Wawasan

Kapan Kita Merdeka 100% Tanpa Diskon?

Oleh: Hasnan Bachtiar*

Sepulang dari KJRI di Queens Road (kalau diterjemahkan, Jalan Para Ratu alias Pararaton), untuk memperbarui paspor yang sudah kedaluwarsa, saya mampir di Perpustakaan Victoria di tengah perkampungan Wurundjeri woi wurrung, yang sekarang bernama The City of Melbourne.

Baik ketika ingin menyendiri untuk membaca buku atau menulis, saya biasanya duduk di La Trobe Reading Room. Tempat ini teduh, sunyi, dan nyaman untuk berpikir secara lebih jernih.

Saya mengeluarkan sebuah bundel dokumen dari tas. Dari bundel dokumen yang dicetak beberapa hari lalu, tereja tiga suku kata: mer-de-ka. Seketika itu, pikiran saya melesat jauh, kembali ke kampung halaman. Lalu, di dalam hati saya berkata, “Indonesia, tanah air beta.”

Setelah berulang kali membaca beberapa halaman scan dokumen tua itu, menggarisbawahi hal-hal yang penting dan menuliskan catatan ringkas, saya lantas memaksa diri memikirkan apa sebenarnya makna dari merdeka? Apakah benar kita sudah merdeka?

Merdeka itu jelas tanpa belenggu. Manusia merdeka adalah mereka yang mampu merayakan kehendak bebasnya. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang hidup tanpa bayang-bayang penjajahan.

Akan tetapi, merengkuh “Merdeka 100%” sebagaimana proposal Bapak Republik kita, Tan Malaka, “Bak pungguk merindukan rembulan”. Ini pendapat pribadi saya yang tidak harus dipercaya kebenarannya.

Dalam konteks 1945, bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan. Tentu bukan sebagai hal yang diimajinasikan sebagaimana prasangka sebagian kalangan. Saat itu, kemerdekaan adalah kenyataan yang terjadi dan mewujud secara materi. Namun, kemerdekaan itu kemudian terenggut oleh ambisi politik Orde Lama yang berlebihan.

Pada 1966-1967, Indonesia kembali merdeka, terutama dari jerat perilaku diktatorial para elite yang berbahaya. Ongkos kemerdekaan yang dikeluarkan saat itu sungguh terlalu besar, yakni peristiwa coup d’état 1965 yang mengorbankan lebih dari setengah juta jiwa anak bangsa. Ada yang menyebutnya tragedi nasional, dan ada pula yang menyebutnya sebagai malapetaka. Sayangnya, kemerdekaan terjadi hanya sesaat. Pemerintahan tangan besi Orde Baru, membelenggu ibu pertiwi lebih dari tiga dekade lamanya.

Pada 1998, Reformasi bergulir. Kita sekali lagi merdeka. Para intelektual, masyarakat sipil, dan mahasiswa, menjadi kekuatan utama yang berhasil menumbangkan rezim kepemimpinan militeristis yang otoritarian dan korup. Kekuasaan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sentralistis berhasil dibongkar, meskipun tidak dihancurkan.

Setelah Orde Baru tumbang, iklim politik menjadi kelewat liberal. Demokrasi dinikmati bukan hanya oleh para demokrat, tetapi juga oleh mereka yang anti pada prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Pada saat yang sama, praktik politik demokratis kita tidak berjalan beriringan dengan perbaikan masalah ekonomi.

Atas masalah kesejahteraan ini, sebagian masyarakat mengeluh dan sebagian yang lain terus berusaha. Namun, ada sebagian lagi yang justru gigih menghujat. Di antara kelompok yang terakhir ini ada sebagian dari para pembajak demokrasi yang menginginkan bangkitnya “kekuasaan tangan Tuhan”.

Mereka berpikir bahwa, prinsip bernegara kita terlalu mementingkan urusan duniawi. Lebih lanjut, urusan duniawi itu pun ditangani oleh para pemimpin yang korup dan tidak kom- peten. Praktik bernegara seperti itu dianggap justru mengakibatkan kemudaratan massal. Akhirnya, Indonesia dicap kurang religius dan perlu pertobatan nasional.

Baca Juga: Untuk Apa Kemerdekaan Dirayakan?

Kelompok-kelompok “tangan Tuhan” ini semakin berkembang pesat. Mereka yang ekstrem akan menciptakan teror. Yang selebihnya punya sikap keagamaan yang keras. Pada separuh akhir dekade kedua setelah bergulirnya Reformasi 1998, tingkah mereka semakin merajalela. Atas nama doktrin “menebar kebajikan dan mencegah kemungkaran”, mereka berusaha sekeras-kerasnya menyingkirkan pihak lain yang berbeda. Terlebih, penguasa ternyata memberikan dukungan diam-diam kepada mereka.

Sebagai bangsa yang bertumpu pada nilai-nilai kebinekaan, hidup dalam kekhawatiran karena adanya diskriminasi dan ancaman intoleransi tidaklah dapat disebut sebagai hidup yang merdeka. Pada puncaknya, pada tahun 2016, demonstrasi “tangan Tuhan” memenuhi ibu kota negara. Ribuan orang turun dalam aksi bela agama.

Alhasil tiga tahun berikutnya, tepat pada momen Pemilu 2019, masyarakat terbelah dua: mereka yang agamis dan mereka yang pluralis. Selain itu, ada catatan penting lain: hampir seribu petugas penyelenggara pemilu meninggal. Kemerdekaan kita tergerus lagi. Jelas bahwa sebuah bangsa yang terpecah belah bukanlah bangsa yang merdeka.

Kelompok agamis kalah. Kelompok pluralis memenangkan pertarungan politik praktis. Setahun kemudian, kelompok pembela agama yang populis dibubarkan. Namun, cara para pemenang menghentikan pergerakan mereka, justru jauh dari cara-cara yang demokratis. Mereka dihakimi tanpa sidang, pemimpinnya dipenjarakan, dan anggotanya dibunuh tanpa alasan keadilan dan kebenaran. Dua puluh tahun lebih setelah Reformasi, ternyata kita tidak banyak belajar. Kita justru kembali ke tata aturan tangan besi.

Pada bulan kedua 2024, pemilu tetap digelar. Namun, kita sama-sama tahu bahwa Indonesia kemudian menjadi negara setengah autokrasi. Artinya, kita tidak sungkan berperilaku autoriter, tetapi juga enggan meninggalkan prosedur formal demokrasi.

Semuanya terjadi secara gamblang. Ada cerita seorang pejabat yang “cawe- cawe” memuluskan jalan bagi anaknya agar menjadi pejabat dengan cara-cara yang korup tetapi dimanipulasi agar tampak legal. Ada uang kantor yang habis-habisan digunakan untuk kampanye. Ada para staf yang dimobilisasi, dipaksa untuk mendapatkan dukungan publik bagi sang pejabat, padahal seharusnya mereka itu bersikap netral, dan lainnya. Walaupun masyarakat tidak terpolarisasi, kecurangan terang- terangan itu menjadikan kita sulit disebut merdeka.

Berikutnya muncul bertubi-tubi masalah dan indikasi kerusakan. Nilai rupiah anjlok, jabatan publik dibagi-bagi, ormas keagamaan malah mengurus tambang, judi online mewabah dan lebih buruk daripada pandemi, biaya kuliah melangit berlipat-lipat, pusat data nasional dibobol oleh peretas, lahirnya banyak guru besar abal-abal, dan sederet kesemrawutan lain membuat kita patut kembali mempertanyakan status kemerdekaan kita: Apakah kita merdeka?

Saya menatap ke luar jendela. Hari semakin gelap, sudah pukul tujuh malam. Belum ada keputusan dalam hati, iya atau tidak dan titik. Saya pikir, semuanya masih koma dan menjadi hal yang harus terus diperjuangkan. Merdeka 100% tak boleh didiskon. Ke- merdekaan itu bukan barang dagangan di swalayan.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengemas dan merapikan barang bawaan dalam ransel, lalu mengayunkan langkah, membawa diri ke Central Station di Jalan Elizabeth. Tanpa menunggu lama, datanglah kereta yang saya harapkan. Di sepanjang perjalanan saya diliputi pertanyaan itu, tak kunjung menemukan jawaban.

*Dosen UMM, sedang belajar di Institut Kewarganegaraan dan Globalisasi Alfred Deakin, Universitas Deakin, Australia

Related posts
Politik dan Hukum

Mencegah Korupsi dari Hulu ke Hilir

Oleh: Tri Hastuti Nur R Kasus korupsi di Indonesia saat ini sudah dalam taraf yang membahayakan keselamatan dan kedaulatan negara. Bahkan Buya…
Aksara

Merenungkan Indonesia Lahir dan Batin

Oleh: Muhammad Ridha Basri* Judul                : Indonesia, Ideologi, dan Martabat Pemimpin Bangsa Penulis             : Haedar Nashir Penerbit          : Suara Muhammadiyah dan Buku…
Sosial Budaya

Peran Kebangsaan Muhammadiyah di Era Pra Kemerdekaan dan Era Digital

17 Agustus 2022 merupakan tahun ketiga Indonesia merayakan hari kemerdekaan di tengah pandemi Covid-19. Saat ini, Indonesia memasuki usia 77 tahun. Di…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *