dahlan, HW didirikan sebagai wadah untuk menggembleng akidah, pekerti, fisik, mental, dan rasa cinta tanah air anak muda.
Di kepanduan HW itulah Soedirman melibatkan diri. Selain meningkatkan pemahamannya tentang ajaran Islam, HW mengajarkan Soedirman tentang kepemimpinan, keterampilan, dan kekuatan fisik. Pengetahuan dan pengalamannya di HW itulah yang mengantarkan Soedirman menjadi seorang prajurit.
Baca Juga: Kesalehan Jenderal Sudirman
Saat Muhammadiyah menyelenggarakan Kongres ke-29 di Yogyakarta, Soedirman mengusulkan agar pandu HW menggunakan celana panjang. Dalam buku Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Sudirman karya Sardiman (2008) dijelaskan bahwa usulan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Soedirman agar pandu HW tidak perlu lagi mencari sarung ketika hendak mendirikan salat.
Menjadi Prajurit hingga Jenderal Besar
Kiprah Soedirman di dunia kemiliteran sudah dimulai sejak pendudukan Belanda. Ia pernah melatih tentara pribumi di daerah Banyumas atas permintaan pemerintah Belanda. Tahun 1944 ia menjadi bagian dari organisasi militer bentukan Jepang, yaitu PETA (Pembela Tanah Air). Ia juga melibatkan diri di beberapa organisasi militer lainnya, seperti Syu Sangikai dan Badan Keamanan Rakyat (sekarang Tentara Nasional Indonesia).
Pangkat kemiliteran Soedirman perlahan terus meningkat. 12 November 1945 ia dipilih menjadi panglima besar (meskipun baru dilantik pada 18 Desember 1945). Pada akhir 1945, ketika pasukan sekutu melakukan penyerangan di Semarang, Magelang, dan Ambarawa, Soedirman memegang tampuk kepemimpinan pasukan Indonesia. Kemenangannya di pertempuran tersebut meyakinkan banyak orang, termasuk Jenderal Oerip Soemoharjo dan Presiden Soekarno tentang kemampuan militer Soedirman.
Di saat agresi militer Belanda kedua tahun 1948-1949, Soedirman dengan berani melakukan perlawanan meskipun kondisi kesehatannya sedang tidak baik-baik saja. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan secara terbuka, Soedirman menggunakan strategi gerilya.
Baca Juga: Soekarno: Sekali Muhammadiyah, Tetap Muhammadiyah
Dari Yogyakarta ia terus berpindah-pindah tempat. Total jarak yang ditempuh dalam gerilya tersebut mencapai 100 kilometer, dengan medan yang berat. Strategi itu terbukti mampu memecah dan menekan pasukan Belanda. Pasukan gerilya pimpinan Soedirman juga terlibat dalam momen Serangan Umum 1 Maret 1949.
Akhir Hayat, Prestasi, dan Pesan
Kesehatan Soedirman terus memburuk, hingga akhirnya ia wafat pada 29 Januari 1950 di usianya yang masih muda, yakni 34 tahun. Tokoh Indonesia, seperti Paku Alam VIII dan Buya Hamka mengatakan bahwa bangsa Indonesia merasa kehilangan atas “kepulangan” Soedirman.
Atas dedikasi dan perjuangannya melawan penjajah, namanya dikenang oleh bangsa Indonesia. Ia banyak menerima tanda kehormatan, mulai Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Sakti, Bintang republik Indonesia Adipradana, dan sebagainya. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 314 Tahun 1964.
Baca Juga: TK ‘Aisyiyah di Diorama Museum Jenderal Soedirman
Namanya juga “diabadikan” sebagai nama museum, jalan, universitas, dan monumen. Ya, kisah perjuangan Soedirman telah menginspirasi banyak orang.
Di Muhammadiyah, ungkapannya yang terkenal adalah “sungguh berat jadi kader Muhammadiyah. Ragu dan bimbang lebih baik pulang”. (brq)
*Diolah dari berbagai sumber