Aceh, Suara ‘Aisyiyah – Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Aceh mengadakan kajian Fikih Ramadhan pada Sabtu (3/4) di Masjid Taqwa, Desa Merduati. Bertindak selaku penceramah pada kajian ini adalah Alyasa Abubakar.
Dipandu oleh Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PWA Aceh Silfia Meri Wulandari, Alyasa menyampaikan bahwa ibrah di balik ibadah puasa bukan hanya menahan perut dari lapar dan haus, tapi juga sebagai perisai, baik fisik, mental, maupun kesehatan.
Sebagai perisai fisik, jelas Alyasa, organ tubuh manusia mampu menyesuaikan diri di tengah aktivitas sehari-hari dengan perut yang kosong. Selain itu, dengan puasa umat Islam menahan diri dari melakukan tindakan tidak terpuji, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap makhluk Allah lainnya.
Sebagai perisai mental, di tengah bulan ramadhan, ada ibadah yang mempunyai nilai pahala yang tinggi, yakni berbagi kepada sesama, baik yang seagama maupun berbeda agama. Perihal berbagi kepada sesama ini, Alyasa menjelaskan bahwa nilai pahalanya tidak terletak pada besar-kecilnya jumlah nilai yang dibagikan, tapi lebih dari itu adalah nilai solidaritas, rasa kebersamaan, dan rasa saling memiliki antar sesama yang terkandung di dalam praktik
berbagi tersebut. Puasa mengajarkan umat Islam untuk tidak boros, berfoya-foya, ataupun riya.
Sementara bagi kesehatan, puasa sangat besar manfaatnya bagi organ tubuh. Dengan berpuasa, ‘racun’ dalam tubuh akan dibersihkan. Menurut Alyasa, kesehatan tubuh itu akan semakin terasa jika didukung dengan berbagai puasa sunnah yang lain, seperti puasa seninkamis, puasa ayyam al-bidh, dan puasa Daud. Selanjutnya, Alyasa menjelaskan bahwa manfaat puasa memang tidak langsung bisa dirasakan oleh umat Islam. Puasa pada bulan Ramadhan akan lebih bermakna jika dalam 11 bulan berikutnya umat Islam tetap konsisten dengan ibadah ritual dan sosial yang sering dikerjakan selama Ramadhan.
Menjelang bulan Ramadhan tahun 1442 H yang sebentar lagi akan tiba, Alyasa mengingatkan kepada jamaah pengajian untuk menyambut dan memanfaatkan bulan suci tersebut sebagai ladang menanam berkah, sebab belum tentu tahun depan kita dapat kembali bertemu dengannya. “Apakah kita yakin mendapatkan kesempatan bertemu dengan Ramadhan tahun berikutnya?,” pungkas Alyasa.
Kontributor: Silfia Meri Wulandari