Oleh: Ulfia Safitri
“Di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Pernyataan tersebut bukan sekadar slogan, namun lebih sebagai cita-cita mensinergikan antara harapan menjadi perempuan berdaya dengan mengoptimalkan potensi diri, termasuk di dalamnya kesehatan secara fisik, mental, dan sosial sebagaimana definisi sehat dari WHO (World Health Organization).
Perempuan dan reproduksi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Menjaga harkat dan martabat perempuan artinya turut menjaga organ-organ reproduksinya. Sebagaimana ketika seorang perempuan meninggal dunia, Allah mengajarkan kita untuk mensalati jenazah dengan posisi imam di bagian perut sebagai penghargaan akan tugas-tugas reproduksi semasa hidupnya. Oleh karena itu, kali ini kita akan membahas tentang rahim sebagai amanah terindah, terkhusus bagian yang sering dibicarakan, yaitu serviks atau leher rahim.
Kanker serviks atau kanker leher rahim merupakan keganasan yang menyerang pada bagian reproduksi perempuan, yaitu tepatnya pada 1/3 bagian bawah rahim (uterus) yang berbentuk silindris, menonjol, dan berhubungan langsung dengan vagina.
Berdasarkan data GLOBOCAN, International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012, dinyatakan bahwa kanker serviks masuk dalam 10 kanker dengan insiden tertinggi atau paling sering dialami dan sekaligus sebagai penyumbang penyebab kematian tertinggi pula. Di Indonesia, kanker serviks menduduki urutan kedua terbanyak menyerang perempuan setelah kanker payudara, dan diperkirakan sekitar 52 juta perempuan terancam kanker serviks diantara 220 juta penduduknya.
Kanker serviks terjadi karena adanya perubahan struktur sel-sel serviks (neoplasia) di mana penyebab utamanya adalah virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe 16 dan 18. Virus ini bukan satu-satunya yang patut disalahkan, karena beberapa penelitian juga menyebutkan faktor-faktor risiko lainnya. Salah satunya yakni faktor hubungan seksual yang berisiko.
Hubungan seksual yang berisiko antara lain hubungan seksual yang dilakukan dengan beberapa pasangan atau hubungan seksual dengan orang yang memiliki beberapa pasangan, serta hubungan seksual yang terlalu dini sebelum usia 18 tahun dapat meningkatkan resiko. Di sinilah hubungan sehat dalam perkawinan yang sah serta pernikahan dengan umur yang sudah layak menjadi pertimbangan penting. Partner dengan riwayat belum sirkumsisi/sunat, riwayat kanker penis atau pria dengan riwayat istri sebelumnya meninggal dengan kanker serviks juga patut dipertimbangkan.
Dari segi kondisi ginekologis (organ reproduksi)-nya sendiri, hamil di usia muda kurang dari 20 tahun, jumlah kehamilan yang terlalu sering, dan manajemen persalinan yang tidak tepat turut meningkatkan risiko. Selain itu juga bisa dikarenakan adanya infeksi menular seksual antara lain herpes simpleks virus type 2 (HSV 2), trikomonas, sifilis, dan gonokokus.
Riwayat merokok kini juga telah dimasukkan ke dalam faktor risiko terjadinya kanker serviks. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa baik perokok aktif maupun perokok pasif juga memiliki kaitan dengan kejadian kanker serviks di kemudian hari. Sehingga sangat bijak bila masing-masing perempuan melakukan pencegahan dan mawas diri meskipun dirasa sudah melakukan hubungan seksual yang sehat.
Tentu pencegahan primer saat kita masih sehat menjadi yang lebih diprioritaskan. Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain: (a) mencegah terjadinya hubungan seksual sampai usia 20 tahun; (b) penggunaan kontrasepsi barrier (kondom, diafragma, dan spermisida) bagi yang beresiko mengalami infeksi menular seksual, serta; (c) pemberian vaksinasi HPV (Human Papilloma Virus).
Vaksinasi HPV secara ilmiah mampu memberikan proteksi lebih dari 90%. Berdasarkan program vaksinasi yang telah diterbitkan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) pada tahun 2020 disebutkan bahwa pemberian vaksinasi HPV sudah dapat diberikan pada anak perempuan saat menginjak usia 9-14 tahun sebanyak 2 kali dengan jarak 6-15 bulan. Bila lebih dari usia 15 tahun, maka pemberiannya sebanyak 3 dosis.
Selain itu, perlu ditekankan bahwa pemberian vaksinasi ini lebih efektif bila diberikan sebelum seorang perempuan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Meskipun vaksin ini masih tergolong mahal dan belum masuk dalam program imunisasi dasar sehingga mendapat subsidi dari pemerintah, namun kehadirannya patut diusahakan sebagai ikhtiar menjaga kesehatan reproduksi para calon pemimpin perempuan di kemudian hari.
Baca Juga: Menanamkan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi kapada Remaja
Selain langkah pencegehan primer, WHO telah memberikan rekomendasi pencegahan sekunder kanker serviks berupa skrining rutin bagi setiap perempuan berusia 25-60 tahun atau yang sudah aktif secara seksual. Di Indonesia, program skrining berupa IVA dan Pap smear telah masuk sebagai program pemerintah dan dapat dilaksanakan di fasilitas-fasilitas kesehatan.
IVA atau inspeksi visual asam asetat merupakan tes visual menggunakan larutan asam asetat 2% dan larutan iosium lugol pada serviks untuk melihat adanya perubahan warna setelah dilakukan olesan sebagai skrining awal guna melihat adanya sel yang mengalami dysplasia atau perubahan struktur sel. Tes IVA dapat dilakukan secara gratis di Puskesmas.
Sedangkan Pap smear yaitu pemeriksaan dengan mengambil sampel sel serviks dan dilihat secara mikroskopik. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai pemeriksaan lanjutan bila ada hasil IVA positif atau yang mengarah ke adanya perubahan struktur sel serviks. Namun dalam beberapa literatur juga merekomendasikan untuk pemeriksaan Papsmear berkala yaitu mulai 21 tahun atau setelah seorang perempuan aktif secara seksual hingga berusia 69 tahun. Pada usia 70 tahun atau lebih tidak memerlukan bila pemeriksaan sebelum-sebelumnya hasil selalu negatif. Hal ini penting untuk dilakukan sebagai deteksi dini sehingga stadium kanker yang lebih lanjut dapat dicegah sedini mungkin.
Waspada bukan berarti kita tenggelam dalam kekhawatiran dan ketakutan. Namun sebaliknya, berbagai usaha yang kita lakukan merupakan bukti cinta kita menghargai diri sendiri dan sebagai wujud menjaga amanah dari Sang Pemberi Rahim.