Oleh: Diyah Puspitarini
Dalam pidato sambutan Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Milad 100 tahun ‘Aisyiyah (19 Mei 2017), Ibu Dra. Siti Noordjannah Djohantini, M.M, M.Si, menyampaikan bahwa dalam memasukai masa awal abad kedua ini ‘Aisyiyah dituntut untuk menyiapkan generasi baru, khususnya tunas-tunas perempuan belia, sebagai kekuatan strategis menuju keunggulan atau kemajuan bangsa di tengah percaturan dunia modern abad ke-21 dan globalisasi yang sarat tantangan.
Lebih jauh, beliau juga menambahkan bahwa ‘Aisyiyah berupaya untuk mewujudkan generasi baru perempuan “khaira ummah yang berkarakter Ummatan Wasatha”. Perempuan “khaira ummah” adalah perempuan berkemajuan, yang mampu hadir sebagai umat tengahan dan menjalankan peran-peran kemanusiaan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan selaku saksi bagi umat manusia semesta.
Memasuki abad kedua ‘Aisyiyah, tentunya tantangan dan beban semakin berat daripada era sebelumnya. Supaya ke depan ‘Aisyiyah dapat berperan jauh lebih maju, maka dirasa sangat penting untuk melakukan upaya identifikasi situasi internal dan eksternal. Dalam hal ini identifikasi internal salah satunya adalah pemetaan pimpinan dan kepemimpinan. ‘Aisyiyah memandang bahwa mempersiapkan tunas perempuan belia adalah sebuah kekuatan strategis dalam menuju kemajuan bangsa. Proses penyiapan tunas perempuan belia inilah yang disebut dengan kaderisasi.
Kaderisasi ‘Aisyiyah
Dalam kondisi saat ini, baik usia ‘Aisyiyah yang sudah memasuki abad kedua dan juga dengan kondisi kebangsaan dan Negara serta memperhatikan kebutuhan masyarakat global, maka kader memiliki elan vital dan beban perjuangan yang lebih berat. Tidak hanya sebatas melanjutkan kepemimpinan, namun memiliki harapan besar, bahwa kader harus bisa melakukan perubahan dan terobosan, baik untuk dirinya sendiri, terlebih dalam tubuh organisasi dan gerakan. Di berbagai gerakan sosial ataupun organisasi, proses kaderisasi selalu dimaknai sakral dan serius. Upaya mempersiapkannya pun juga dilakukan dengan matang dan tersistematis. Proses kaderisasi inilah yang dimaknai sebagai kawah candradimuka.
Kaderisasi yang berasal dari kata kader, memiliki arti yaitu calon anggota dan anggota pimpinan yang memiliki komitmen terhadap perjuangan dan cita cita untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks ini, maka dimaknai bahwa kaderisasi dalam tubuh ’Aisyiyah adalah proses menyiapkan calon anggota dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap perjuangan dan cita-cita persyarikatan.
Menyambut tantangan ’Aisyiyah abad kedua ini, mestinya kaderisasi tidak hanya sebatas pada pengkaderan formal dan non-formal, namun pemetaan pengkaderan harus senantiasa dilakukan di samping mengedepankan data base kader fungsional. Tuntutan saat ini seolah mewajibkan adanya ketersediaan kader yang siap ditempatkan di berbagai posisi, baik internal maupun eksternal. Bahkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan maka diperlukan penyiapan yang matang dan kontinyu. Sebab, kepemimpinan ’Aisyiyah masa depan tentunya memiliki tantangan yang lebih berat.
Kaderisasi kepemimpinan ’Aisyiyah saat ini diisi oleh kader ’Aisyiyah, transformasi kader dari ortom, serta penggiat profesi ataupun simpatisan ’Aisyiyah yang lain. Model rekruitmen terbuka ini terkadang memiliki beban ganda, yaitu mudah bagi siapapun yang ingin bergabung, namun tidak ketatnya proses rekruitmen ini juga mengakibatkan filterisasi ideologi dan kepentingan akan mudah masuk. Hal ini, sepertinya perlu menjadi perhatian bersama. Maka dari itu, ada kualifikasi kaderisasi kepemimpinan ’Aisyiyah di masa yang akan datang, agar visi mencerahkan peradaban seimbang dengan penguatan ideologi kader dan gerakan.
Kualifikasi Kaderisasi
Pertama, kuat dalam ideologi. Ada dua hal yang sudah tergambar, yaitu kader dengan pemahaman ”khaira ummah” dan kader fungsional sebagai ”ummatan wasathan”. Dalam determinasi ”khaira ummah” maka landasan utamanya adalah nilai-nilai agama dan pola kaderisasi utama. Pada konteks ini pengkaderan utama ’Aisyiyah menjadi pijakannya, yaitu Darul Arqam, Baitul Arqam, serta Qoryah Thayyibah. Maka, ideologi kekaderan dan menjalankan kehidupan berdasarkan nilai ajaran Islam yang kuat merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar pada diri pemimpin ’Aisyiyah di masa mendatang.
Kedua, visi perempuan berkemajuan. Mengutip tulisan Bapak Haedar Nashir dalam ”Lima Karakter Gerakan ’Aisyiyah”, karakter Islam yang menjadi ciri utama gerakan ’Aisyiyah ialah Islam Berkemajuan. Pandangan Islam Berkemajuan yang tengahan atau wasithiyah antara Islam fundamental dan sekuler liberal, maka hal ini harus menjadi alam pikiran keagamaan anggota dan kader. Visi perempuan berkemajuan dalam kaderisasi kepemimpinan ini juga digambarkan miliki konsep Islam yang cinta damai, anti-kekerasan (terutama kekerasan pada perempuan dan anak), penindasan, anti-diskriminasi, anti-keterbelakangan, serta mendudukkan laki-laki dan perempuan sama dan sederajat.
Ketiga, berwawasan kebangsaan dan universal. Para kader pemimpin ’Aisyiyah ke depan dituntut tanggung jawab dan peranannya dalam melaksanakan dakwah kebangsaan dan kemanusiaan secara universal. Dalam kehidupan kebangsaan, kader pemimpin ’Aisyiyah harus pro-aktif terlibat dalam memberikan pandangan tentang isu-isu negara dan kebijakan-kebijakan pemerintah ataupun kebijakan yang lain yang tidak sesuai dengan asas kemanusiaan.
Upaya pengkritisan dan analitis inilah yang akan tetap menjadikan ’Aisyiyah dan tentunya kadernya mampu dan tetap eksis membangun dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sementara pandangan universal juga diartikan bahwa kader pemimpin ’Aisyiyah harus siap berkiprah dikancah internasional. Hal ini sejalan dengan kondisi gerakan dakwah ’Aisyiyah yang sudah melintasi negara. Maka internasionalisasi gerakan dan pimpinan sudah harus dipersiapkan secara matang dari saat ini.
Berharap pada Tunas Muda ‘Aisyiyah
‘Aisyiyah memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun bangsa ini, sejak sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Beban berat inilah yang menjadikan ‘Aisyiyah harus melakukan persiapan dan perhatian seirus dalam rangka mempersiapkan estafeta kepemimpinan selanjutnya. Para kader ‘Aisyiyah yang tergabung dalam Nasyiatul Aisyiyah juga memiliki beban yang berat pula dalam melakukan penyiapan diri untuk menjadi pemimpin ‘Aisyiyah selanjutnya. Para tunas-tunas muda ‘Aisyiyah ini juga harus memiliki kesiapan mental dan spiritual memanggul dan berkiprah di ‘Aisyiyah maupun di ranah publik.
Masyarakat Indonesia saat ini membutuhkan sosok-sosok pemimpin perempuan yang betul-betul bisa menjadi contoh baik dari diri, keluarga, profesi dan organisasi. Maka ke depan, banyak harapan agar muncul tokoh perempuan berkemajuan memimpin bangsa ini dari ‘Aisyiyah.